Pada dasarnya Juni tak berniat mengajak pulang bareng cewek yang sama-sama bahkan tak ia kenali. Cowok itu mengatakannya hanya sebagai pengalihan kekesalannya
Pikiran Juni terus terpusat ke sesaat Azoya menolak ajakannya. Ia juga amat tak suka saat Azoya selalu mengatakan pria lain dari mulutnya, sadar atau tidak amarah Juni terasa meledak di dalam sana.
Juni berdehem singkat guna memecah keheningan. Suasana di ruang kedap udara ini terasa tercekat, meski kenyataannya beberapa celah kaca jendela dibiarkan sedikit terbuka. Mulut Juni terasa kaku tak tahu harus mengatakan apa, terlebih lagi ada orang lain diantara mereka.
"Situ batuk atau caper? Ganteng dikit gak usah belagak kaya cowok novel."
Lucia menyenggol pelan lengan Azoya. "Kamu kenapa, sih? Jangan gitu. Kan, dia udah baik nganterin kamu tumpangan karna kamu temen aku."
"Gak usah ngomong loh. Nyaut mulu kaya kakak tua. Situ blasterannya?" balas Azoya." Cewek itu berucap judes tanpa peduli respon Lucia.
"Kamu kasar banget, sih. Gak baik tau gitu," balas Lucia tak suka.
"Sok lugu, tampang babu."
Azoya kembali melontarkan pada cewek yang kini memilih diam alih-alih meladani. Alis Azoya naik ke atas, padahal dia berharap Lucia ribut saja dengannya hingga Azoya bisa menyalurkan rasa jengkel yang dirasa.
Lucia mengangkat tubuhnya condong ke Juni. "Maaf kak, temenku emang sedikit lancang. Maklum namanya juga anak kelas satu, jarang ada yang dewasa kaya aku."
"Dih, bahasanya. Sok iya." Azoya mendengus remeh.
Sudut bibir Juni tertarik lega selepas mendengar Azoya mengeluarkan suara. Meskipun rada judes, Juni merasa kalau hubungan mereka perlahan akan kembali seperti semula.
Juni memilih tak menanggapi kalimat nyelekin yang beberapa tertuju untuknya.
"Rumah loh dimana?"
Setelah lama diam suara berat itu terdengar, membuat kedua cewek yang sibuk dengan pikirannya masih-masing tersadar.
"Temen kalau udah punya kehidupan baru, yah, gitu. Dari lupa tempat tinggal, tar, jadi lupa nama," jawab Azoya memalingkan muka.
"Gue kak ngomong sama loh, Zo." Juni berusaha berkata lembut.
Leher juni bergerak mengarah ke belakang, ada tatapan sengit tertuju padanya hingga Juni kembali menarik pangannya ke depan. Cowok itu memilih diam fokos ke kemudi sementara Azoya mengotak-atik handphonenya.
"Rumah aku gak jauh dari sini, kok, kak. Lurus aja nanti deket taman belok kanan," jelas Lucia memecah kecanggungan.
"Ngerti."
Lucia menunduk tersenyum malu-malu sambil memainkan jemari lentik berwarna. "Makasih, yah, kak. Mau-mau aja di repotin sama aku padahal, kan, kita belum cukup kenal."
Azoya menyeritkan wajahnya. "Dih, najis."
"Makasihnya nanti. Past sampai," balas Juni seadanya.
Lucia mengangguk patuh sambil mata terus memperhatikan cowok itu lewat kaca spion yang menampakan pantulan Juni sebab kaca mobil terbuka.
Juni tampak tegas, berkepribadian baik juga istimewa dari sudut pandang Lucia tersendiri. Lucia tersenyum simpul menyadari cowok itu juga tengah curi-curi pandang ke belakang. Lucia yakini, Juni jelas pasti menyukainya.
"Kenapa loh senyam-senyum? Latihan casting jadi orang gila? Semangat yakin di terima," tegur Azoya menampilkan tawa mengejek.
Juni sekilas melirik penasaran hingga Lucia merangkul akrab Azoya. "E-nggak, kok. Aku juga senang punya temen baru suka blak-blakan modelan kamu. Jujur gak suka temen pencitraan kayak kebanyakan cewek bisanya."
"Hmm, yang mirip eloh maksudnya?"
Skatmat! Lucia kembali mencuit kesekian kalinya. Gigi Lucia ber-gemeletuk, Cewek itu memang mengibaratkan bendera perang terhadapnya.
