Pagi hari itu, aku terbangun dengan semangat untuk memulai hari. Saat aku bangkit dari tempat tidur, aku menyadari bahwa make-up dan gaun yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Namun, yang menarik perhatianku adalah jas Anggara yang tergeletak di samping tempat tidur tempat aku tidur semalam. Aku mengambil jas itu dan memasukkannya ke dalam tempat baju kotor, sambil bertanya-tanya mengapa jas Anggara ada di kamarku. Meskipun heran, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan melanjutkan untuk membersihkan diri dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Setelah selesai mandi, aku segera mengenakan seragam sekolahku dan turun ke bawah untuk sarapan bersama keluargaku. Sesampainya di ruang makan, aku melihat keluargaku sedang berbincang dengan penuh kehangatan. Aku ingin sekali menanyakan sesuatu pada keluarga ku mengenai jas anggara namun aku mengurung kan saja niat ku itu dan langsung bergabung dengan mereka, mencoba untuk tidak memikirkan lagi tentang jas Anggara yang tadi aku temukan di kamarku.
"Pagi, semuanya," sapaku saat aku turun dari mobil.
"Pagi juga," jawab mereka serempak.
"Gimana semalam, dek? Seru nggak pentas seninya?" tanya kakakku, tampak penuh perhatian.
"Biasa aja sih, kak. Tapi berkat teman-temanku, pentas seninya terasa lebih hidup," jawabku santai sambil mengambil roti yang ada di depanku.
"Ini bekalnya, sayang," ucap mama sambil menyerahkan bekal yang kuterima dengan senang hati.
"Baiklah, aku berangkat dulu ya," kataku pada keluarga.
"Hati-hati di jalan ya, sayang," pesan papa dengan lembut.
"Iya, pa," sahutku sambil melangkah keluar rumah menuju mobil yang menungguku.
Sesampainya di sekolah, aku segera turun dari mobil. Sebelum melangkah lebih jauh, aku menyempatkan diri untuk mengucapkan terima kasih kepada supir pribadi papa. Dengan penuh semangat, aku melanjutkan langkahku menuju kelas. Di sana, teman-temanku tampak sibuk mengobrol dengan ceria.
"Pagi, semuanya," sapaku saat aku bergabung dengan teman-teman yang duduk di sekitar meja di sampingku dan meja Lionel.
"Pagi juga, Dian," jawab mereka serempak.
"Kalian lagi ngobrolin apa?" tanyaku, penasaran.
"Jadi, dua hari lagi aku dan Anggara akan bertanding di kota lain," jelas Hendra.
"Berarti kalian nggak masuk sekolah dong?" tanya Evelly.
"Enggak, Vel. Tapi kami tetap akan tercatat di buku absensi," sahut Hendra.
"Di kelas kita, siapa aja yang ikut?" tanya Lionel.
"Aku, Anggara, dan Sebastian. Mehan juga akan bertanding voli untuk mewakili sekolah kita, sedangkan kami bertanding mewakili kota kita," jelas Hendra.
"Kalau begitu, selama dua hari ke depan aku nggak bisa ketemu kalian berdua," kata Cyvara.
"Emang enggak bisa ketemu, tapi setelah itu kita bakal ketemu lagi kok, Va," jawab Hendra.
"Ngomongin apa sih? Seru banget kelihatannya," tanya Alvero yang baru datang bersama Anggara.
"Kami lagi ngomongin tentang pertandingan besok," jawab Hendra.
"Ohhhh, Hendra, kalian berdua dipanggil Pak Aldi. Kayaknya mau bahas soal pertandingan kalian," kata Alvero pada Hendra dan Anggara.
"Yaudah, kami pergi dulu ya," ucap Anggara sambil mengelus lembut kepala kepala ku sebelum meninggalkan kelas.
"Kenapa sih Anggara suka banget ngerusak rambutku?" keluhku dengan nada pelan, wajahku sedikit kesal.
