23. Dicolong

79 66 3
                                    

"Yuhuuuu penghuni neraka! Azoya datang membawa derita yang bakal di bagi rata buat kalian semua!"

Hampir seluruh orang di dalam kelas memutar bola matanya, tampak malas mendengar suara cempreng yang memekikan telinga. Siapa lagi pelakunya kalau bukan pemeran si utama, yakni Azoya.

Mereka memilih mengabaikan tingkah gila cewek itu yang makin hari makin menjadi. Azoya duduk di tempat beberapa temannya berkumpul, menulis namun nampak panik. Semuanya begitu semua.

"Napa loh pada? Gontong royong?" tanya Azoya menyendarkan bahunya di kursi yang bertumpu dengan dinding.

Nora mengangkat kepalanya. "Zo, loh udah pr matematika?"

"Hah, emang ada? Iya, kah?" Azoya balik bertanya, nadanya tampak santai-santai saja.

Nora berdecak, ia mengibaskan bukunya di depan wajah mantan teman sebangkunya itu. "Ais, loh, tuh, yah! Udah suka lupa diri, sok hilang ingatan pula! Kan, tugasnya disuruh ngumpul ke eloh!"

"Ooh, itu." Azoya mangut-mangut, baru ingat selepas memutar bagian-bagian kecil otaknya. Cewek itu lalu memperhatikan Nora juga yang lain mengerjakan tugas.

"Loh udah selesai, Zo?" Nora bertanya lagi.

"Belum. Baru aja ingat," jawab Azoya seadanya.

"Lah, terus ngapa loh disini?!" gertak Nora mulai emosi karnanya. Yakali hendak berhadapan dengan guru matematika yang dikenal ke-galakannya, se-enjoy ini.

"Yah, gue harus kemana? Ini, kan, kelas gue juga."

Azoya membela diri penuh keyakinan. Noni sampai dibuat mengertakan giginya, ia melihat kembali menulis cepat jawaban yang kini berada di layar handphone. Begitu pula teman sekelas lainnya.

"Ish, ngeselin loh pada. Udah ketularan kutu buku kelas sebelah, pagi-pagi udah belajar aja," nyinyir Azoya merasa kehadirannya tak terhiraukan.

"Loh kagak bisa di contek," timpal Sisil di sebelahnya.

"Kalau loh mau nyontek dia juga sia-sia. Diragukan kebenarannya," Kaivan sudah menduga-duga.

"Nah, itu tau. Nyari jawab gini, nguras kuota yang harusnya di habisin bareng oppa. Gue, kan, juga males ngarang, gak pinter di bahasa Indonesia," terang Nora berusaha sejelas-jelasnya. Tangan bergerak mengetik smartphonenya, soal serta jawaban selanjutnya.

"Ah, udah, lah. Ngasal aja gue," pasrah Sisil frustasi.

"Kalau jawabannya salah ngapain capek-capek nulis? kumpulin aja buku kosong. Terus bilang gini, nilainya se-iklasnya aja, Bu." Azoya menerangkan, mulai memberikan ide cemerlang menurut versinya. Namun, tak maksud di akalnya yang membuat semua orang disana tercengang.

"Kalau gak iklas gimana?" tanya Livan lugu.

Geva diam tampak berpikir. "Yah, tunggu aja ajalnya.

"Ah, udah, ah. Mau ke meja gue aja, disini ngebosenin semua," kata Azoya sedikit menyentil mereka dengan perkataannya. "Kacang, kacang, kacang!"

"Loh kali gak jelas!" balas mereka serentak. Ingin menelan Azoya bulat-bulat rasanya saking gedeknya.

Semua orang sibuk mengerjakan urusan mereka, yang harusnya jadi urusan Azoya juga. Sudahlah ia sedang malas mengerakan jarinya, menyerah saja. Pak Anton sudah banyak mendapatkan tugas yang bakal di koreksi, Azoya tak ingin ikut membebani.

"Murid mana lagi yang sebaik gue? Udah cantik, gak suka nyusahin guru lagi," puji Azoya amat bangga pada dirinya sendiri.

"Kang semen!"

Azoya mendudukan dirinya sebelah Kenes yang kini merebahkan kepalanya di atas meja. Cowok itu nampak seperti tukang tidur yang amat handal. Azoya celinguk-celinguk sekali lagi, kelas temannya sudah ada guru masuk. Yang lain sok sibuk, sedangkan kuota ludes tak bersisa. Apa yang harus ia lakukan?

"Kang semen! Tidur mulu, habis ngeronda,yah," tegur Azoya hendak membangunkan.

Cowok itu berdesis risih, masih pada posisinya. "Sana loh!"

"Ngapain kesana? Meja, kursi, sama jiwa gue ada disini." Azoya menolak, mempertahankan posisinya. Ia mendengus. "Enak aja ngusir-ngusir."

Setelahnya ia tak kian mendapatkan, Azoya melirik Kenes yang tak ada pergerakan. Entah tidur atau pura-pura saja. Mulut Azoya komat-kamit, semuanya kompak rese menang.

"Ya, udah, lah. Mending gue makan sesajen buatan Mami dari pada makan hati disini," ucap Azoya seorang diri.

"Kang semen makan," tawar Azoya sebagai pemanis belakang.

Ia merogoh tasnya, meletakan bekal di atas meja lalu membukanya. Azoya menghirup dalam aroma harum menggugah selera itu, ada nugget ayam juga sempol buatan Mamanya. Dia mengerakan tangannya memilih, lalu menyantap sempol terlebih dahulu.

"Makan adalah solusi masalah utama," kata Azoya bijak, sementara mulut terus mengunyah. "Hati boleh kosong, perut jangan. Mencintai dia butuh tenaga, biar kenceng nangisnya."

Ketenangan Kenes mulai terkecoh oleh aroma gurih di sampingnya. sesekali ia melirik, Kenes meneguk ludahnya terasa kering. Cowok meringis pelan saat merasakan gejolak di perutnya.

Sementara Azoya matanya kemana-mana, ia melambaikan sebelah tangannya ke Kaivan sambil terus menyomot makanannya.

"Woi, Kai! Pa kabar?"

Kaivan mendekil, menundukkan meja juga kursi yang berada di belakang Azoya. Memberi jarak pada cewek dengan mulut belepotan tomat sambal.

"Itu jam baru lagi, Kai? Jangan-jangan ini yang dari Walanda," tunjuk Azoya ke jam tangan gold di tangan Kaivan.

Kaivan merentangkan tangannya, memamerkan seperti biasa. "Oh, jelas. Made in luar negeri. Anti shopee, shopee."

Azoya menggelengkan kepalanya prihatin. "Kurang nge-lokal loh, Kai."

Merasa ada peluang pas Kenes perlahan menegakan tubuhnya. Ia menyomot cepat beberapa nugget lalu langsung berlari sangat pas ketika Azoya melihat ke Devan.

"Minta satu!" seru Kenes dari kejauhan.

"WOI MALING! Loh ngambil lima peaaa!"

****

Juni duduk di sebelah Azoya yang kini wajah di tekuk. Ia memperhatikan kelesuan cewek itu terpancar sangat jelas dari wajah kusutnya. Cewek itu mengangkat daguku, memanyunkan bibirnya layak bebek buruk rupa.

"Jun, bekal gue di colong! Padahal nugget-nya buat Civa!" Geva mengadu kepada tetangga sebelahnya.

"Udah, lah, Zo. Besok lagi buatin Civa-nya," saran Juni menenangkan.

"Gak mau! Yang lain udah siap pengen nyamperin Civa pas di istirahat basket!" sela Azoya bulat dengan keputusannya. Azoya berdiri, sehingga Juni mengikuti gerakannya. "Jun, gue pulang dulu, yah. Masih sempet ini."

"Gila loh!" cetus Juni tidak setuju. Ia menghembuskan nafas berat. "Udahlah, Zo..."

"Juni..."

Juni mendahului, ia melirik jam di tangannya. Sudah memasuki latihan basket bermulai. Tetapi seperti bisanya lagi-lagi ia kalah dari hatinya, Juni kembali berbalik sehingga mendapati ekspresi memelas nampak ingin menangis itu.

Berbeda dari biasanya, nyata juga tidak dibuat-buat. Juni menggigit bibirnya, berpikir menenangkan Azoya. Dengan agak ragu-ragu ia membuka tasnya, menyondorkan sesuatu di plastik hitam dari sana setelahnya.

"Nih ambil," suruh Juni jutek. "Mungkin Civa suka."

Azoya yang nampak masam mulai isi kantong itu, cewek dengan tas selempang merah muda itu seketika langsung semringan. Azoya melabung-melabungkan tubuhnya serta merangkul Juni bangga.

"Aaaaa, Mangga! Ini buat gue? Seriusan? Jangan-jangan loh punya pintu mana aja!" pikir Azoya ngelantur.

"Yeaaaa, makasih Juni!" sorak Azoya amat senangnya. Matanya mulai makin menyipit juga pipi kencang naik ke atas dekat mata. "Civa pasti suka! Yakin, deh!"









Part ini belum selesai, udah mulai ngantuk aja nulisnya. Makasih udah baca

STOP SINGLE(Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang