Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali aku melihat Anggara. Jadwal pembelajaran yang berbeda memisahkan kami, seolah-olah ada jurang tak terlihat yang memisahkan dunia kami. Namun, hari ini, harapan kembali muncul. Situasi COVID-19 mulai mereda, dan untuk pertama kalinya dalam satu semester ini, aku bisa melihatnya lagi, meskipun hanya dari kejauhan. Hatiku berdebar tak karuan saat memasuki gerbang sekolah, seakan ada magnet yang menarikku ke arah di mana Anggara berada.
Pagi itu terasa berbeda. Langkahku terasa lebih ringan, meski ada ketegangan yang membayangi. Begitu tiba di kelas, aku langsung duduk di bangkuku yang kini selalu di sebelah Jovancha. Kami semakin dekat sejak pertama kali bertemu, dan sekarang kami bahkan selalu duduk sebangku. Meski jarak bangkuku dari tempat Anggara duduk cukup jauh, setidaknya aku bisa melihatnya dari sini. Hanya dengan melihat sosoknya yang terlihat baik-baik saja, sudah cukup untuk membuat hatiku hangat dan tenang.
"Woi, jangan melamun gitu! Itu guru sudah masuk, loh!" Jovancha menyenggol lenganku, memecah lamunan yang menjeratku.
"Oh, iya, Cha," jawabku dengan senyum yang tertahan, berusaha kembali fokus pada pelajaran yang akan dimulai.
Namun, konsentrasiku seolah lenyap setiap kali mataku tertuju pada Anggara. Ada sesuatu yang menarik di wajahnya, mungkin kekhawatiran. Guru sedang memeriksa tugas yang harus dikumpulkan, dan aku bisa melihat jelas bahwa Anggara belum menyelesaikannya. Wajahnya tampak tegang, membuatku ingin sekali membantunya. Tapi apa daya, bangkuku terlalu jauh. Aku hanya bisa duduk diam, menyaksikan dia dipanggil maju ke depan kelas. Kepalanya tertunduk, dan saat itu, aku merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan—keinginan untuk berada di sampingnya, untuk menenangkannya.
"Dian, Diandra, kamu dengar nggak sih?" Suara Jovancha yang keras membuyarkan lamunanku. Aku terkejut dan langsung menoleh padanya.
"Heh, kenapa, Cha? Maaf, tadi aku melamun," jawabku dengan nada menyesal karena mengabaikannya.
"Itu, Fina manggil kamu," ujarnya sambil mengarahkan pandangan ke arah Fina yang duduk di seberang.
"Oh, kenapa, Fina?" tanyaku sambil mencoba mengalihkan perhatian dari Anggara, yang masih menjadi pusat perhatianku.
Kami mulai berbicara tentang tugas yang diberikan oleh guru. Namun, hatiku masih terpaut pada sosok Anggara yang sedang berdiri di depan kelas. Ketika tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan tersenyum, dunia seakan berhenti sejenak. Senyumnya yang sederhana, namun penuh makna, membuat jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Aku balas tersenyum, meski pipiku mulai memerah. Rasanya seperti bunga yang mekar di tengah musim semi—hangat dan indah.
Hari itu terasa begitu cepat berlalu, hingga akhirnya lonceng pulang berbunyi. Meski merasa enggan untuk meninggalkan kelas, aku harus melaksanakan tugas sebagai petugas kebersihan hari itu. Dengan sapu di tangan, aku mulai membersihkan ruangan, berharap bisa segera menyelesaikan pekerjaan. Namun, tanpa kusadari, Anggara masih berada di dalam kelas.
"Kamu butuh bantuan?" Suara lembutnya menghentikan gerakanku. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di dekatku, mengangkat bangku-bangku agar aku bisa menyapu dengan lebih mudah.
"Boleh saja, kalau nggak merepotkan," jawabku dengan senyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
"Pastinya tidak merepotkan. Yuk, kita selesaikan biar cepat selesai," jawabnya dengan senyum hangat yang membuat hatiku meleleh.
Kami melanjutkan tugas kami dalam diam, tetapi ada kehangatan yang terasa di antara kami. Setiap gerakannya, setiap kata yang diucapkannya, membuatku semakin sadar bahwa aku semakin menyukai Anggara. Dia kemudian bertanya di sela-sela kesibukan kami, "Biasanya kamu sama Jovancha, dia ke mana?"
"Jovancha sudah dijemput papanya tadi, jadi aku menyapu sendirian kali ini," jawabku sambil melanjutkan menyapu.
"Oh, begitu ya," jawabnya singkat, tapi aku bisa merasakan perhatian dalam nadanya.
"Iya," aku hanya mengangguk, kembali tenggelam dalam pekerjaan kami.
Akhirnya, setelah beberapa saat, kelas sudah bersih. Aku merasa lega, tapi ada sedikit rasa sedih karena momen ini harus berakhir. "Akhirnya selesai juga. Kamu pulang dengan siapa?" tanyanya sambil membereskan alat-alat kebersihan.
"Aku dijemput papaku. Kamu?" tanyaku balik, meski sebenarnya aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya.
"Temanku yang menjemput," jawabnya sambil menepuk-nepuk tangannya yang berdebu.
"Terima kasih banyak atas bantuannya, Anggara," ucapku dengan tulus, merasa sangat bersyukur atas momen kebersamaan ini.
"Sama-sama," jawabnya sambil tersenyum, dan senyum itu, sekali lagi, membuat hatiku berdebar tak karuan.
Anggara pun pergi bersama temannya, meninggalkan kelas yang kini sunyi. Tak lama kemudian, ayahku tiba untuk menjemputku. Sepanjang perjalanan pulang, senyum tak pernah lepas dari wajahku. Hari ini, momen kebersamaan yang singkat itu telah membuatku semakin sadar bahwa Anggara telah menjadi bagian penting dalam kehidupanku. Perasaan yang tumbuh dalam hatiku semakin jelas, dan aku tahu, dia telah menempati ruang istimewa di dalam hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...