Hari mulai meredup, menandakan datangnya malam yang diberkahi hujan yang tak kunjung usai. Tanpa ragu, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan pulang ke rumah masing-masing.
"Yuk, kita terobos hujannya seperti ini saja," ajak Anggara dengan semangat yang membara.
"Kita harus bergerak, jika tidak, mungkin kita tidak akan sampai ke rumah. Lagi pula, ini pasti membuat para cewek khawatir," sahut Adithia, memberikan dukungan pada keputusan Anggara.
"kalian semua siap siap, jangan sampai ada yang tertinggal," tegas Alvero dengan perhatian yang tajam.
"Siap, ver," jawab kami serentak.
Nicholas membantu Evelly dengan cekatan naik ke atas motor. "Kita bisa berangkat sekarang," ucapnya dengan ramah.
"Makasih banyak, Nic. Maaf merepotkan," kata Evelly dengan senyum manis.
"Baiklah, mari kita berangkat ," ujar Anggara, mengambil alih kendali sebagai pemimpin dalam perjalanan kali ini.
"Kalau kamu kedinginan, peluk saja, Dian. Hujannya semakin deras," ucap Anggara dengan suara yang terdengar jelas di tengah guyuran hujan.
"Aha, iya Gar, tidak masalah ini. Takutnya nanti kekasihmu salah paham," kataku, mendekatkan diriku agar dia bisa mendengar dengan jelas.
"Tidak masalah, Dian. Lagipula, dia tidak ada di sini. Jika dia tahu, aku bisa menjelaskannya. Pasti dia akan memahami situasinya," ucapnya dengan tenang dan yakin.
"Baiklah, Gar," kataku mantap, melingkarkan tanganku di pinggang Anggara, dan menyandarkan kepala ku ke bahunya yang kokoh. Aku merasakan kehangatan dari tubuhnya di tengah hujan yang mengguyur kami, menikmati setiap momen yang kami lewati bersama.
"Jangan peluk dengan setengah hati," desak Anggara, meraih tanganku untuk memeluknya erat. "Begini, biar kamu tidak kedinginan," ucapnya sambil mengendalikan motor dengan satu tangan dan memegang tanganku yang lain dengan penuh perhatian.
Sampai juga akhirnya aku dan Anggara di depan pintu rumahku tepat pukul delapan malam. Sementara teman-teman yang lain juga melaju pulang ke rumah masing-masing. Aku segera turun dari belakang motor Anggara begitu motor berhenti di depan teras rumah.
"Terima kasih, Gar, sudah mengantar dan menjaga kami berenam tadi di sana," ucapku pada Anggara dengan penuh rasa terima kasih.
"Sama-sama. Oh ya, lain kali jangan terlalu sering melamun ya, itu tidak baik untukmu," ucap Anggara sambil lembut merapikan rambut yang menutupi sebagian wajahku.
"Ehe, Gar," sahutku sambil tersenyum malu-malu.
"Dengan begini, kamu terlihat cantik. Ayo, sekarang kamu masuk dan mandi dulu agar tidak kedinginan," ujarnya dengan penuh perhatian.
"Iya, Gar, tapi bagaimana dengan jaket ini?" ucapku, suara sedikit gemetar karena dingin.
"Nanti saja kamu kembalikan, atau bahkan boleh kamu simpan untukmu sendiri," ucap Anggara dengan senyumnya.
"Tapi, Gar, tidak enak kalau begitu," ujarku mencoba menolak, tetapi Anggara langsung menyelanya.
"Ini untukmu, Diandra. Tidak perlu dipikirkan. Lagipula, aku punya banyak jaket di rumah," ucapnya sambil mengelus kepala dan merapikan rambutku dengan lembut.
"Baiklah, Gar. Terima kasih sekali lagi. Hati-hati saat mengendarai motormu," kataku dengan tulus.
"Iya, aku pergi ya. Kamu cepat masuk ke dalam, kalau tidak, aku tidak akan pergi," ujarnya sambil memperingatkan ku.
"Iya, aku masuk dulu," jawabku sambil berlalu ke dalam rumah dengan hati yang hangat. Suara mesin motor Anggara perlahan meredup seiring perjalanannya menjauh dari halaman rumahku.
"Oh, astaga, sayang, kenapa kamu pulangnya lama begini? Kok bisa basah semua begini?" ucap Mama dengan suara yang penuh kekhawatiran.
"Iya, Ma, tadi kehujanan. Ya kali kan disiram orang, kan gk lucu Ma," ujarku sambil mencoba untuk menghibur Mama.
"Baiklah, kamu segera masuk ke kamar mandi. Biar Mama siapkan air hangat untukmu," ucap Mama sambil bergerak menuju dapur.
Aku memilih untuk menaiki tangga ke lantai atas menuju kamarku, lalu langsung masuk ke kamar mandi yang Mama sudah siapkan dengan air hangat. Setelah mandi dan mengganti pakaian tidur, mataku tertuju pada makanan yang tersedia di meja riasku. Aku yakin ini karya Mama, dan tanpa ragu aku langsung menikmatinya. Setelah itu, karena kelelahan yang kurasakan hari ini, aku memutuskan untuk segera beristirahat.
Pagi hari ini, aku bangun dengan perasaan senang, meskipun kebahagiaan itu hanya sebentar ketika mataku melihat jaket Anggara yang tergantung di samping lemari bajuku. Aku mengambil jaket yang masih sedikit lembap itu, dan dalam sekejap teringat saat Anggara merapikan rambutku semalam. Ada kebahagiaan di dalam hatiku saat itu, namun pikiranku memberi peringatan,
"Jangan biarkan perasaan ini berkembang terlalu dalam, karena itu hanya akan membuatku semakin terikat dan sulit untuk melupakannya." Pikiran dan hatiku tidak selaras pada saat itu, namun aku memilih untuk menikmati momen indah dalam hidupku."Dian, sayang, ayo turun untuk sarapan," seru Mama dari luar pintu kamarku, sambil mengetuk pintu dengan lembut.
"Iya, Ma, aku akan turun setelah mandi," jawabku dengan sedikit berteriak.
"Baiklah, sayang, cepat turun ya," ucap Mama sembari langkahnya menjauh dari kamarku. Aku segera melangkah ke kamar mandi. Hari libur membuatku bisa bangun agak telat. Setelah mandi dan bersiap, aku mengambil jaket Anggara untuk kuletakkan di keranjang pakaian kotor, yang akan dicuci oleh Bi Tuti. Dengan santai, aku melangkah menuju ruang makan.
"Pagi, Sayang," sapa Papa begitu aku muncul di ruang makan.
"Pagi juga, Pa. Kok masih di sini? Biasanya sudah lewat jam pergi ke kantor," ucapku sambil memperhatikan setelan kantornya yang rapi.
"Papa boss-nya, jadi terserah Papa dong," ujar Papa sambil tersenyum.
"Terserah Papa deh," jawabku santai, membuat Papa tertawa.
"Udah, Pa, ketawanya. Papa kesiangan nih, karena mau berangkat ke luar kota siang ini, Sayang," ucap Mama dengan lembut.
"Oh, begitu. Jangan lupa bawa oleh-oleh ya, Pa," kataku sambil tersenyum.
Suasana makan pagi itu berlangsung dalam keheningan. Setelah selesai sarapan, aku kembali ke kamarku dan terlibat dalam dunia novel kesukaanku. Hingga menjelang sore, tak ada yang menarik perhatianku selain hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Genç KurguKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...