RoyalDuty : "Reverie"

394 76 20
                                    

"Ini akan menjadi lebih mudah, jika saja kita bisa membuat Frostfire dan Glacier muncul bersamaan."

"Solar. Cukup. Kita sudah membicarakan ini baik-baik dulu."

"Lalu apa ide mu Gem?! Kekuatan orang ini sendiri belum cukup untuk melawan empat senjata itu bersamaan!"

"Pasti ada caranya, toh blizzard juga bisa serangan area luas!"

"Dan membiarkan Ais mati perlahan gitu?"

"Bukan Kak Blaze... bukan itu maksud Kak Gempa."

"Ya memangnya kenapa, Blaze, Duri? Jangankan Ais, kita saja mungkin mati pada akhirnya."

"Bangsat—"

* Ah... *

Satu-satunya orang yang tidak ikut berbicara, menatap kosong pemandangan didepannya bagai sebuah rekaman ulang tanpa rasa.

*Ini rapat terakhir kami... *

Telapak tangan yang bersimbah darah sebelumnya tiba-tiba saja berubah menjadi bersih tak bernoda, dan itu hanya menambah rasa bersalah yang dia punya.

*Frostfire dan Glacier ya... * matanya terpejam dengan tangan mengepal kuat tak ingin mengingat nya lagi, namun bayang-bayang hari itu masih menghantuinya, tak ingin dia lepas begitu saja.

Benar... Kalau saja mereka sudah cukup besar untuk membuka mulut, mereka pasti akan terus menyumpahi perbuatannya hari itu.

Ais ragu mereka akan memaafkannya bahkan di dunia selanjutnya sekalipun.

*Pantas aku sama sekali tidak bicara waktu itu... * Ais dalam batin tertawa miris mengingat hari-hari sebelum kematiannya.

Hak apa yang dia punya untuk berani bersuara saat itu?

Saat rencana mereka bisa disempurnakan jika saja anak-anak itu bisa berada di dunia ini lalu mereka mungkin bisa selamat hari itu.

Tapi Ais menghancurkan kemungkinan indah itu.

"Kau bodoh Ais... Bisa-bisanya menghancurkan satu-satunya kemungkinan untuk hidup bersama mereka."

Tapi kemudian apa yang dia bisa lakukan?

"Apa boleh buat..."

Tapi kalau saja mereka hidup, dia dan saudara-saudara nya tidak perlu mati...

"Sama saja dengan mengatakan mereka senjata hidup..."

Tapi mengesampingkan rasa kemanusiaan nya sendiri, itu adalah cara terbaik.

"Terus apa bedanya kami dengan para penjahat lainnya kalau begitu...?"

Apa pantas mereka disebut pahlawan, setelah mengorbankan nyawa anak-anak segampang itu?

Menyuruh mereka bak senjata tanpa kehendak, melawan penjahat yang bahkan mereka perlu korbankan banyak nyawa... Seperti budak yang tidak punya hak untuk hidup.

*Pertanyaan bodoh. Itu terjadi atau tidak, aku tetap bajingan sampai akhir. *

Karena pada akhirnya, takdir mereka sama saja. Mau mereka mati ditangannya di waktu itu atau mati melawan musuh hari itu, yang mana pun itu Ais tahu dirinya akan sama merasa bersalah nya.

"Lalu buat apa aku masih hidup?" Tanya Ais pada dirinya sendiri, mencekam gemetar dadanya yang mulai terasa sesak.

"Buat apa kami masih menyebut diri kami pahlawan hingga akhir? Munafik!" umpatnya pada dirinya sendiri, tak peduli lagi dengan tetesan air yang mulai tumpah dari matanya.

The Lazy Prince's Thorny Road To Peacefull LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang