Setelah selesai makan, Evelly dan aku pun dengan semangat bergegas menuju ke pantai. Sesampainya di sana, pemandangan yang kami temui penuh dengan aktivitas: Anggara bersama para teman teman nya sedang berenang di laut, sementara para teman teman ku sibuk berburu siput di pesisir. Aku memutuskan untuk bergabung dengan teman-temanku dalam pencarian siput yang menyenangkan.
Setelah puas dengan hasil buruan kami, kami pun mendekati tempat Anggara dan teman-temannya yang masih menikmati waktu di pantai. Dari kejauhan, aku melihat Anggara duduk di pinggir pantai, matanya tertuju pada teman-temannya yang berenang dengan penuh perhatian. Suasana di sekitar pantai terasa hidup dan penuh keceriaan, sementara Anggara tampak tenang dalam kebisingan yang mengelilinginya.
“Anggara!” seruku sambil berlari ke arahnya, dengan penuh semangat.
“Jangan lari-lari, nanti kamu jatuh. Ada apa hm?” tanya Anggara dengan nada khawatir, menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan lembut.
“Tidak ada apa-apa, hanya ingin memanggilmu saja,” jawabku dengan, tersenyum penuh arti.
“Oh, hanya memanggil saja ya,” balas Anggara dengan senyum nakal, tangannya lembut mengacak-acak rambutku, membuatnya berantakan.
“Ih, Anggara! Rambutku jadi berantakan,” protesku, mencoba memukul tangannya dengan lembut. Namun, Anggara sudah lebih dulu berlari menjauh. Aku pun mengejarnya hingga dia terjun kembali ke dalam air, dan aku ikut melompat masuk ke dalam air untuk mengejarnya.
Namun saat aku akhirnya mendekatinya, Anggara sudah menghilang di bawah permukaan. Kegelisahan mulai merayapi diriku. “Gar, Anggara, di mana kamu? Jangan bercanda, aku benar-benar khawatir!” seruku, dengan suara penuh cemas. Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan lembut di tanganku—tangan Anggara. Dalam satu gerakan cepat, dia menarikku, dan aku pun terjatuh ke dalam air.
“Kena kamu!” ucap Anggara dengan nada menggoda, matanya bersinar penuh keceriaan dan cinta.
“Ih, Anggara, kamu ngeselin banget!” balasku sambil memukul lembut tangannya, namun seiring tawa kami yang bercampur, Anggara menarikku ke dalam pelukannya. Dia mengangkatku dari air, dan aku pun melingkarkan tangan ku di lehernya, dengan dahi kami yang bersentuhan. Kami saling pun menatap dengan penuh rasa sayang, tertawa bahagia sambil menikmati kehangatan matahari terbenam. Momen ini terasa begitu intim dan sempurna—penuh keceriaan, kehangatan, dan kebahagiaan yang membuat hati kami berdua meluap dengan cinta.
Setelah melewati hari-hari indah di pantai dan vila Alvero, kami mendapati bahwa tinggal satu hari lagi sebelum kami harus pulang. Kami memutuskan untuk menikmati makan malam di belakang vila, di tengah suasana yang hangat dan penuh keceriaan. Teman-teman kami sibuk dengan hidangan yang beragam, sementara canda tawa mengisi udara malam.
“Rasanya seru banget, ya. Tidak terasa, tinggal satu hari lagi di sini,” kata Nicholas dengan nada melankolis, menandakan betapa cepatnya waktu berlalu.
“Iya, aku benar-benar menikmati setiap detik di sini. Semuanya terasa begitu menyenangkan,” tambah Alya dengan senyuman tulus.
“Kalau ada kesempatan lagi, kita harus kembali ke sini. Tempat ini benar-benar luar biasa,” usul Alvero dengan semangat yang menular.
“Besok siang, mari kita rencanakan untuk ke pantai lagi. Kita harus memanfaatkan waktu tersisa ini dengan sebaik-baiknya,” saran Anggara, membuat semua orang bersemangat.
“Setuju, Gar. Tapi mari kita makan dulu. Lionel sudah memanggil kita,” kataku sambil menunjuk ke arah meja makan yang sudah siap.
“Baiklah, ayo kita nikmati makan malam dulu, baru kita lanjutkan obrolan kita,” ajakku dengan senyuman hangat, siap menikmati malam terakhir kami di sini dengan penuh kebahagiaan dan kenangan indah.
Kami memulai makan malam bersama dalam keheningan yang nyaman, hanya diisi oleh suara lembut dari kami yang menikmati hidangan. Setelah makan, kami berkumpul kembali, menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa lepas, suasana malam dipenuhi kebahagiaan. Tak terasa, jam dinding menunjukkan pukul 11 malam, saatnya untuk kembali ke vila.
“Ayo, kita masuk. Sudah waktunya istirahat supaya kita punya tenaga untuk besok,” ajak Hendra dengan suara lembut, mengingatkan kami.
“Ya, kalian masuk dulu saja. Aku akan merapikan tempat ini sebentar,” kataku sambil mulai membereskan meja makan.
“Besok saja, Dian,” Nicholas menanggapi dengan penuh perhatian.
“Tidak apa-apa, kalian masuk dulu. Aku ingin tinggal di sini sebentar lagi,” balasku, mencoba meyakinkan mereka.
“Ya sudah, jangan terlalu lama ya,” pesan Evelly, sebelum melangkah menuju vila.
“Iya, Vel,” jawabku sambil melihat mereka satu per satu memasuki vila.
“Gar, kamu tidak mau ikut masuk?” tanyaku pada Anggara yang masih berdiri di luar.
“Belum. Aku akan masuk nanti,” jawab Anggara dengan santai.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan di sini sendirian?” tanya anggara, dengan penasaran.
“Aku hanya merasa belum siap tidur malam ini,” jawab ku dengan nada lembut, seolah ada yang belum selesai.
“Kalau begitu,kamu mau gk mendengarkan lagu?” tawar Anggara, menawarkan sebuah ide.
"lagu apa ?” tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu.
“Sebenarnya ini lagu Disney. Aku sering mendengarnya karena kakakku sering menyanyikannya untuk anak perempuannya, jadi aku hafal liriknya,” jelas Anggara sambil mengambil gitar yang terletak di kursi dekat kami.
“Mau dengar?” tawarnya dengan senyum lembut. Dia mulai menyetem gitar dan mengalunkan melodi yang lembut, suaranya mengisi udara malam dengan kehangatan.
“Lavender’s blue, dilly dilly,
Lavender’s green,
When I am king, dilly dilly,
You shall be queen.”Anggara berhenti sejenak dan menatapku dengan lembut. “Ngantuk nggak?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.
“Belum,” jawabku dengan sedikit kecewa karena dia berhenti bernyanyi. “Kenapa berhenti?”
“Ah, tidak apa-apa. Aku kira kamu sudah mengantuk. Biasanya, kakakku menyanyikan bait ini untuk anaknya, dan mereka langsung tertidur,” jelas Anggara, senyumnya menyiratkan kehangatan.
“Aku sudah dewasa, Gar. Masa disamakan dengan bayi?” kataku dengan nada cemberut.
“Bagi ku, kamu tetap bayi. Maksudku, bayi besar,” ujarnya dengan tawa lembut.
“Ih, ngeselin banget,” balasku sambil berusaha tampak kesal. “Tapi, bukannya lagu ini dari film Cinderella?”
“iya, Dian. Nah, sekarang bersandarlah di bahuku. Biar aku yang nyanyikan lagu ini untukmu,” katanya dengan senyum hangat. Dia kembali memetik gitar dan menyanyikan lagu dengan lembut, suaranya mengalun seperti pelukan yang nyaman.
Anggara pun menyelesaikan lagu nya dengan lembut, dan aku mulai merasa mengantuk di dalam sandarannya. Namun, saat melodi terakhir menggema di telingaku, keinginan untuk menyanyikannya bersama menguat di hatiku.
“Gar, aku ingin menyanyikan bait terakhirnya,” kataku dengan lembut, menatapnya dengan penuh harap.
“Baiklah, aku akan mengiringimu dengan gitar,” jawab Anggara dengan senyum penuh perhatian.
“Aku ingin kita melakukannya bersama,” tambahku, merasa momen ini terlalu berharga untuk dilewatkan sendirian.
“Baiklah, ayo kita mulai,” ucap Anggara dengan semangat, tangannya kembali memetik gitar. Kami pun mulai menyanyikan bait terakhir bersama, suaraku menyatu dengan melodinya dalam keharmonisan yang hangat dan penuh rasa, menutup malam dengan keintiman dan kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...