Chapter 53

21 3 0
                                    

Setelah menyelesaikan rencana liburan kami, kami berkumpul di rumah Anggara untuk merayakan ulang tahunnya yang dihadiri oleh kami semua.

"Selamat ulang tahun, Anggara!" ucap kami bersama-sama sambil tersenyum hangat.

Kami semua mengelilingi Anggara, yang duduk di tengah-tengah keluarganya. Orang tua Anggara dengan penuh kasih menyuapinya pertama kali, diikuti dengan antusiasme kami yang lain. Namun, saat giliran saya untuk menyuapi Anggara dengan roti, seorang gadis muncul tiba-tiba dan duduk di sebelahnya.

"Duh, maaf ya aku telat," ucap gadis itu dengan senyum manisnya, mengejutkan kami semua.

"gpp, sayang kamu datang aja dh buat aku senang." balas Anggara sambil tersenyum bahagia.

"Apa kamu temannya Anggara?" tanya ku ramah, meski dalam hati merasakan kepedihan yang sulit diungkapkan.

"tidak, aku adalah  kekasih nya Anggara,"jawab gadis itu sambil tersenyum manis ke arahku.  "

"hmm boleh kah aku menyuapi anggara duluan" tanya gadis itu dengan lembut pada ku

"Ah, begitu ya. Tentu, silakan kamu yang duluan," ucapku mencoba menahan rasa sakit di hati.

Gadis itu dengan lembut menyuapi Anggara, sementara aku mencoba tersenyum dengan tulus. Hatiku terasa berat, tapi aku mencoba untuk tetap bersikap ramah dan menghormati hubungan mereka.

Di tengah riuh rendahnya pesta ulang tahun, aku mencari kekuatan untuk menahan perasaan yang tak terungkapkan. Rasa cemburu dan kehilangan terasa begitu nyata, namun aku berusaha untuk tetap tersenyum, karena aku tidak ingin mengganggu kebahagiaan orang lain.

Itulah momen di mana aku belajar bahwa kadang-kadang, mencintai seseorang berarti juga belajar untuk melepaskan mereka. Meskipun hati terluka, aku berusaha untuk tetap memberikan yang terbaik dalam situasi ini, menjaga perasaan mereka dan menghormati pilihan hidup mereka.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tepat pukul sebelas malam, saat kekasih Anggara dan teman-temannya meninggalkan rumah setelah perayaan ulang tahun selesai, suasana malam yang tenang menyelimuti kota. Meskipun acara sudah berakhir, Anggara masih tertinggal bersama teman-teman laki-lakinya. Saat aku bersiap meninggalkan rumah Anggara dan menaiki motor Adithia, Anggara tiba-tiba menarik tanganku dengan lembut. Aku merasa seperti diseret dalam arus yang tak bisa kutolak saat ia membawaku naik ke motornya.

"Gue antar Dian dulu, ya," ucap Anggara kepada teman-temannya dengan nada yang tak bisa kukatakan apa-apa. Dia memutar kunci kontak, dan mesin motor menyala dengan suara berdengung, melaju di jalanan malam yang sepi. Selama perjalanan, tangannya terasa mengelilingiku, menarikku lebih dekat seolah ingin merangkulku dalam dekapan hangat. Aku membiarkan diriku terhanyut dalam suasana malam yang tenang, mengikuti setiap tikungan dan belokan tanpa kata.

Setelah beberapa waktu, Anggara berhenti di sebuah taman yang pernah kami kunjungi bersama. Taman itu, meskipun sepi, dimeriahkan oleh cahaya lembut lampu-lampunya yang menerangi sekitar. Anggara membantuku turun dari motor dengan lembut, lalu menggandengku menuju sebuah bangku di taman. Kami duduk bersebelahan dalam keheningan malam yang damai, dan di tengah kerlip lampu serta suara angin malam, kata-kata mulai mengalir lembut dari bibirnya.

Namun, ketika Anggara menatapku dengan tatapan tulus dan penuh perhatian, aku merasa tak kuasa menahan rasa sakit yang menggerogoti hatiku. Air mata mulai mengalir tanpa kuasa, mencairkan segala harapan dan keinginan untuk bersamanya. Aku ingin mengatakan begitu banyak hal, tetapi bibirku terdiam dalam kesedihan yang mendalam.

"Dian, kenapa kau menangis? Apakah aku berbuat salah padamu?" tanya Anggara, suaranya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah.

Aku menghela napas berat, suaraku hampir putus asa saat aku menjawab, "Aku tidak bisa menyembunyikannya lagi, Anggara. Aku tidak bisa menahan perasaanku. Melihatmu bahagia bersama dia, sungguh, sangat menyakitkan bagiku."

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang