RoyalDuty : "Tanah Dipijak, Langit Dijunjung"

318 55 24
                                    

Membanting pintu keras-keras, melewati para penjaga yang menatapnya gugup dan khawatir, setiap langkah yang dia buat menimbulkan suara hentakan yang bergemuruh di lorong yang sepi.

Kedua jari jemari tangan nya dikepal sangat keras hingga asap tipis hampir keluar dari sela-selanya, tanda dia sedang menahan diri untuk tidak menciptakan neraka kecil di tempat penting ini.

Api tidak begitu murka, sungguh.

Percakapan nya dengan Halilintar mungkin tidak berpihak padanya, namun tetap lancar karena dia mendapat penjelasan yang dia mau.

Seperti yang diharapkan, Halilintar bisa memberikan penjelasan yang Api inginkan dengan tenang.

Dan itu terasa salah.

Api tidak tahu, kenapa dirinya merasa bahwa sikap tenang kakaknya itu salah, sedang dirinya bahkan tidak tahu apa yang salah?

Apa karena Halilintar tidak terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba lagi tidak sopan, mendobrak masuk tanpa ijin?

Orang itu hanya meliriknya sekilas, sebelum kembali fokus pada tumpukan dokumen didepannya dengan helaan nafas.

Seolah mengatakan kehadiran nya bukan hal yang besar.

Ah, begitu ya.

*Dia masih berani setenang itu—*Api menggigit bibirnya, berhenti berjalan di lorong, *Seolah tahu aku akan datang cepat atau lambat. *

Itu artinya, kemarahan Api memang sudah diperkirakan. Semua masih berjalan sesuai rencana apapun itu yang Halilintar miliki.

"Haha..." Api tertawa miris, kepalanya kembali memutar ingatan percakapan yang bahkan belum lama terjadi tadi.

Dia lupa seberapa licik kakaknya itu bisa lakukan dibalik sikap dinginnya itu.

*"Perjanjian ku dengan mu dibuat karena kondisi waktu itu. Kau sebagai putra sulung kak Ari, bertanggungjawab atas ketiga adikmu, tugasku hanya memastikan kesiapan mu." *

Api mengeram rendah, suara kakaknya terngiang-ngiang di kepalanya. Bagaimana dia berkata dengan begitu santai, setelah Api menggebraknya menggebu-gebu.

*"Kau suka atau tidak, aku akan tetap memerintahkan mu melakukan kewajiban mu. Beda dengan adikmu yang lain, Mereka bisa menentukan pilihan mereka sendiri, dan kau setuju dengan itu, ingat? " *

Dia kesal, karena semua itu benar. Api memang menyetujui itu semua, sadar betul akan beban dan tanggung jawab yang akan dia terima, walau mungkin dirinya tidak begitu paham dulu.

Lebih kesal lagi karena ternyata ada celah yang membuatnya merasa seperti orang bodoh yang tidak menyadarinya.

*"Dan Air memilih untuk maju, jadi kuberikan tanggung jawab yang setimpal untuk menghargai keputusan nya. Itu saja." *

Karena Air sendiri yang memintanya, maka perjanjian Api dengan Halilintar tidak berlaku.

Api paham sampai sini, dia sudah mencoba untuk menerimanya walau berat hati karena mengingat percakapan nya dengan Taufan kemarin-kemarin, namun tetap saja...

"Setimpal? Menjamu tamu internasional dia kata 'setimpal'?! Air bahkan baru debut!"

Api tidak paham dimana letak ke-setimpal-an dari ini semua.

Api bersikeras bahwa Air tidak mungkin bisa melakukan pekerjaan penting sebesar itu dalam kurun waktu yang 'singkat' ini. Mengesampingkan fakta adiknya memang pintar, Api tahu bahwa menjamu disini bukan sekedar jamuan biasa.

Impresi pertama adalah hal vital dalam diplomasi.

Wajar jika Api merasa, anak yang waktu debut gemeteran bak anak kucing di pojokan kala melihat jumlah tamu mereka yang sangat banyak itu, tidak akan mampu menjamu tamu yang jumlahnya bisa berkali-kali lipat dari saat itu.

The Lazy Prince's Thorny Road To Peacefull LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang