Selama kami melanjutkan perjalanan, aku hanya diam, begitu juga Anggara yang mengendalikan motor. Anggara hanya memperhatikan pemandangan di sekelilingku hingga akhirnya dia mengajukan pertanyaan.
"Dian, sepertinya kamu tidak tertarik dengan Devan, padahal dia orang yang baik," ucap Anggara padaku.
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Kenapa?" tanya Anggara padaku, matanya memperlihatkan keingin tahuan yang tulus.
"Karena saat ini aku belum siap untuk terlibat dalam hubungan khusus, Gar," jawabku dengan tegas, meskipun aku tahu itu hanya setengah dari kebenaran.
"Oh, begitu. Tapi sejujurnya, kalian sangat cocok, Dian. Aku pikir kamu seharusnya mempertimbangkannya lagi. Aku akan membantunya mendekatimu. Aku tunggu jawabanmu," ucapnya dengan keyakinan yang mencoba meyakinkanku bahwa aku dan Devan adalah pasangan yang tepat.
"Aku akan memikirkannya lagi lain kali, Gar," kataku sambil tersenyum tipis.
Akhirnya kami tiba di lokasi yang akan menjadi tempat kami mengerjakan tugas dari Bu Karin. Tempatnya terletak di pedesaan, sebuah daerah yang tenang dan terpencil. Saya mulai memahami mengapa Anggara memilih tempat seperti ini.
"Wah, tempat ini bagus sekali," ucap Alya dengan kagum kepada kami semua.
"Ini adalah tempat yang sering kami kunjungi bersama Anggara saat liburan sekolah," tambah Hendra kepada Alya.
"Iya, kami sering datang ke sini bersama Hendra dan Aditdia. Meskipun tempatnya agak jauh, pemandangannya sangat indah, apalagi di daerah pedesaan seperti ini," jelas Anggara dengan antusias.
"Ayo, kita mulai menjelajahi lokasi ini agar bisa pulang lebih cepat," ajak Adithia kepada kami semua.
"Benar, terutama karena cuacanya mulai mendung. Takut hujan nanti, kasihan para wanita di sini," ucap Nicholas dengan perhatian.
"Yuk, langsung bergerak dari sini," ucap Alvero memimpin jalannya di depan kami.
"Hati-hati ya, jalannya agak licin karena tanahnya," tambah Lionel kepada kami.
"Baiklah," jawab kami berenam serempak kepada para laki-laki yang menyertai kami saat ini.
Setelah kami menyusuri tempat itu dengan teliti, akhirnya kami menemukan lokasi yang akan kami jadikan objek tugas kami. Meskipun tempatnya sulit ditemukan, namun sangat cocok untuk dijadikan objek pembelajaran. Anggara menjelaskan bahwa ini adalah tempat yang sering mereka kunjungi bersama teman-temannya. Suasananya begitu sejuk dan menyenangkan, menciptakan rasa nyaman yang membuat kami betah tinggal di sana.
"Baiklah, mari kita turun sekarang juga. Langit sudah cukup gelap, sepertinya hujan akan segera turun," ucap Alvero kepada kami semua dengan suara yang serius.
"Iya, kasihan para cewek, nanti bisa kehujanan lagi," tambah Adithia, menunjukkan perhatiannya.
"adithia benar, yuk turun sebelum hujan semakin deras," ucap Hendra kepada kami.
"Yuk, Cha, pegang tanganku. Jalanan di sini cukup licin, aku takut kamu tergelincir," ucap Alvero dengan penuh perhatian kepada Jovancha.
"Iya, terima kasih atas bantuanmu," ucap Jovancha kepada Alvero, yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Dian, bisakah kamu?" tanya Anggara tiba-tiba padaku.
"Aku bisa, Gar," jawabku dengan wajah tenang.
"Mungkin lebih baik aku yang menggenggam tangan mu," ucap anggara sambil mengulurkan tangannya padaku.
"Oh, tidak perlu repot, Gar. Aku bisa melakukannya," ucapku dengan nada yang sedikit tidak enak. "Takut merepotkanmu."
"Tidak pegang saja, kamu tidak merepotkan," katanya dengan tenang.
"Bagaimana, para cewek, bisa nggak?" teriak Adithia kepada kami semua.
"Bisa kok, Dit," jawab Reva mewakili kami.
"Pegangan yang kuat ya, Alya, takut jatuh nanti," kata Adithia kepada Alya.
"Iya, Dit, terima kasih atas bantuannya," ucap Alya dengan senyum manisnya.
"Ah, begitu aja tidak bisa. Aku lebih suka mandiri, tidak terlalu romantis, iya gk , Hendra?" ucap Iastin kepada kami semua.
"Iya lah, kamu kan setengah cowok setengah cewek," kata Hendra dengan candaannya.
"Bangke lu, Hen," ucap Iastin dengan ekspresi kesal, diikuti tawa dari kami semua.
Selama kami berjalan turun dari lokasi yang baru saja kami lihat, hujan tiba-tiba mengguyur kami dengan sangat lebat. Hal ini membuat kami memutuskan untuk mencari tempat berteduh di dekat motor yang kami parkirkan tadi.
"Aduh, hujan ini kalau datangnya nggak pernah bilang dulu, ya," ucap Nicholas dengan candaannya.
"Hahaha, sejak kapan hujan bisa bilang-bilang, Nic?" ucap Nicholas, disambut tawa dari kami semua.
"Kalian semua basah ya," ucap Aditdia dengan penuh perhatian.
"Iya, Dit, karena hujan," ucap vera pada Adithia.
"Kita gak masalah basah begini. Pulangnya setidaknya kalian berenam yang jaga kami tadi," ucap Evelly menenangkan mereka.
Kami kembali hening, masing-masing dalam pikiran sendiri, sampai mendengar suara Hendra dan Iastin yang ribut.
Iastin, mengapa kau begitu pelit, tidak mau membelikan kita minuman hangat dengan uang kas itu?" ejek Hendra sambil menggoda.
"Bangke, lu aja susah ngasih uang kas, terus mau apa gue kasih ke kelas lu? Uangnya udah tinggal minus, nggak ada lagi, ehe. Lagian, kalau diinget-inget, uang kas kamu udah nunggak dua minggu ini, loh," ucap Iastin dengan nada tegas, suaranya membara pada Hendra.
"Aduh, udahlah, jangan ribut terus kalian," tegur Adithia pada mereka sambil memberikan jaket yang dipakainya kepada Alya, yang disambut dengan senyum hangat.
POV ANGGARA
Aku memperhatikan Diandra yang terdiam, matanya melirik sesekali ke arah Iastin dan Hendra dengan senyum tipis yang cepat hilang saat dia kembali terlena dalam lamunannya. Aku selalu penasaran mengapa dia sering melamun begitu dalam. Langkahku berhenti di dekatnya, lalu aku memberikan jaketku yang kubawa.
"Kenapa kamu suka sendiri begitu?" tanyaku, dia terkejut melihatku mendekat.
"Tidak apa-apa, Gar. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendiri. Terima kasih atas jaketnya," ucapnya, sambil memeluk jaket itu erat, mungkin karena dia merasa kedinginan.
"Baiklah, kalau begitu, kenapa kamu menangis kemarin setelah bicara dengan Iastin? Apakah ada masalah antara kalian?" tanyaku, tapi kata-kataku terpotong ketika Iastin tiba-tiba duduk di sebelah Diandra. Aku melihat ekspresi kaget yang terpancar dari wajah Diandra.
"Ada apa, Ias?" tanyaku dengan santai pada Ias.
"Lionel memanggilmu, ada yang ingin dibicarakan dengannya," ucap Iastin dengan serius. Aku memilih pergi, meninggalkan mereka berdua.
Aku membiarkan mereka berdua untuk berbicara, melihat Iastin mengadakan percakapan serius dengan Diandra. Aku jadi penasaran dengan masalah apa yang sedang dihadapi oleh Diandra sehingga membuatnya selalu terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...