Hari itu, badai hujan turun deras.
Rintikan bulir air jatuh ke tanah dari langit malam yang dipenuhi guntur kilat, setiap kemunculan nya hanya membawa suara memekakkan telinga. Menyuarakan teriakan batin yang tidak didengar, permintaan tolong yang diacuhkan, kata-kata yang tertahan di dalam tenggorokan nya seraya menatap kekacauan didepannya.
Dunianya hancur.
*Apa...? *
Mereka harus pergi malam ini. Pergi dari tempat yang pernah mereka sebut sebagai rumah, tempat tinggal dan tempat mereka tumbuh besar yang akan menjadi runtuhan asing sebentar lagi.
Satu persatu, barang-barang terpenting dari yang terpenting mereka angkut ke dalam kereta kuda usang, tidak ada kenyamanan, hanya rasa terburu-buru yang menyesakan.
Di antara kerumunan orang-orang yang panik, ditengah kesibukan yang mendesak dan kekhawatiran yang menakutkan itu, dia terdiam menatap kosong semua itu.
Suara orang disebelah sudah tidak dia pedulikan lagi. Dia hanya diam, diam dan diam, tidak bergerak maupun ingin membantu.
Dia takut hanya akan menambah masalah lagi.
"Ini bukan salahmu."
Surai rambut coklatnya di usap lembut oleh tangan yang sedikit lebih besar dari miliknya, membuatnya otomatis menengok ke samping, menatap Manik Amber yang menatapnya penuh arti dalam sendu.
*Oh...Ini... *
"Jangan. Jangan berwajah begitu kumohon... Sudah cukup. Kita bisa melakukan ini... Aku butuh kamu juga."
Manik Amber itu menatapnya, mencoba terlihat tegar dengan semua rasa sakit yang disembunyikan.
Dia ingin membalas, namun suaranya tidak keluar.
Jadi dia kembali menunduk. Mengangguk pelan tanpa ada keinginan menatap wajah itu lagi, membiarkan tangan orang itu terus mengelus pelan kepalanya.
"Sudah selesai?"
Suara yang lebih berat datang, sosok berjubah hitam datang jauh-jauh kemari, melewati badai dari tempat seharusnya dia berada kemari dengan keadaan kacau.
Kacau, orang itu bukan lagi sosok penuh wibawa yang selalu berdiri tegap di depannya, bukan seperti sosok yang selalu dia kagumi selama ini. Manik Ruby yang dulu dipenuhi dengan kilatan tegas itu kini redup dan terasa kosong, matanya menggelap, mukanya pucat tanda dia kelelahan, kontras dengan pakaian kebesarannya yang hanya terlihat basah karena badai.
Semua orang tahu, dia benar-benar sudah kewalahan dan mungkin...akan segera tumbang.
"Maaf."
Orang itu berkata sambil menatap dirinya dan orang disampingnya dengan tatapan penuh penyesalan.
"Hanya ini yang bisa kulakukan."
Nada orang itu menjadi sangat rendah, sangat kecil penuh dengan rasa sakit saat mengucapkan kalimat itu ditelinga mereka, memeluk mereka berdua dengan erat dengan tangannya yang mencoba untuk tetap tegar.
"Pergilah, kumohon tetaplah hidup."
Pelukannya semakin erat, semakin kuat seolah berusaha melindungi mereka, tidak ingin melepaskan mereka, kalut dalam rasa takut, takut kehilangan lagi.
"Tetaplah hidup, dan jaga adik-adik kita."
*Memorinya Air... *
Ais terdiam melihat bagaimana pemandangan menyakitkan itu memburam dari penglihatan nya
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lazy Prince's Thorny Road To Peacefull Life
Fantasía[On Going] Mantan pahlawan galaksi yang pemalas menjadi seorang pangeran? Apa gak apa-apa tuh? Seseorang yang terdidik untuk berdikari sejak dini, sekarang harus tahu caranya memakai kekuasaan nya dalam memerintah orang. Boboiboy Ais bin Amato kir...