chapter 8

26 7 0
                                    

Lonceng di Sekolah Briwijaya baru saja berdentang, menandakan berakhirnya pelajaran. Suara ramai siswa yang bergegas keluar memenuhi lorong-lorong, namun aku tetap terpaku di tempat. Hanya berdiri di sana, membiarkan arus manusia berlalu di sekelilingku, seakan waktu tak lagi relevan. Dalam beberapa hari terakhir, pikiranku kusut, tak mampu memutuskan apakah lebih baik menenggelamkan diri dalam keramaian atau larut dalam keheningan yang sunyi.

Biasanya, aku pulang bersama Evelly dan Jovancha—teman-teman yang selalu ada. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menahan langkahku. Aku memilih untuk menyusuri jalanan sendiri, seolah-olah keheningan kota lebih bisa mengerti hatiku yang kacau daripada canda tawa mereka. Saat aku berjalan, takdir seolah mempermainkan perasaanku. Di antara jejak langkahku yang berat, aku melihat Anggara. Di sana, di seberang jalan, dia berdiri bersama kekasihnya—gadis yang sekarang menjadi pusat dunianya.

Tawa mereka terdengar samar, namun cukup untuk menusuk hatiku. Mereka tampak begitu sempurna bersama. Wajah Anggara yang selalu teduh, kini penuh dengan kebahagiaan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ada percikan dalam matanya yang membuatnya seolah lebih hidup ketika berada di dekatnya. Dan aku? Aku hanya seorang pengagum yang terjebak di sudut pandanganku sendiri, tak lebih dari bayangan yang berusaha mengejar cahaya yang tak pernah bisa kumiliki.

Setiap tawa yang terdengar dari mereka terasa seperti tusukan kecil di hatiku, membangunkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kusimpan dalam-dalam. Mengapa bukan aku? Apa yang kurang dari diriku? Apa yang membuatnya memilih gadis itu, bukan aku? Iri dan sesak mulai merayap dalam dada, membuatku semakin tenggelam dalam rasa rendah diri yang tak kuinginkan. Anggara adalah segalanya yang selalu kubayangkan—sosok sempurna yang membuatku berdebar hanya dengan memikirkan namanya. Tapi sekarang, melihatnya bersama orang lain, rasanya seperti tenggelam dalam lautan yang tak bertepi.

“Kau menyukainya, kan, Dian?”

Suara itu tiba-tiba menyusup ke telingaku, mengejutkan lamunanku. Iastin berdiri di sampingku, senyumnya samar namun penuh pemahaman. Sentuhan lembut di bahuku dari tangannya terasa seperti tamparan kenyataan.

“Aku… aku tidak,” jawabku terbata, mencoba menyangkal, namun kata-kataku terdengar hampa, seperti kebohongan yang sudah terlalu sering kurapal.

Iastin tak bergeming. Tatapan matanya menusukku, seakan bisa membaca seluruh perasaanku tanpa perlu aku mengatakan apa pun. “Jangan berbohong, Dian. Kau tidak perlu berpura-pura di depan orang yang sudah tahu semuanya.”

Aku menghela napas panjang, menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapannya yang begitu tajam. “Aku tidak ingin membicarakannya, Ias. Bukan urusanku siapa yang dia pilih.”

“Bukan urusanmu? Dian, kau selalu memerhatikan setiap langkahnya, setiap detik, setiap senyum yang dia berikan pada orang lain. Kau membohongi dirimu sendiri jika berkata itu bukan urusanmu.”

Kata-kata Iastin membuatku tersentak. Dia benar. Aku telah terlalu lama menyangkal apa yang sebenarnya kurasakan. “Aku tidak bisa, Ias. Aku tidak bisa memberitahunya. Dia sudah punya seseorang. Aku tidak ingin menghancurkan apa yang mereka miliki.”

“Kau tidak perlu menghancurkan apa-apa, Dian. Tapi menyimpan perasaanmu dalam-dalam hanya akan menghancurkanmu perlahan-lahan. Kau mencintai lautan, tetapi kau takut berenang. Sampai kapan kau akan berdiri di tepi dan hanya melihat tanpa pernah mencoba?”

Perkataan Iastin seakan menghantam dinding pertahananku yang selama ini kubangun dengan susah payah. Dia lalu berbalik, meninggalkanku dengan pikiran yang berputar-putar. Aku hanya bisa berdiri di sana, merenungi semua yang baru saja dikatakannya.

Setelah dia pergi, aku menggumamkan jawabanku, entah untuk siapa. “Ya, aku mencintainya. Tapi apa gunanya mencintai seseorang yang sudah bahagia bersama orang lain?”

Langkahku terasa semakin berat. Setiap langkah terasa seperti perjalanan tanpa tujuan, menambah perih yang terus menggelora di dalam hati. Hari ini, aku sadar satu hal—bahwa cinta terkadang bukan hanya soal memiliki, tapi tentang melepaskan orang yang kau cintai, meski itu melukai dirimu sendiri.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang