Sejak Anggara mengungkapkan bahwa dia telah memiliki kekasih, rasanya seluruh hidupku bergetar. Bagai badai yang datang tanpa peringatan, kata-katanya menghantam hatiku dengan keras. Aku baru menyadari, setelah sekian lama menyembunyikan perasaanku, bahwa apa yang kurasakan terhadapnya bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ini lebih dalam dari itu—sebuah cinta yang tak pernah kuakui, cinta yang telah melampaui batas-batas persahabatan.
Pagi itu, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke sekolah. Tidak ada alasan khusus, mungkin hanya karena aku butuh waktu untuk menyendiri, menyusuri jalanan yang basah oleh embun pagi sambil tenggelam dalam alunan musik yang melantun lembut di telingaku. Setiap langkah terasa berat, seakan ada beban yang membelenggu hatiku, tapi aku terus berjalan, mencoba meresapi setiap detik, mencari kedamaian yang sulit kutemukan.
Sesampainya di sekolah, Evelly sudah duduk di tempat biasa, menungguku. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat serius, ekspresinya menggambarkan kepedulian yang mendalam. Dia selalu bisa menangkap perubahan suasana hatiku, bahkan ketika aku berusaha menyembunyikannya.
“Ada apa, Dian? Kamu tampak seperti kehilangan semangat beberapa hari ini,” tanyanya lembut, nada suaranya begitu penuh perhatian.
Aku tersenyum, sebuah senyum yang terasa asing di wajahku, seperti topeng yang kugunakan untuk menutupi kekacauan dalam hatiku. “Aku baik-baik saja, Vel. Hanya sedikit kelelahan,” jawabku sambil menunduk, mencoba meyakinkannya, meski aku sendiri tak yakin dengan jawabanku.
“Kamu terlihat pucat, Dian,” suara lain tiba-tiba memecah keheningan. Suara yang sangat akrab di telingaku—suara Anggara. Dia mendekat, tatapan matanya penuh kekhawatiran. Kepeduliannya yang tulus, yang selalu kurasakan sejak pertama kali kami berteman, kini terasa lebih menyakitkan daripada menenangkan.
“Aku tidak sakit, Gar. Hanya lelah,” jawabku singkat, berusaha menjaga detak jantungku yang tiba-tiba berdentum lebih kencang dari biasanya. Berada begitu dekat dengannya, mendengar suaranya yang penuh perhatian, membuat perasaanku semakin kacau.
“Kenapa kamu buru-buru pulang kemarin, padahal kita masih mau ngumpul bertiga?” Devan tiba-tiba ikut bertanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Dia mungkin tak menyadari, tapi pertanyaannya hanya memperburuk suasana hatiku yang sudah kacau.
“Oh, gak apa-apa, Dev. Kemarin ada acara mendesak di rumah, jadi aku harus pulang lebih awal,” jawabku sambil tersenyum kecil, meski dalam hati aku ingin segera pergi dari percakapan ini.
Namun, Anggara malah menoleh ke arah Devan dengan tatapan jahilnya yang khas. “Kamu mau ngumpul dengan mereka bertiga atau cuma ingin lihat Dian saja?” candanya sambil menyeringai, menggoda Devan yang langsung tampak canggung.
“Tentu saja mau ngumpul sama mereka bertiga, sekalian lihat Diandra juga,” jawab Devan, mencoba tetap santai meski wajahnya sedikit memerah. Tawa kecil terdengar dari Evelly dan Anggara, sementara aku hanya tersenyum tipis, berharap pembicaraan ini segera berakhir.
Aku mencoba mengalihkan perhatian, “Aneh juga, teman-temanmu yang lain ke mana?” tanyaku, berharap topik baru ini bisa membebaskanku dari situasi yang membuatku terjebak dalam perasaan campur aduk.
“Mungkin di kantin,” jawab Anggara, melirik ke Evelly yang tampak setuju.
Beberapa saat kemudian, Devan menunjuk ke arah pintu kelas. “Mereka sudah datang,” katanya.
Nicholas datang dengan gayanya yang penuh percaya diri, senyumnya lebar seakan siap menjadi pusat perhatian. “Kenapa, pada kangen sama gue?” tanyanya, suaranya memecah suasana dengan nada menggoda.
“Dih, jijik banget, Nic,” sindir Alvero sambil tertawa mengejek, membuat kami semua ikut tertawa. Tawa itu membantu menghilangkan ketegangan yang sempat menyelimuti hatiku.
Lionel, yang baru datang, langsung menyusul, “Eh, Jovancha udah datang belum? Aku mau nanya soal tugas geografi.”
Aku menoleh ke Lionel, “Tunggu sebentar lagi, Nel.”
Percakapan tentang tugas itu seperti gangguan kecil dari kenyataan yang lebih besar yang sedang kurasakan. Tiba-tiba, Anggara tampak panik. “Tugas geografi? Aduh, aku lupa sama sekali!”
Aku menahan tawa, meski dalam hati aku merasa hangat melihat kepanikannya yang lucu. “Yang kemarin, Gar. Tugas dari Pak Andi,” ujarku sambil menyerahkan bukuku.
“Dian, tolong ya,” pintanya, menarik bangkunya lebih dekat kepadaku. Ada sesuatu dalam cara dia memintaku untuk membantunya yang membuat hatiku berdesir. Aku tahu dia hanya menganggapku sebagai teman, tapi setiap momen bersamanya, sekecil apapun, terasa begitu berarti bagiku.
Aku menyerahkan bukuku dengan senyum tipis. “Kerjakan dengan hati-hati, Gar. Masih ada waktu.”
Dia tersenyum lebar, mengacak-acak rambutnya yang kusut. “Terima kasih, Dian. Kamu memang selalu ada buatku,” ucapnya dengan tulus. Kata-katanya sederhana, tapi entah kenapa terasa begitu dalam bagiku.
Pak Andi masuk, dan pelajaran pun dimulai. Anggara kembali ke tempatnya, tapi pikiranku masih tersisa di antara buku yang tadi kuberikan padanya dan tatapan hangat yang sempat dia berikan.
Tiba-tiba, Evelly berbisik dari samping, “Kenapa kamu terus-terusan memperhatikan Anggara?”
Aku tersentak dari lamunanku. “Aku hanya… hanya ingin memastikan dia paham tugasnya, Vel,” jawabku cepat, meski hatiku bergetar dengan kebohongan itu. Evelly mungkin tahu, tapi dia hanya tersenyum samar, seolah memberiku waktu untuk merenung sendiri.
Pelajaran berlanjut, tapi pikiranku terus melayang kepada Anggara. Cinta yang kusimpan ini terasa seperti beban yang semakin berat, semakin sulit untuk diabaikan. Setiap senyumnya, setiap kata yang diucapkannya, semua mengingatkanku betapa aku merindukan sesuatu yang tak pernah kumiliki—sebuah cinta yang tak mungkin terbalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...