68

51 48 0
                                    



*****

"kak Juni mau mampir dulu gak?"

Juni tak menangapi ungkapan dari Lucia itu, namun dia ikut turun dari mobilnya. Menandakan kalau cowok itu menerima tawaran dari cewek berambut panjang dengan kunciran tinggi di kepala. Senyum tak pernah terkikis dari tiap sudut bibir Lucia. Lagi-lagi cowok itu menuruti keinginannya.

Benar-benar cowok idaman. Begitulah pikir Lucia di benaknya.

Sejak pertama bertemu Lucia memang merasakan perbedaan yang begitu kental antara Juni dengan kebanyakan lelaki lain. Jujur saja selama ini tanpa sepengetahuan, Lucia sering memperhatikan Juni diam-diam. Cowok itu membuatnya terpukau meskipun tak melakukan apapun. Hanya duduk dan tenang.

"PAPA LUCIA PULANG! JUNI JUGA ADA DI SINI, NIH!"

"PAPAAA!" rengeknya. Lucia menoleh ke Juni. Membekap mulutnya seketika. "Eh, aduhhh! Kelepasan kak!  Berisik, yah? Papa aku budek biasanya!"

Juni hanya melirik singkat. Berjalan lurus mengikuti langkah cewek itu memasuki rumah yang tak kalah megah dari kediamannya, bahkan mungkin tiga kali lipat luasnya. Bibir sedikit tertarik di saat suasana hatinya tak kian membaik, teriak lantang dari cewek itu membuat Juni teringat sesuatu.

"Dia lagi ngapain  hari ini? Semoga gak cari cowok lain sementara gue pergi." Juni bergumam dalam hati.

Gadis dengan suara cempreng itu selalu mengganggu ketenangan Juni.  Bahkan saat ini cewek terasa bermain-dalam dalam pikirannya. Tak pernah menghilang hingga Juni rasa tak mampu melepaskan.

"Papa!" panggil Lucia.

Seorang pria paruh baya yang awalnya fokus membaca majalah di atas sofa menoleh lalu tersenyum kepada anaknya. Pandang Revan beralih ke sosok cowok bertubuh tinggi, mengenakan pakaian terbalut rapi sedang membungkuk kepala saat bersitatap dengannya.

Revan mempersilahkan mereka berdua duduk di sofa depan. Sangat tepat berhadapan dengannya. Duduk berdampingan layaknya pasangan kebanyakkan.

"Om, seneng banget kamu bisa mampir ke sini lagi," sambut Revan antusias. Dia sudah menaruh harapan besar pada Juni. "Makasih udah mau di repotin anak saya. Dia emang rada manja, tapi Lucia harta paling  berharga bagi saya."

"Apaan, sih, Pa! Lucia udah kaya barang aja," dengus Lucia mengerucutkan bibirnya. Dia selalu tampak seperti anak kecil di mata ayahnya.

"Kamu lebih berharga dari barang, sayang. Anak kesayangan Papa."

"Ya, iya, lah, anak kesayangan! Kan, aku anak tunggal! Gimana, sih, Papa?!"

"Hahaha, kamu bentar. Papa cuma punya kamu, doang."

Revan memandang Juni lekat. Penuh keseriusan. "Juni bisa janji buat menjaga Lucia sesibuk apapun kamu nantinya? Jangan pernah sekalipun abaikan dia. Pastikan dia bahagia setiap saatnya."

Juni mengangguk patuh juga tersenyum sebagai bentuk kesopanan. Kenyataannya ia tak suka moment seperti ini, harus bersikap tak sesuai dengan apa yang di rasakan untuk membentuk citra baik seperti kedua orang tuanya.

Meskipun saat kedua sudut bibir lelaki itu kini terangkat, namun dari bola matanya tercetak jelas memperlihatkan kebalikan dari semua kepalsuan. Sorot redup penuh rasa bersalah bersarang di sana.

Juni ingin jadi dirinya. Mengutarakan ke ingin serta penolakan. Tapi tak pernah bisa. Keinginan Ferdi adalah pernyataan mutlak tidak bisa di bantah, mengatakan keinginan pun berujung ribut saja. Kenyataannya Juni tetap menurut setelah itu. Agar keluarganya tetap utuh tak berantakan.

"Juni ada apa? Kok, bengong? Mikirin Lucia, yah?" ledek Revan menyadarkan Juni.

"Ihhh, Papa! Jangan gitu! Pede banget, aku yang malu jadinya!" sela Lucia.

STOP SINGLE(Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang