Pagi telah tiba, menyibak kegelapan dengan sinar matahari yang memenuhi halaman rumah nenek Anggara. Kami, para wanita, sudah berkumpul di dapur, sibuk menyiapkan sarapan untuk semua orang. Setelah selesai memasak, kami bergantian membersihkan diri. Saat aku hendak bergabung dengan mereka di ruang tamu, aku terkejut melihat hanya Alvero yang masih terlelap di sofa. Dari teras, terlihat mereka semua sudah duduk, menikmati kedamaian desa.
"Kok tidak bilang-bilang kalau sudah bangun? Kira-kira kalian ke mana tadi?" tegasku pada mereka berlima.
"Maaf, Dian. Kami tidak mau mengganggu kalian yang sedang sibuk masak tadi,lagian kami juga di sini kok gk kemana mana " jawab Adithia.
"Oh, Baiklah kalo begitu, aku masuk sebentar ya," ucapku sambil kembali ke dalam rumah.
"Ehe, Cha, bisakah kamu bangunkan Alvero? Aku perlu ke kamar mandi sebentar," pintaku pada Jovancha yang sedang lewat.
"Oke, tenang saja, Dian," jawab Jovancha sambil melangkah ke arah Alvero.
POV Jovancha:
Melihat Alvero yang tertidur pulas, aku tidak bisa tidak memperhatikan betapa tampannya dia saat tidur. Namun, setiap kali dia bangun, wajahnya sering kali terlihat begitu mengesalkan di mata ku. Aku memutuskan untuk membangunkannya dengan menepuk pelan pipinya.
"Alvero, bangunlah. Sudah pagi, kamu mau tidur terus?" ucapku sambil menepuk pipinya dengan lembut.
"Bentar lagi, lima menit lagi,kak " ucap Alvero dengan suara lirih, matanya masih terpejam.
"Eh, aku bukan kakakmu, Al. Bangunlah," kataku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya, tangan masih terasa hangat di pipinya. Alvero merespons dengan menggenggam tanganku dengan lembut, matanya perlahan-lahan terbuka dan menatapku. Tatapannya begitu dalam, seakan-akan mengunci perhatianku padanya.
Tanpa diduga, Alvero mencium pipi kiriku dengan lembut, bibirnya menyentuh kulitku dengan lembut sebelum dia berkata, "Selamat pagi, honey." Lalu, dia dengan cepat berlari menuju kamar mandi, meninggalkan aku dengan hati yang berdebar debar.
Aku membeku beberapa detik, mencerna apa yang baru saja terjadi, lalu dengan cepat menyadari bahwa dia telah menciumku. Dalam sekejap, aku berteriak keras, "Alvero Aldebaran, sialan! Aku akan membunuhmu, lihat saja kau mati di tanganku!" Suaraku memenuhi ruangan, menggegarkan ketenangan pagi itu di depan pintu kamar mandi.
Dia hanya menjawab dengan santai, "Love you, sayang," diikuti dengan tawa yang terbahak-bahak.
Meskipun ada rasa bahagia di dalam hatiku saat dia mencium pipiku, tapi kekesalanku padanya begitu besar. Mengapa dia melakukan ini begitu tiba-tiba? Aku takut jatuh cinta padanya hanya untuk dimainkan. Aku membutuhkan kepastian dari Alvero.
"Kenapa cha, tadi si Alvero ngapain kamu?" tanya Anggara tiba-tiba muncul dari arah yang tidak disangka-sangka.
"Aduh, enggak gar, dia cuma iseng-iseng aja. Yuk, kita rapikan tempat tidur kalian dulu biar bisa sarapan," jelaskan ku pada Anggara, berharap untuk mengalihkan perhatiannya.
"Oke, nanti kalau sudah selesai, aku panggil kamu atau Diandra," ujar Anggara memberi penegasan.
"Aku ke kamar dulu ya," ucapku sambil berjalan menuju kamar.
"Ehe, kenapa tadi teriak-teriak cha?" tanya jovancha saat aku masuk kamar.
"Eh, itu tadi nggak apa-apa, si Al hanya iseng," jawab vancha dengan nada santai.
"Diandra, ruang tamu sudah kita bersihkan," sambung Anggara.
"Iya gar," jawabku singkat.
"Yuk, kita sarapan, cha. Ngapain masih ke kamar?" ajakku jovancha.
"Heheheh, iya Dian," kami bergerak menuju ruang tamu yang sudah disiapkan makanan oleh Iastin dan yang lainnya. Kami langsung memulai sarapan pagi. Setelah kami selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi yang telah kami pilih sebelumnya.
"Ehe, ingat ya, hati-hati dengan jalannya. Jalannya masih tanah, apalagi tadi malam hujan jadi licin," ucap Adithia memberikan arahan kepada kami.
"Siap, Dit. Aman kok," kami menjawab serentak
Kami melanjutkan perjalanan dan sampai pada lokasi, kami melihat sejumlah anak-anak berusia 7 hingga 9 tahun berkumpul di sana. Kami mengarahkan mereka untuk belajar bersama meskipun kami tidak terlalu mahir dalam mengajar. Kami berusaha agar anak-anak di desa itu dapat memahami materi yang kami ajarkan. Selain itu, kami juga merekam kegiatan di sana hingga menjelang sore, ketika kami memutuskan untuk mengakhiri sesi dan pulang.
"Akhirnya tugas selesai juga, tinggal menunggu wawancara di desa ini besok," ucap Nicholas dengan suara yang terdengar lelah.
"Sabar ya, Nic. Besok kita sudah siap kok," ujar Evelly memberikan semangat.
"Iya, Nic. Kalau tugasnya lebih berat dari ini, gimana lagi kamu." kata Iastin.
Nicholas menghela napas. "Ya sudahlah, kalau begitu. Bisa pusing kepala ini."
"Ehe, teman-teman, ayo makan. Tadi kita diberi makanan oleh Pak Kepala Desa di sini," ucapku pada mereka semua. Kami sepakat untuk makan bersama, dan setelah itu kami membersihkan diri masing-masing.
Tepat pukul 8 malam, kami berkumpul di ruang tamu sambil bercengkrama satu sama lain. Tanpa aba-aba, tiba-tiba Anggara merebahkan dirinya di pangkuanku. Aku terkejut sejenak sebelum dia dengan cepat mengatakan, "Maaf ya, Dian, badanku lagi sakit semua. Lagian, di sini tidak ada bantal, jadi aku rebahan sebentar di pangkuanmu ya. Hanya sebentar kok." Lalu, matanya terpejam dan dia tertidur dengan tenang. Aku memilih untuk tidak mengganggunya, melanjutkan percakapan dengan teman-teman kami yang lain.
Namun dari suatu tempat yang tak terduga, Alvero dan Lionel tiba-tiba bersandar di pundak Johancha dan Cyvara, menciptakan kebingungan dalam diriku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan ketiganya? Mereka mencari posisi yang nyaman untuk beristirahat. Awalnya, Johancha dan Cyvara nampak enggan, namun Iastin dengan bijak berkomentar, "Biarkanlah mereka. Mungkin mereka kelelahan dan tidak dapat tidur sekarang, mengingat kita masih berkumpul di ruang tamu."
"Evelly, bolehkah aku pinjam HP sebentar? soal nya hp ku sedang habis batrei nya Aku ingin main game dengan Hendra," ujar Nicholas ketika baru saja datang.
Dengan ramah, Evelly memberikan HP-nya pada Nicholas yang segera pergi.
"Alya, bisakah kamu tolong aku?" pinta Adithia pada Alya.
"Tolong apa, Dit?" tanya Alya dengan lembut.
"Tadi lengan ku tergores oleh batang pohon. Bisakah kamu mengoleskan obat untukku? Aku agak kesulitan melakukannya sendiri," jelas Adithia pada Alya.
"Tentu, Dit. Biar aku yang bantu," ucap Alya sambil Adithia duduk di sampingnya. Dengan penuh perhatian, Alya mengobati lengan Adithia.
"Sudah selesai, Dit. Lain kali lebih hati-hati ya," ucap Alya dengan lembut.
"Iya, Alya. Terima kasih banyak," ucap Adithia sambil pergi bergabung dengan Hendra dan Nicholas di teras rumah.
"Cie-cie, kalian berdua cocok sekali," ucap Cyvara.
"Iya, kalian benar-benar pas, Alya. Kayaknya ada yang sedang bersemi di antara kalian," kata Iastin. Kami semua bersorak dan tertawa, Alya terlihat tersenyum penuh kebahagiaan.
Setelah kami bersorak pada Alya, aku merasa Anggara agak terganggu oleh kebisingan yang kami ciptakan, membuatnya gelisah. Dengan lembut, aku mengulurkan tangan dan mengelus punggungnya untuk menenangkannya.
"Mungkin sebaiknya kita tidak terlalu berisik. Lihatlah Anggara dan Alvero, mereka terlihat agak terganggu dengan kebisingan yang kita buat," ucap ku pada mereka.
"Baiklah, mari kita bicara dengan suara yang lebih tenang, agar tidak mengganggu mereka," usul Evelly kepada kami dengan serius. Kami semua mengangguk setuju, menunjukkan pemahaman akan saran tersebut.
Dan pada malam itu, kami hanya menghabiskan waktu dengan berbicara dan bercanda satu sama lain. Sementara Anggara, Alvero, dan Lionel sudah terlelap dalam alam mimpi mereka, Hendra, Adithia, dan Nicholas melanjutkan permainan game mereka. Ketika menuju pukul 10 malam, kami memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Anggara ku tinggalkan di ruang tamu dengan posisi yang kubetulkan agar tubuhnya tidak sakit saat bangun, begitu juga dengan Alvero dan Lionel.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...