Pagi kembali datang dengan kewajibanku untuk pergi ke sekolah. Ibu, seperti biasanya, memanggilku untuk sarapan. Namun, hari ini, semangatku benar-benar surut. Entah mengapa, aku merasa kehilangan motivasi untuk memulai hari. Setelah mengenakan seragam sekolah, aku turun ke bawah untuk bergabung dengan keluargaku.
"Pagi, sayang. Ada apa dengan wajahmu?" tanya Papa dengan ekspresi bingung saat aku turun ke meja makan.
"Pagi juga, Pa," sahutku dengan suara lesu, sebelum langsung duduk di kursi.
"Apa yang terjadi, Nak? Kamu sakit?" tanya Mama dengan nada khawatir.
"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur semalam," ucapku dengan senyum tipis, berusaha menenangkan mereka.
"Kamu yakin tidak ada yang mengganggumu?" tanya Kakak dengan penuh perhatian.
"Tidak, Kak. Aku baik-baik saja, hanya kurang tidur," aku menjawab mantap, mencoba meredakan kekhawatiran mereka.
"Begitu ya. Baiklah, Nak," ucap Papa dengan lembut.
"Iya, Pa. Pa aku minta izin. Senin dan Selasa aku harus fokus mengerjakan tugas sekolah yang membutuhkan waktu lama," ujarku pada Papa dengan tegas.
"Oh, dengan siapa kamu pergi dan ke mana?" tanya Papa, menunjukkan kepeduliannya.
"Aku akan pergi bersama teman-teman sekelas ke Desa X," jawabku dengan antusias.
"Baiklah, hati-hati di sana. Jaga dirimu dan bersikap baik di lingkungan baru," pesan Papa dengan bijaksana.
"Aku akan mengingatnya, Pa," jawabku penuh keyakinan.
"Yuk, kita berangkat. Jangan sampai terlambat ke sekolah," ajak Kakak dengan semangat.
"Iya, Kak. Kami berangkat ya, Pa, Ma," ucapku sambil memberi salam pada kedua orangtuaku.
"Iya, hati-hati di perjalanan," ucap Mama sambil tersenyum hangat.
Kami berpamitan dengan anggukan kepala, lalu melangkah pergi dari rumah menuju sekolah. Setibanya di sana, aku memberi salam perpisahan pada Kakak sebelum memasuki gedung sekolah yang penuh dengan harapan dan tantangan.
"Pagi, Dian," sapa Alya begitu aku duduk di bangkuku.
"Pagi juga, Alya," jawabku sambil menatapnya.
"Eh, uang kas kalian berdua mana?" tanya Iastin, suara tenangnya terdengar di tengah ruangan, yang kami langsung beri kan uang kas kami pada iastin
"dian, besok kita jadi kan ?" teriak Nicholas dengan antusias.
"Jadi, Nic?" jawabku, tatapanku menangkap anggukan dari Nicholas.
"Eh, ada apa itu?" tanya Alya, matanya melirik ke arah iastin dan kristina.
"Aku juga tidak tahu, Alya," ucapku, pandanganku terarah pada Iastin yang tengah sibuk berdebat dengan Kristina.
"Ada apa lagi dengan sipikmi itu ?" ucap Lionel dengan tatapan tajam yang terarah pada Kristina.
"Aku juga tidak tahu, Nel. Kita tunggu saja perkembangannya. Kalau dia semakin jadi masalah, kita akan mendukung Iastin. Selain itu, Iastin mampu menghadapinya sendiri," ucapku sambil kami berdua mengamati pertarungan kata antara Iastin dan Kristina.
"Eh, bagaimana bisa kamu menjadi bendahara yang tidak kompeten? Uang kas kita bisa negatif begini, apa kamu korupsi?" tanya Kristina dengan nada yang meninggi, menyerang Iastin.
"Maksudmu apa ngomong begitu? Kamu tidak lihat situasi di kelasmu yang sulit membayar uang kas. Jangan sembarangan bicara, atau mulutmu akan ku robek rasa nya !" ujar Iastin dengan suara yang menggelegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...