Selang tak begitu lama mobil putih itu kian melambat saat melakukan belokan ke arah yang Lucia tunjukkan, laju kendaraan yang Juni kemudikan ia tetap bergerak santai dan terhenti saat Lucia berseru sambil menuju halaman rumah.
Cewek lantas turun dari mobil tanpa menoleh ke Azoya. Ia mendekat ke Juni dan membukukan sedikit badannya.
Lucia mengembangkan senyumnya. "Makasih sekali lagi, kak. Kaka baik banget padahal aku cuma murid baru. Udah mau di repotin sama cewek kayak aku. Emm.. gak pengen mampir dulu, kak?"
Azoya menyela, "Dih, modal makasih gak bikin waktu buat nganterin loh terbayar sendirinya. Kalau peka kasih ongkos gitu."
Mimik ekspresi menampakan ketidak sukaan tetapi dengan cepat cewek itu segera menggantinya dengan senyum kebanggaan.
"Dih, pansos mulu. Kelihatan banget gak laku." Azoya berdecih di masih di tempatnya, Lucia diam pun dia tetap tak suka. "Makanya beli kouta modal download aplikasi. Abis, tuh, open donasi."
Sebelum keributan kembali, Juni mengerakan kepalanya kebawah lalu mengangkatnya sebagai isyarat hendak pergi dari sana. Lucia membalasi dengan anggukan cepat serta lambaian tangan tanpa henti sampai mobil itu bergerak menjauh.
Suasana didalam sana kembali sunyi sebab tak ada kesinisan yang Azoya tujukan.
Juni juga memilih dia daripada membuat Azoya melontarkan kata pedasnya, saking lamanya mereka membisu kini Juni menghentikan mobil selepas memasuki pagar bercat hijau mudah alias rumah Azoya.
"Udah sampai. Loh gak ketiduran, kan?" tanya Juni basa-basi.
Azoya bergerak cepat, membuka pintu dengan kasar dan mengempeskan pintu hingga terdengar suara berdebam. Juni diam dan menunggu Azoya berkata sesuatu tetapi ia tak mendapatkannya hingga Juni putuskan ikut keluar.
"Gue boleh mampir, Zo?" pinta Juni mengiringi langkah yang terasa menghindarinya. "Udah lama gak main sama Kava-"
"Kavan gak ada. Dia lagi liburan ke Belanda," potong Azoya.
"Ooh, iya, kah?" Juni tetap tak kunjung pergi meskipun cukup sadar diri dapat penolakan secara tak langsung. "Yaudah kalau gak ada Kavan sama Abian atau Beta aja. Kalau mereka juga gak ada ngobrol bareng bokap nyokap sampai piaraan hayalan loh, gue juga nyambung aja."
"Terserah. Asal loh gak malu aja bertamu tanpa di undang." Dengan sengaja Azoya menekan tiap kata.
"Gak masalah. Gue tebal mukanya."
Balasannya acuh dari Juni membuat cewek itu melajukan gerakannya, tidak dapat membantah. Azoya makin merenggut kesal saat dengan santai cowok itu nyelonong masuk mendahuluinya.
Saat kaki Azoya masuk ke tempat yang sama ia tak mendapati lagi keberadaan Juni. Alih-alih mencari Azoya mengabaikan saja.
"Cowok segede gitu cukup dewasa bahkan buat keliling dunia. Gak bakal ilang, paling ini rumah kecolongan," gumam Azoya sesuai pemikirannya.
Pandangan Azoya kembali berpencar ke sekeliling. "Ini penghuninya pada kemana. Tumbenan gak kayak duplikat rumah sakit jiwa."
Sebelum ke kamar ia pergi ke dapur guna mencari Malvia juga kedua abangnya yang suara terdengar dari Azoya berada, sampai-sampai dia malah menemukan Juni bercakap asik bersama mereka.
Mereka semua menoleh ke Azoya, lain dengan Juni menampilkan raut bisa. Pura-pura serius membaca dengan mulut mengunyah biskuit buatan Malvia, kepala Juni mengangguk-angguk sampai tak sadar majalah di tangannya terbalik.
"Sini, Zo. Duduktidak ada pergerakan
KAMU SEDANG MEMBACA
STOP SINGLE(Tahap Revisi)
Teen Fiction"Jomblo itu kenyataan bukan keinginan." Saat memasuki masa remaja, Azoya bertekad untuk berhenti dari status jomblo. Yang jadi masalah, meskipun hati dapat menerima siapa saja asal tampan dan enak dipandang, tidak ada satupun cowok yang mendekat ber...