Tak terasa setelah liburan minggu lalu, kami kini telah memasuki sekolah dengan duduk di kelas 12 SMA di sekolah Brijaya. Sudah dua tahun berlalu sejak kami pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
"Pagi semua," sapa Bu Hernita saat kami berkumpul di kelas. "Hari ini kita tidak langsung memulai pembelajaran, tetapi saya akan mengatur tempat duduk kalian. Sebelum itu, ijinkan saya memperkenalkan diri, saya Bu Hernita, mengajar di bidang geografi. Saya harap kita dapat saling menghargai di kelas ini. Pengurus kelas akan tetap seperti tahun lalu." jelas bu hernita pada kami.
Setelah bu hernita memberkenal kan diri nya saat nya giliran Kami yang memperkenalkan diri kepada Bu Hernita, wali kelas baru kami. Setelah semua sudah siap memberkenal kan diri kepada bu hernita, Bu Hernita pun dengan hati-hati menetapkan tempat duduk kami. Setelah selesai, kami memulai diskusi mengenai rencana ke depan nya untuk kelas kami, dan saat lonceng istirahat berbunyi, suasana kelas pun mereda.
"Eh, masa aku duduk jauh dari kamu, Dian," ucap Evelly kepadaku dengan nada sedikit kecewa.
"Aku juga merasa begitu, Vel. Tapi kan di belakangmu masih ada Jovancha dan Alvero," jawabku mencoba menghibur.
"Iya, dan di depanmu masih ada Nicholas," tambah Alya dengan senyum.
"lu masih enak vel, gimana aku yang sebangku dengan Devan," ucap Iastin dengan nada lesu.
"Hahahah, semangat ya, Ias," goda Cyvara pada Iastin.
"Untungnya aku sebangku dengan Adithia," tambah Alya sambil tersenyum.
"Eh, Lionel, gimana kalau kita tukar tempat duduk?" usul Evelly saat melihat Lionel masuk ke dalam kelas.
"Gak bisa, Vel. Nanti kena denda sama bendahara kita," jawab Lionel dengan serius.
"Ya sudahlah, terima saja nasibnya," kata Hendra yang duduk di belakangku.
"Lu sebangku sama siapa, Hen?" tanya Anggara penasaran.
"Aku sendiri saja. Lebih santai begitu, tapi untungnya aku sebaris dengan Iastin dan Diandra," jawab Hendra dengan santai.
"gimana lagi dengan gue yang sebangku sama Sipikmi, bisa gila nih. Untungnya dekat dengan Diandra, kalau enggak bisa mati gue," keluh Anggara agak frustrasi.
"Hahahah, nasibmu Gar," sambung Nicholas dengan tawa.
Kami pun melanjutkan obrolan dengan riang, sesekali tertawa. Tiba-tiba, Devan mengajak Anggara bicara berdua di luar kelas. Kami berhenti sejenak, melihat mereka berdua berbicara di depan pintu. Beberapa menit kemudian, mereka memutuskan untuk pergi dari situ.
" kira-kira mereka berdua ngomongin apa ya?" tanya Cyvara pada kami dengan wajah penasaran.
"Ya, mana kami tahu, Va," jawab Alya sambil menggeleng.
"Aku curiga mereka membicarakan mu, Dian," ucap Alvero serius, matanya tetap menatapku tajam.
"Aku rasa nggak mungkin, Al," sahutku mencoba menenangkan.
"Mungkin saja, Dian. Apa yang gak mungkin?" goda Alvero.
"Kamu tahu kan, Devan suka banget sama kamu. Mungkin dia cemburu lihat kamu dekat sama Anggara," ucap Evelly dengan serius.
"Jujur aja, Dian. Mungkin setelah ini kamu sama Anggara bakal jadi asing," tambah Iastin dengan ekspresi prihatin.
"Namun, kita harap nggak akan sampai situ," tambah Alya, mencoba memberi semangat.
Setelah mereka mengucapkan itu, pikiranku melayang ke masa depan hubunganku dengan Anggara. Aku khawatir kami takkan sehangat sekarang. Lamunan itu terhenti ketika Anggara masuk kedalam kelas dengan wajah dingin. Aku pun semakin penasaran apa yang dibicarakan oleh Devan dan Anggara.
"Napa dengan wajahmu, Gar?" tanya Adithia pada Anggara dengan nada santai .
"Gak papa, Dit," jawab Anggara santai, matanya melirik ke arahku.
"Dian, ayok kita bicara," ajak Anggara, menarik tanganku menjauh dari teman-teman kami.
"Kita ke belakang sekolah aja ya," tambahnya dengan suara pelan, dan aku mengangguk setuju.
Kami pun melangkah ke belakang sekolah, melewati tembok yang sudah sering kami lewati bersama dengan Anggara. Anggara membawaku ke taman yang sering kami kunjungi bersama.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku sambil duduk di rerumputan taman itu, diikuti oleh Anggara yang merebahkan dirinya di pangkuanku.
"Dian, bagaimana perasaanmu terhadap Devan?" tanya Anggara tiba-tiba.
"Aku hanya menganggapnya sebagai teman, Gar. Kenapa?" jawabku.
"Dian, apakah kamu tidak ingin membuka hatimu untuk Devan?" lanjut Anggara.
"Sudah berapa kali aku menjawab pertanyaan ini, Gar," ucapku agak kesal.
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Tapi, Dian, bisakah kau menerima Devan untukku?" ucap Anggara tiba-tiba, membuatku terkejut.
"Gar, apa yang sedang kau bicara ini ? Kenapa kau bertanya seperti itu?" ucapku dengan suara yang mulai gemetar.
"Tidak apa-apa, Dian. Aku hanya ingin membantu Devan," kata Anggara dengan lembut.
"Apakah kau yakin,kau tidak sedang bercanda kan?" tanyaku ragu.
"Tidak, Dian. Aku serius. Aku hanya ingin melihatmu bahagia bersama Devan. Aku yakin dia bisa membuatmu bahagia," ucap Anggara sambil mengusap pelan pipiku, dan air mata mulai mengalir dari mataku.
"Gar, apakah kau benar-benar ingin aku bersama Devan?" tanyaku, mencoba mencari kepastian.
"Iya, aku ingin melihatmu bahagia, Dian. Aku yakin kau bisa membuka hatimu untuknya," ucapnya mantap.
"Gar, aku... aku tidak bisa," kataku putus asa.
"Mengapa? Aku yakin jika kau memberinya kesempatan, kau bisa bahagia bersamanya, Dian. Percayalah padaku," ucap Anggara dengan tulus.
"Gar, aku takut. Aku takut tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain" ucapku dengan suara tercekat oleh tangis.
" kenapa kamu takut dian " ucap nya dengan menghapus air mata ku
" karna aku takut kau akan meninggalkan ku " ucap ku dengan setengah ke bohongan.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Dian. Tapi, aku ingin kau juga mencoba untuk membuka hatimu kepada orang lain. Aku yakin kamu bisa melakukannya," ucap Anggara sambil merangkulku erat.
"Gar, aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," ucapku dalam keputusasaan.
"Tenanglah, Dian. Aku di sini untukmu. Kita akan melewati ini bersama-sama," ucap Anggara dengan penuh keyakinan, mencoba menenangkan hatiku yang kacau.
Dalam pelukan Anggara, aku merasa terlindungi meskipun hatiku masih penuh dengan keraguan dan ketakutan akan masa depan dengan Anggara dan Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...