Setibanya di restoran yang direkomendasikan oleh Alvero, kami turun dari mobil dengan Anggara membantu ku keluar dengan payung yang ada di sebelah tangan nya. Langkah kami menuju ke dalam restoran dilakukan dengan tenang, dan kami duduk di meja yang telah disediakan. Kami segera memesan hidangan dari menu yang tersedia, dan setelah memilih, kami menyerahkan pesanan kepada pelayan.
"Tempatnya bagus ya," ucap Jovancha, dengan merapat kan jas Alvero kedalam tubuh nya .
"Iya, terutama pemandangannya yang begitu menawan di tengah hujan seperti ini," tambah Evelly.
"Sungguh nyaman di sini, apalagi dengan suasana malam yang diterangi hujan," kataku kepada mereka.
"Sudahlah, nanti saja kita nikmati pemandangan. Makanan sudah datang dan saatnya untuk kita makan," kata Nicholas dengan santai.
"Baiklah, sebelum makan, siapa yang akan membuat doa?" tanya Lionel. "Tidak ada yang mau buat nih," ujar Iastin.
"Kalau begitu, biar Diandra saja yang memimpin doa lagi," usul Adithia, menunjuk ke arahku.
"Yuk, mari kita bersatu dalam doa," ucapku kepada mereka sambil memulai doa.
"Baiklah, selamat menikmati semuanya," ucap Cyvara kepada kami semua, yang kami sambut dengan anggukan kepala.
Kami menikmati hidangan kami dengan tenang, hening yang hanya terganggu oleh suara lembut hujan di luar jendela. Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk berbincang-bincang sejenak sambil menunggu redanya hujan.
"Kenapa hujan ini tidak juga berhenti? Sepertinya semakin deras," keluh Jovancha.
"Aku juga merasa sangat ngantuk sekarang," kata Evelly kepada kami semua.
"Aku juga merasa sangat lelah," tambah Alya.
"Kalian ini saja kali yang merasa begitu," goda Nicholas.
"Baiklah, bagaimana kalau kita mencoba menembus hujannya saja? Tapi yang membawa mobil harus hati-hati ya," usul Anggara.
"Iya, Gar. Ayo kita berangkat," ajak Alvero kepada kami semua.
Kami sepakat untuk pulang meskipun hujan masih turun dengan cukup deras. Setelah mengantar Alya, kami melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Cyvara, lalu Lionel dan Nicholas. Setelah itu, kami menuju ke rumahku.
"Kamu terlihat sangat mengantuk," ucap Anggara pada ku.
"Iya, Gar. aku benar-benar mengantuk," jawabku.
"Baiklah, tidurlah sebentar. Aku akan membangunkanmu ketika sudah sampai," ucap Anggara.
Aku menutup mata ku, dengan kepala ku yang ku sandar kan di pintu mobil Anggara. Sisanya, aku tak tahu apa yang terjadi karena kelelahan. Hari ini memang benar-benar melelahkan. Aku memilih untuk tidur. Selanjutnya, aku tak tahu lagi, sudah masuk ke alam mimpiku.
POV Anggara
Aku mendengar dengkuran halus ketika dia memejamkan matanya. Akhirnya, mobilku sampai di depan rumah Daindra. Aku berhenti di teras, agar kami tak kehujanan. Aku melihat jam menunjukkan pukul 12 malam. Mungkin kami terlambat pulang karena menunggu hujan reda. Aku memandang Daindra yang tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat indah dengan riasan yang menawan. Devan sungguh beruntung memiliki Daindra. Namun, mengingat sikap kasar Devan padanya, rasa ingin memukul Devan datang kembali.
Aku dengan lembut mengangkat Diandra dari dalam mobil, sambil memperbaiki gaunnya agar rapi. Tanpa ragu, aku memberikan jas milikku untuk menutupi bagian atas gaunnya yang terbuka. Setelah memastikan semuanya terlihat baik, aku menggendong Diandra keluar dari mobil, sambil menekan bel rumahnya. Papa Diandra segera membuka pintu.
"Malam, Om. Saya Anggara, datang mengantar Diandra pulang," ucapku dengan nada sopan meskipun agak gugup.
Tatapan tajam ayah Diandra meneliti situasi. "Kenapa anak saya ada di gendonganmu?"
"Diandra tertidur di dalam perjalanan tadi, Om," jawabku dengan cepat, mencoba menjelaskan.
"Oh, begitu ya. Baiklah, ayo masuk. Kamarnya ada di lantai dua, namanya sudah terpampang di depan pintunya. Kamu bisa masuk, saya sebentar ke dapur," ucap ayah Diandra, mempersilakan aku masuk ke dalam rumah mereka.
Aku mengikuti ayah Diandra dengan hati-hati, merasa lega bahwa aku bisa memberikan penjelasan yang memadai meskipun dalam keadaan gugup.
Aku naik ke lantai dua dengan langkah hati-hati. Sesampainya di sana, pintu kamar Daindra terlihat dengan cat biru dan nama 'Diandra' terpampang di depannya. Aku membuka pintu dengan lembut dan meletakkan Diandra di tempat tidurnya. Kuselimuti dia dengan teliti agar tidak kedinginan. Kamar Diandra teratur rapi dengan aroma khas yang menguar di udara. Saat menjelajahi ruangan, mataku tertuju pada jaketku yang tergantung di samping lemari hias Diandra. Aku mendekatinya dan memeriksanya sebentar, sebelum melanjutkan penjelajahanku.
Di sudut kamar, sebuah foto dalam bingkai menarik perhatianku. Terpampang jelas Diandra bersama dengan ku dan teman-teman lainnya. Setelah mengamati dengan seksama, aku merasa perlu mencium kening Diandra sebelum aku pergi. Kebiasaan ini menjadi suatu yang aku senangi belakangan ini. Dengan hati-hati, aku menutup pintu kamar Diandra dengan pelan sebelum turun ke lantai bawah.
Di ruang tamu, aku melihat Ayah Diandra duduk dengan tenang, menikmati segelas kopi yang tersaji di hadapannya.
"Om, saya akan pulang dulu ya," ucapku sopan pada Ayah Diandra.
"Pada jam segini, kamu yakin mau pulang? Lagipula masih hujan di luar," ujar Ayah Diandra, nada khawatir terdengar jelas.
"Tidak apa-apa, Om. Saya membawa mobil, jadi bisa langsung pulang," jawabku dengan mantap.
"Baiklah, tapi hati-hati ya saat mengemudi. Jangan terlalu cepat, apalagi kondisi jalanan sedang basah begini," pesan Ayah Diandra dengan suara hangat.
"Saya akan memperhatikannya, Om," jawabku sambil tersenyum.
"Baiklah, ayo saya antar ke depan. Terima kasih juga sudah menjaga Diandra," ucap Ayah Diandra sembari membuka pintu.
"Sama-sama, Om,kalo gitu saya pulang ya om" jawabku ramah.
Yang dijawab dengan anggukan kepala dari ayah diandra.Setelah aku meninggal kan perkarangan rumah diandra aku pun sampai pada rumah ku, dengan diri ku yang langsung saja memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke dalam rumah menggunakan kunci cadangan yang selalu ada di saku celana. Tanpa menunda lebih lama lagi, aku langsung menuju kasur dan terbaring, tanpa mengganti pakaian, merasa sangat lelah setelah hari yang begitu melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...