Chapter 32

21 3 0
                                    

Pukul lima pagi, aku terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, sensasi lembab yang menyebar di sekujur tubuhku. Dengan mata masih setengah terpejam, aku menatap kamar di sekelilingku, yang dalam cahaya samar pagi tampak hening dan tenang. Evelly terbaring di sebelahku, tubuhnya tenggelam di balik selimut yang kusut dan tampak acak-acakan. Aku menyentuh selimutnya dengan lembut, mengatur agar dia tetap nyaman dalam tidur nyenyaknya, sebelum aku memutuskan untuk bergerak keluar.

Aku melangkah perlahan menuruni tangga, suara langkahku terdengar lembut di pagi yang hening. Di bawah, suara ombak yang lembut memecah kesunyian, memberi aku petunjuk bahwa pagi mulai datang. Dengan hati-hati, aku membuka pintu depan vila, berusaha tidak membangunkan teman-temanku yang masih terlelap di dalam.

Di luar, langit masih dibalut kegelapan malam, hanya beberapa bintang yang berkelip-kelip di angkasa. Aku melangkah menuju pantai, yang hanya berjarak lima belas menit dari vila Alvero. Langkahku terasa ringan di atas pasir yang dingin, dan udara pagi yang segar menyambutku dengan sentuhan lembutnya.

Sesampainya di tepi pantai, aku terhenti sejenak, mengamati beberapa sosok yang sudah mulai menikmati keheningan pagi. Aku memilih sebuah batu besar, kokoh dan dingin, untuk duduk. Duduk di sana, aku membiarkan pandanganku menyapu hamparan lautan yang tak berujung, menatap gelombang yang lembut menghapus jejak di pasir. Keheningan pagi ini, ditambah dengan keindahan alam yang terhampar di depanku, membungkusku dalam rasa damai yang mendalam. Aku meresapi setiap detik dari keindahan yang ada di hadapanku, merasa seperti bagian dari dunia yang luas dan tenang ini.

Pov Anggara

Aku terbangun tepat pukul empat pagi, tubuhku terasa kaku setelah beberapa jam tidur yang tidak nyenyak. Meskipun aku mencoba untuk kembali tidur sekitar pukul lima, suara pintu kamar Diandra yang terbuka mengusik ketenanganku. Karena kamar kami bersebelahan, suara itu sangat jelas terdengar. Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamarku dan melihat Diandra keluar dari kamarnya dengan ekspresi ketakutan yang jelas. Aku mengikuti gerakannya, berpikir bahwa dia mungkin hanya pergi ke dapur untuk mengambil air, tetapi dia malah melangkah cepat keluar dari vila. Aku segera meraih jaketku dan bergegas menyusulnya.

Aku mengikuti Diandra hingga pantai, tempat dia akhirnya duduk di atas sebuah batu besar yang dingin. Aku memilih untuk menjaga jarak, berdiri di kejauhan dan mengamati. Saat matahari mulai terbit, keindahan pagi begitu memukau, membuatku hampir lupa diriku dalam pesona warna lembut yang menyemburat di cakrawala.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan di bahuku, dan ketika aku menoleh, aku melihat Anggara duduk di sampingku, jaketnya melingkar di bahuku dengan penuh perhatian.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Anggara, suaranya penuh kekhawatiran yang tak bisa tersembunyi.

"Aku hanya tidak sabar untuk pergi ke pantai, Gar," jawabku, mencoba mengalihkan perhatian dengan nada yang sedikit dipaksakan.

"Kamu yakin? Tidak perlu berbohong padaku," katanya lembut namun tegas, menatapku dengan penuh perhatian.

"Aku tidak berbohong," jawabku gugup, menghindari tatapannya yang tajam.

"Pandang aku saat berbicara denganmu," desaknya, suaranya mengandung penekanan yang membuatku merasa tertekan. Aku mengangkat wajahku, tetapi mataku tetap menghindar.

"Diandra, aku bertanya sekali lagi—kenapa kamu pergi ke pantai sendirian? Jika terjadi sesuatu padamu, bahkan aku atau orang lain pun tidak akan tahu di mana mencarimu," kata Anggara dengan nada penuh keprihatinan. Aku hanya membalas dengan menundukkan kepala, merasa sulit untuk menjelaskan.

"Jawab aku, Diandra. Kenapa kamu hanya menunduk?" desaknya dengan nada yang semakin dingin.

"Aku... aku hanya butuh waktu sendiri," jawabku, masih menghindari tatapannya.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang