"Papi!"
Bukan Azoya namanya kalau menyerah begitu saja. Tidak mendapatkan bantuan untuk masalah hidup dan matinya cewek itu berlarian menghampiri Alga yang baru saja pulang bekerja. Pria paruh baya itu menyandarkan diri di sofa di atas balkon kamarnya, jauh dari segala tingkah laku anaknya yang pada gila.
Baru merasa lega, Alga kembali menghembuskan nafasnya pasrah. Beginilah hidup sudah, begitu pikirnya.
"Nih, Pi! Zo, bawain teh rasa sianida!" ucap Azoya cengengesan.
Alga mengangguk. Tidak menghiraukan candaan Azoya itu. Menyambut secangkir teh yang dibawa anaknya itu lalu menyerupnya nikmat. "Kemanisan, Zo. Kamu mau Papi kena stroke?"
"Aduh, iya, kah?" tanya cewek itu mengerjapkan matanya. "Mungkin karna, Zo, yang buat makanya manis gitu. Padahal, mah, tadi, yah, Pi, gulanya dua butir, doang. Bagus, kan, penghematan?"
"Hmm."
Azoya duduk di samping Agha, memperhatikan ayahnya yang tengah menikmati teh buatnya. Agha menoleh, ia cukup peka terhadap sikap anaknya yang sudah dipastikan ada maunya. Cewek itu tampak Maja seperti biasanya
"Mau apa kamu? Duit? Nyope? Apa Civa?" tebak Alga.
Mulut Azoya terbuka lalu terbentuk wajah berseri penuh semangat. Penawaran yang sungguh diluar dugaan. "Emang Papi bisa kasih Civa buat, Zo?!"
Alga mengeleng santai. "Enggak, sih."
"Ishh, Papi, ih!" kesal Azoya memukul-mukul bahu lebar Alga. Ayahnya itu hanya tertawa mendapatkan wajah kesel anaknya.
"Aku lagi sedih tau." Azoya mulai mengatakan. Wajahnya seketika redup menatap Alga agar ayahnya dapat memahami kondisi hatinya yang segelap malam hari kini. Bulan, pun, tak ada seoalah mendukung kegundahannya.
"Kenapa? Civa ganti behel lagi? Atau parfum Civa ganti jadi dawne?" tebak Alga sok tahu. Ia paham betul anaknya selalu mengatakan tentang cinta tak sampainya bernama Civa itu.
"Bukan! Itu nanti." Azoya mengelak karena bukan itu yang sekarang ingin dibahasnya.
Azoya menatap Alga penuh harapan, juga memijat sebelah bahu ayahnya dengan wajah kembali riang seperti apa yang yang di lakukan pada Beta.
"Papi. Papi gak ada niat buat jodohin Azoya sama anak rekan bisnis Papi gitu? Atau rekan bisnis yang paling muda, kek. Biar bisa gedein perusahaan. Gapapa, kok, Zo, jadi tumbal. Sekali-kali jadi anak yang berguna. Zo, rela demi Papi." Azoya kembali menawarkan dirinya. Iagi pula bisanya anak orang kaya bisanya sering kali dijodohkan seperti di novel romansa yang ia baca.
"Kamu kekecilan, Zo. Anak teman Papa umuran Abian," jawab Alga jujur.
Azoya menggelengkan kepala tidak setuju dengan pemikiran ayahnya. "Gapapa. Zo, suka yang tua-tua gitu, Pi. Senpai-senpai gitu kalau kata Geva. Temen, Zo."
Alga memutar bola matanya jengah. Benar-benar pikiran anaknya satu ini. Tidak habisnya mempermasalahkan tentang jodoh, padahal baru saja menginjak masa remaja beberapa pekan tapi sudah seperti perawan tua takut ngejanda.
"Udah, lah, Zo. Mending belajar yang ampe bener. Papi takut kamu sesaat gak ingat pulang. Tar, seneng Abian," jelas ayahnya tidak ingin membicarakan lebih lanjut mimpi anaknya.
"Tapi, kan, Pi-"
"Zo, Juni nyariin, noh, didepan," potong Beta memberitahukan.
"Yeee, Juni datang. Papi ngobrolnya nanti aja, yah. Zo, pengen ke pasar malam nyari cogan," cetus Azoya antusias.
Ia segera ngincir menuruni tangga dengan penuh semangat. Juni sedang duduk di sofa bersama dua buaya titisan ayahnya, Azoya mengisyaratkan agar cowok itu menunggu sedikit lebih lama. Cewek itu masuk kamar mengganti pakaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STOP SINGLE(Tahap Revisi)
Teen Fiction"Jomblo itu kenyataan bukan keinginan." Saat memasuki masa remaja, Azoya bertekad untuk berhenti dari status jomblo. Yang jadi masalah, meskipun hati dapat menerima siapa saja asal tampan dan enak dipandang, tidak ada satupun cowok yang mendekat ber...