Setelah dua hari Anggara tidak masuk sekolah, hariku terasa sangat sepi. Meskipun Devan selalu ada di sampingku, kehadirannya tidak mampu mengisi kekosongan yang kurasakan. Devan dan Anggara benar-benar berbeda dalam cara mereka memperlakukanku. Anggara selalu lembut dan penuh perhatian, sedangkan Devan sering kali bersikap keras kepala dan memaksakan kehendaknya.
Saat bel pulang berbunyi, Devan menghampiriku dengan nada tegas. “Ayo kita pulang.”
“Iya, aku pulang duluan, ya,” kataku kepada teman-temanku yang masih berada di sekitar.
“Ya, Dian. Hati-hati di jalan,” ucap Evelly, yang kujawab dengan anggukan.
Aku mengikuti Devan ke parkiran sekolah. Sesampainya di sana, Devan langsung menyuruhku naik ke motornya. Tanpa banyak bicara, aku naik dan kami segera meninggalkan area sekolah. Di sepanjang perjalanan, suasana sepi menyelimuti kami, dan aku tak bisa mengabaikan betapa kosongnya hari-hariku tanpa kehadiran Anggara.
Selama perjalanan pulang, aku hanya terdiam, menatap jalanan yang kami lewati dengan kosong. Setiap kali Devan mencoba mengajakku berbicara, jawabanku selalu singkat dan tidak antusias. Ketika kami tiba di depan rumahku, aku langsung turun dari motor dan mengucapkan terima kasih.
“Nanti aku jemput lagi jam 8 malam, ya,” ujar Devan, menyimpan harapan di suaranya.
“Memangnya mau kemana?” tanyaku dengan nada santai, masih sedikit bingung.
“Ke mana saja, yang penting bersama kamu,” jawab Devan, mencoba terdengar ceria.
“Oh, ya sudah. Aku tunggu, tapi jangan lama-lama ya?” tanyaku, sedikit khawatir.
“Enggak kok,” Devan meyakinkan, meski suaranya terasa tegang.
“Kalau begitu, aku masuk dulu ya,” kataku sambil melangkah menuju pintu rumah.
“Dian, tunggu sebentar,” Devan menahanku, membuatku berhenti di ambang pintu.
“Ada apa? Kamu masih mau ngomongin apa?” tanyaku, mulai merasa tidak nyaman.
“Kamu nggak berhubungan sama Anggara, kan?” tanya Devan, nada suaranya tiba-tiba tajam.
“Kenapa kalau aku berhubungan sama Anggara? Ada masalah?” jawabku spontan, merasa heran dengan sikapnya.
“Ya masalah lah. Kamu tahu kan, aku dan Anggara sudah tidak berteman lagi,” kata Devan dengan nada kasar.
“Itu masalah kamu dan Anggara. Kenapa kamu bersikap seperti ini? Seharusnya kamu yang memperbaiki hubunganmu dengan Anggara, bukan malah bertindak seperti anak kecil,” balasku dengan tegas.
“Tapi kamu pacar aku. Aku nggak suka kalau kamu dekat-dekat dengan Anggara. Ngerti nggak?” Devan meninggikan nada suaranya, marah.
“Aku tidak akan memusuhi Anggara. Kamu yang seharusnya memperbaiki hubunganmu dengan dia, karena memang kamu yang salah di sini. Jangan bertindak seperti anak kecil, Devan,” kataku dengan penuh keyakinan.
“Kamu kok belain Anggara? Di sini pacar kamu siapa?” bentaknya, suaranya penuh kemarahan.
“Aku tidak membela Anggara, tapi memang kamu yang salah, Devan. Ya, kamu pacar aku, tapi kamu tidak bisa mengaturku untuk menjauh dari Anggara,” jawabku dengan tegas, sebelum aku melangkah masuk ke dalam rumah.
Suara motor Devan semakin menjauh dari halaman rumahku, meninggalkan keheningan malam yang tegang.
Setelah berbincang dengan Devan, aku memutuskan untuk naik ke kamar dan mengganti pakaian. Begitu selesai, aku turun ke bawah untuk makan. Selesai makan, aku kembali ke kamar dan mulai menyelesaikan tugas-tugasku. Beberapa jam kemudian, saat aku hampir selesai, bunyi notifikasi ponselku memecah kesunyian. Aku melihat layar dan mendapati bahwa itu adalah panggilan dari Anggara. Aku segera mengangkat telepon.
“Halo, Gar,” sapaku saat panggilan terhubung.
“Halo, Dian,” jawab Anggara dengan suara yang terasa hangat.
“Dian, aku mau tanya kapan kita mulai mengerjakan tugas kelompok untuk seni budaya dan kapan pelaksanaannya?” tanya Anggara, suaranya penuh rasa ingin tahu.
“Kamis depan, Gar. Saat ini kita masih dalam tahap membeli peralatan,” jelasku.
“Oh, begitu ya. Kalau ada informasi lebih lanjut, tolong kabari aku, ya,” pintanya dengan nada penuh perhatian.
“Pasti, Gar. Nanti aku kabari,” balasku.
“Kamu gimana di sana? Devan nggak ganggu-ganggu kamu kan?” tanya Anggara, nada khawatirnya jelas terdengar.
“Enggak, Gar. Kamu sendiri gimana di sana?” jawabku, mengalihkan perhatian ke keadaan Anggara.
“Aku baik-baik saja di sini. Kamu jaga diri, ya. Jangan nakal-nakal di sana, aku nggak ada di sampingmu,” pesannya dengan lembut.
“Ya, Gar. Kamu juga jaga diri di sana, semangat untuk lombanya. Semoga kalian bisa juara. Titip salam juga untuk Hendra dan timmu, ya. Semoga kalian menang,” kataku dengan penuh harapan.
“Terima kasih, Dian. Kalau gitu, aku lanjut latihan lagi,” ucap Anggara, lalu menutup panggilan.
Setelah telepon berakhir, aku meletakkan ponsel di sampingku dan kembali fokus pada tugas yang tersisa. Pembicaraan dengan Anggara membawa sedikit kelegaan, meski jarak dan waktu memisahkan kami. Rasanya, kehadiran Anggara, meski hanya melalui suara, membuat hari-hariku terasa lebih berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...