POV ANGGARA
Setelah berjalan mengikuti suster, kami akhirnya tiba di ruang rawat Diandra. Begitu melangkah masuk, aku terkesima melihat betapa mewahnya ruangan itu—sepertinya kakak Diandra telah memilih kamar VIP agar adiknya bisa beristirahat dengan nyaman.
Diandra terbaring pulas di ranjang, tangan kanannya terhubung dengan selang infus. Melihatnya dalam keadaan seperti itu membuatku merasa berat, namun aku berusaha menahan rasa sedih. Saat aku memusatkan perhatian pada Diandra, aku mendengar pintu terbuka—ternyata kakak Diandra telah tiba.
“Sudah makan siang, belum?” tanya kakak Diandra.
“Sudah, kak. Kami sudah makan siang tadi,” jawabku.
“Kalau begitu, terima kasih banyak telah membantu adik saya,” ucap kakak Diandra dengan penuh rasa syukur.
“sama sama, kak,” jawab kami serentak.
“Kami hanya bisa sebentar di sini, ya kak. Kami khawatir akan dicari orang rumah,” kata Alya.
“Oh, begitu ya? Tidak apa-apa,” jawab kakak Diandra dengan pengertian.
“Kalau begitu, kami pamit dulu, ya kak,” kataku sambil berjabat tangan dengan kakak Diandra, diikuti oleh teman-temanku.
Kami melangkah keluar dari ruangan Diandra, diantar oleh kakak Diandra hingga ke pintu depan rumah sakit. Namun, saat aku hendak memeriksa ponselku, aku menyadari bahwa ponsel itu tidak ada di saku celana ku. mungkin tertinggal di meja di ruangan Diandra. Aku meminta izin untuk kembali ke ruangan, dan mendapat izin dari kakak Diandra.
Aku pun segera berlari kembali ke ruangan Diandra. Setibanya di sana, aku melihat ponselku tergeletak di meja samping ranjang Diandra. Saat hendak pergi, mataku tertuju pada kalung yang pernah kuberikan padanya. Kalung itu masih melingkar di lehernya, dan wajah Diandra yang pucat membuatku merasa sangat berat untuk meninggalkan nya.
Dengan lembut, aku mendekat dan mencium kening Diandra dengan penuh kasih sayang. Setelah itu, aku berbisik di telinganya, “Cepat sembuh, Diandra. Kami semua sangat menunggumu.” kataku lembut saat melangkah keluar dari ruangan.
Aku dan teman-temanku segera melajukan motor kami untuk meninggalkan parkiran rumah sakit, sementara kakak Diandra melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Pagi hari pun tiba dengan suara ibu yang mengingatkanku untuk selalu sarapan pada pagi hari , sementara ayahku duduk tenang di sofa ruang rawat ku dengan secangkir kopi di hadapan nya, dan kakakku telah kembali untuk bekerja.
“ Sudahlah, Ma. Kenapa ribut pagi-pagi? Kejadiannya sudah terjadi, jadikan saja pelajaran,” ujar ayah membela ku.“Benar, Ma. Jangan ribut pagi-pagi. Lagian, aku juga baru sembuh,” tambahku sambil tersenyum nakal.
“Serah kalian berdua, anak sama ayahnya sama saja,” balas Mama dengan nada kesal, membuat kami tertawa bersama.
“Sayang, jaga kesehatanmu baik-baik. Kamu akan ujian untuk naik ke kelas 12, jangan sampai susulan,” nasihat Papa dengan penuh perhatian.
“Iya, Pa. Aku akan berusaha. Maaf sudah membuat Papa dan Mama khawatir,” jawabku dengan rasa bersalah.
“Iya, sayang. Jangan sampai terjadi lagi, ya,” ucap Mama lembut. Aku mengangguk sambil tersenyum, merasa sedikit lebih tenang.
Selama di ruang rawat, aku menghabiskan waktu dengan tenggelam dalam buku dan novel favoritku. Tak terasa, waktu makan siang tiba, dan Mama datang untuk memberiku makan. Setelah selesai, aku kembali terfokus pada membaca novel yang sempat kutinggal. Aku tidak menyadari teman-temanku memasuki ruangan rawat ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...