"Udah, Dian, maklumi aja. Namanya juga Anggara, hidupnya nggak tenang kalau nggak gangguin kamu," kata Jovancha dengan santai.
"Eh, kita nggak ada pelajar kah hari ini?" tanya Evelly.
"Biasanya sih setelah pentas seni, kita dapat jam kosong hari ini," jelas Alvero.
"Kalau tahu begini, mendingan aku tidur di rumah aja tadi," keluh Adithia.
"Tapi absen tetap jalan, goblok," sahut Nicholas pada Adithia.
"Ya bodo amat, yang penting aku bisa tidur," balas Adithia.
"Serah lu deh," jawab Nicholas.
"Kita ke kantin belakang yuk. Di kelas nggak nyaman," ajak Alvero.
"Yuk, ke kantin belakang. Aku juga lapar," tambah Nicholas.
"Yuk, langsung aja," ajak Lionel.
Kami memutuskan untuk berjalan menuju kantin belakang, disertai percakapan yang penuh semangat. Setibanya di kantin, kami segera mencari tempat duduk yang kosong. Beberapa di antara kami memesan makanan, sementara yang lainnya hanya memesan minuman.
"Eh, ngomong-ngomong, Dian, gimana hubungan kamu sama Sidevan?" tanya Alya.
"Sejujurnya, aku juga nggak tahu. Sejak kejadian kemarin, dia nggak pernah menghubungiku," jawabku.
"Jadi, berarti kalian belum putus?" Evelly bertanya lagi, dan aku hanya mengangguk.
"Kalau gitu, mendingan kamu sama Anggara aja. Walaupun dia playboy, dia tahu cara menghormati wanita," kata Alvero dengan santai.
"Lu sama Anggara itu hampir sama aja, Al. Nggak usah cuma bilang Anggara, deh," sahut Jovancha pada Alvero.
"Ehe, bukan gitu, sayang," jawab Alvero, panik mendengar Jovancha.
"Ya udah, Dian, jangan terlalu dipikirin si Devan itu," kata Iastin dengan tenang.
"Ngomong-ngomong, gimana dengan tugas kelompok kita? Kok gue lihat kalian santai banget?" tanya Nicholas tiba-tiba.
"MAMPUS, gimana nih?" Cyvara langsung panik.
"Jangan panik, gue juga jadi panik," tambah Lionel.
"Ya gimana lagi, kalian kira bisa siap dalam sehari?" kata Alvero santai.
"Tapi menurutku, tugas itu bisa siap. Lagipula, di antara kita, kamu sama Iastin pintar gambar, Anggara juga jago," kataku.
"Iya, lu bertiga yang gambar, kita bersembilan yang cat," tambah Jovancha.
"Kenapa sih kalian semua jadi bising gini?" tanya Anggara yang baru bergabung dengan kami.
"Ehe, anjir, lu udah di sini aja?" tanya Nicholas heran.
"Gue udah dari tadi di sini, kalian baru nyadar? Sekarang kalian lagi bahas apa?" tanya Anggara.
"Itu, Gar, tugas seni budaya," jawabku.
"Oh, itu. Tadi Ibu bilang kita ngerjainnya besok bareng-bareng," kata Anggara santai.
"Ha, anjir, kenapa nggak diumumin sih?" keluh Lionel.
"Udah diumumin, kalian aja yang nggak perhatiin grup," balas Anggara.
"Yaudah, lu berdua duduk aja. Jangan kayak mau nagih utang," kata Adithia, yang langsung membuat kami tertawa.
"Iya, Dit, astaga," sahut Hendra sambil tertawa.
Kami menghabiskan waktu di kantin dengan penuh keceriaan, canda tawa kami yang riuh bahkan terdengar hingga keluar dari kantin. Dalam suasana yang hangat dan penuh tawa itu, aku merasa enggan meninggalkan momen yang begitu menyenangkan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...