Pagi itu, aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kegembiraan yang aneh menyelimuti hatiku, sebuah perasaan yang tak sepenuhnya kumengerti. Saat tiba di depan gerbang sekolah, pandanganku segera tertuju pada sosok Anggara. Dia berdiri di tengah kerumunan teman-temannya, tertawa dan bercanda seolah dunia ini milik mereka. Namun, ada yang berbeda. Anggara dan teman-temannya tidak mengenakan seragam sekolah, mengingatkanku bahwa hari ini bukan giliran mereka untuk masuk. Kami harus datang bergantian karena pandemi COVID-19 yang belum usai.
Aku berdiri sejenak, memperhatikan dari kejauhan. Ada sesuatu tentang Anggara yang selalu menarik perhatianku, seolah dia memiliki cahaya tersendiri di tengah keramaian. Setiap kali melihatnya, hatiku berdebar tak karuan, dan sebuah kebahagiaan kecil selalu muncul entah dari mana. Aku sendiri tak mengerti mengapa perasaan ini begitu kuat. Apakah ini yang orang-orang sebut dengan cinta pada pandangan pertama? Tapi, bagaimana mungkin? Kami bahkan belum banyak berbicara. Namun, ada kekhawatiran yang mengintip dari balik semua itu—bagaimana jika kesempatan untuk bertemu dengannya semakin jarang? Pikiran itu terus menggangguku, membuatku merasa tak tenang.
Saat melangkah lebih dekat ke gerbang, tiba-tiba mataku menangkap sosok Jovancha yang sedang berjalan menuju kelas. Tanpa pikir panjang, aku berteriak memanggilnya, "Chaaa! Tungguin akuuu!"
Jovancha menoleh, matanya menyipit sedikit karena sinar matahari pagi, "Cepatan dikit, lain kali nggak usah teriak-teriak kayak gitu. Ribut tahu." Ucapannya yang ketus diiringi dengan senyum tipis yang sudah kukenal baik. Aku hanya bisa tertawa kecil, senyumku tak pudar meskipun diingatkan olehnya.
Kami berjalan bersama menuju kelas, melewati lorong-lorong sekolah yang terasa dingin dan asing. Ketika sampai di dalam kelas, suasana terasa hening. Banyak siswa yang masih canggung, belum sepenuhnya mengenal satu sama lain. Guruku sudah masuk, bersiap memulai pelajaran, tetapi aku merasa seperti berada di tempat lain. Pikiranku terus-menerus kembali pada sosok Anggara yang kulihat tadi pagi. Fokusku terpecah, antara ingin mendengarkan pelajaran dan perasaan aneh yang terus menggangguku.
Begitu bel tanda akhir pelajaran berbunyi, aku merasa lega. Hari itu akhirnya selesai, dan aku bisa sedikit bernapas. Aku mengajak Jovancha untuk pulang bersama, dan dia setuju tanpa ragu. Sepanjang perjalanan, kami berbicara tentang berbagai hal, mulai dari pelajaran hari itu hingga topik-topik ringan yang membuat kami tertawa. Jovancha adalah teman yang baik, selalu tahu cara membuat suasana menjadi nyaman.
Namun, meski obrolan kami terasa menyenangkan, ada sesuatu yang terus mengusik pikiranku. Akhirnya, saat kami hampir tiba di rumahku, aku tak bisa menahan diri lagi. "Cha, kamu kenal Anggara nggak?" tanyaku dengan nada yang kucoba buat senormal mungkin, meski sebenarnya aku merasa gugup.
Jovancha menatapku sejenak, tampak berpikir sebelum menjawab, "Enggak, aku nggak kenal dekat sama Anggara. Tapi aku tahu dia. Dia itu teman sekelas kita, kan? Anggara Alexander, anak sesi A."
"Oh," hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang tak kumengerti sumbernya. "Aku juga cuma pernah lihat dia aja, belum pernah ngobrol."
Jovancha mengangkat alis, seolah menantangku untuk jujur, "Tapi tadi kamu nanya soal dia. Kamu tertarik ya sama Anggara?"
Pertanyaannya membuatku terdiam, wajahku mungkin sedikit memerah. Aku memilih untuk tidak menjawab, melangkah dengan lebih cepat menuju rumahku yang sudah terlihat di ujung jalan. Namun, di dalam hati, aku tahu bahwa ada sesuatu yang mulai tumbuh. Sebuah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang entah bagaimana membuatku ingin tahu lebih banyak tentang Anggara.
Saat kami berpisah di depan rumahku, aku tidak bisa berhenti memikirkan perasaan aneh yang terus menghantuiku. Apakah ini awal dari sesuatu yang baru? Sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya? Aku tak tahu pasti. Yang jelas, Anggara Alexander kini telah menjadi sosok yang selalu ada di pikiranku, mengisi hari-hariku dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Mungkin, perjalananku di SMA Briwijaya 1 ini baru saja dimulai, dan entah bagaimana, aku merasa bahwa Anggara akan menjadi bagian penting dari kisah yang akan segera terungkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...