Chapter 1

66 7 0
                                    

Semuanya dimulai pada hari yang takkan pernah kulupakan—hari pertama kali aku melangkah ke SMA Briwijaya 1. Ini bukan sekadar hari pertama di sekolah menengah atas, melainkan gerbang menuju fase baru dalam hidupku, fase di mana masa depan terbentang dengan segala ketidakpastiannya. Saat itu, aku belum tahu bahwa perjalanan yang akan kutempuh ini akan membawa perubahan besar, membawa serta kisah-kisah yang akan terpatri dalam ingatanku selamanya.

Pagi itu, aku berjalan memasuki gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk. Langkah-langkah kecilku terasa berat, bukan hanya karena tas di punggungku yang penuh buku, tetapi juga karena perasaan asing yang menyelimuti seluruh suasana. Pandemi COVID-19 masih mengintai, menjadikan sekolah ini sepi, tak lagi penuh dengan hiruk-pikuk siswa yang biasa kulihat di film-film. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, di mana senyuman tertutupi masker dan sapaan ramah tergantikan oleh jarak yang tak bisa dihindari.

Aku kebingungan mencari kelas yang seharusnya kutuju. Setiap koridor terasa sama, setiap ruangan tampak asing. Aku berusaha mengingat petunjuk yang diberikan saat orientasi online, namun semuanya terasa buram. Pandangan mataku terus berkeliling, berharap menemukan seseorang yang bisa membantuku, tetapi sepertinya semua orang juga tenggelam dalam kebingungan mereka sendiri.

Di tengah kekalutan itu, tiba-tiba aku mendengar suara yang mengejutkanku. "Halo, kamu juga lagi nyari kelas, kan?" Suara itu datang dari seorang anak laki-laki yang entah sejak kapan berdiri di dekatku. Wajahnya penuh rasa ingin tahu, dengan senyum yang sedikit ragu namun hangat.

"Iya," jawabku sambil mengangguk, masih merasa canggung. "Aku lagi cari kelas 10 IPS 5, kamu tahu di mana?"

Dia tersenyum simpul, ikut-ikutan bingung. "Nggak tahu juga, makanya aku tanya kamu. Jadi, kita sekelas ya?" Nada suaranya yang bersahabat perlahan membuatku merasa lebih tenang, meskipun jawabannya tidak membantu banyak.

Aku tertawa kecil, merasa ada secercah harapan di tengah kegelisahan ini. "Iya, mungkin kita bisa tanya ke panitia, mereka pasti tahu."

Dia mengangguk setuju, lalu tanpa menunggu lebih lama, dia bertanya, "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?"

"Diandra Cristin," jawabku, kali ini dengan sedikit lebih percaya diri.

"Anggara Alexsander," balasnya sambil mengulurkan tangan, senyum di wajahnya semakin melebar. Saat itu, ada sesuatu dalam caranya memperkenalkan diri yang membuatku yakin bahwa aku baru saja bertemu seseorang yang akan memainkan peran penting dalam kisah hidupku di SMA ini.

Setelah percakapan singkat itu, kami berdua berjalan bersama, mencari kelas yang akan menjadi rumah baru kami selama tiga tahun ke depan. Dengan bantuan seorang panitia, kami akhirnya menemukan kelas 10 IPS 5. Aku mengucapkan terima kasih kepada panitia, dan kulihat Anggara bergabung dengan sekelompok siswa lain yang mungkin sudah lebih dulu dikenalnya. Saat itu, ada perasaan aneh yang muncul di dalam hatiku—seperti ada sesuatu yang hilang ketika dia menjauh.

Aku melangkah masuk ke dalam kelas, masih berharap menemukan seseorang yang bisa menjadi temanku. Mataku berkeliling, mencari-cari wajah yang terlihat ramah, hingga akhirnya pandanganku tertuju pada seorang anak perempuan yang duduk sendirian di pojok ruangan. Wajahnya tampak tenang, namun ada sorot mata yang membuatku ingin mengenalnya lebih dekat. Dengan sedikit ragu, aku mendekatinya.

"Halo, boleh duduk di sebelahmu?" tanyaku dengan hati-hati, berharap dia tak merasa terganggu dengan kehadiranku.

"Iya," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari buku di tangannya. Nada suaranya datar, seolah tidak terlalu peduli.

Merasa sedikit canggung, aku mencoba memulai percakapan. "Aku Diandra Cristin. Nama kamu siapa?"

Dia akhirnya menoleh padaku, menutup bukunya dengan perlahan. "Jovancha," jawabnya, kali ini dengan nada yang lebih hangat.

"Senang berkenalan denganmu, Jovancha," kataku sambil tersenyum, merasa sedikit lega karena dia mulai membuka diri.

Awalnya, suasana di antara kami terasa kaku. Namun, seiring waktu, kami mulai berbicara lebih banyak, tentang hal-hal sederhana yang pada akhirnya membuat kami tertawa bersama. Meskipun Jovancha awalnya tampak dingin dan cuek, aku segera menyadari bahwa dia sebenarnya memiliki sisi yang menyenangkan dan penuh humor. Obrolan kami yang sederhana itu perlahan-lahan menghapus kekakuan, menggantinya dengan kehangatan yang tak terduga.

Namun, di tengah percakapan kami, tanpa kusadari, pandanganku terus kembali ke arah pintu kelas, di mana aku melihat Anggara berdiri bersama teman-temannya. Ada sesuatu tentang dirinya—cara dia berbicara, cara dia tertawa—yang membuatku terus memikirkannya. Saat itu, aku sadar bahwa perjalananku di SMA Briwijaya 1 ini baru saja dimulai, dan mungkin, tanpa kusadari, Anggara Alexsander akan menjadi bagian penting dalam perjalanan yang akan mengubah hidupku.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang