Chapter 6

33 8 0
                                    

Sejak kejadian itu, sebuah kesadaran perlahan merayap ke dalam benakku—bahwa Devan, sosok yang selama ini lebih banyak diam dan tampak tak terjangkau, ternyata menyimpan perasaan yang dalam padaku. Keadaan ini aneh, membuatku terjebak dalam pusaran tanya yang tak kunjung usai. Bagaimana bisa seseorang yang jarang berinteraksi denganku, baik di kelas maupun di luar, menyimpan perasaan seperti itu? Meski begitu, aku belum mau memikirkannya terlalu jauh, mungkin karena rasa takut pada apa yang akan kutemukan jika aku melangkah lebih dalam.

Suatu hari, di tengah suasana kelas yang lengang, Jovancha, sahabatku yang ceria namun bisa jadi sangat tegas, tiba-tiba menghampiriku. Ada kerutan di dahinya yang menandakan rasa kesal, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. "Hei, Dian, kenapa kamu selalu diam saja saat dipanggil? Kenapa tidak menjawab?" suaranya memecah lamunanku, memaksaku kembali ke dunia nyata.

Aku tersentak sejenak sebelum menjawab, berusaha menata nada suaraku agar terdengar lebih stabil. "Bukan begitu, Cha. Aku mendengarnya kok, hanya saja... lagi sulit untuk fokus," ucapku dengan nada yang tidak begitu mantap, mencoba menutupi keraguanku.

Jovancha masih menatapku dengan sorot mata penuh tanya, namun Evelly yang duduk di sebelahku segera menimpali, nadanya lembut namun jelas dipenuhi kekhawatiran. "Ada masalah, Dian? Kalau iya, ceritakanlah padaku. Siapa tahu kita bisa mencari solusinya bersama," tawarnya dengan tulus, membuatku merasa sedikit tersentuh oleh perhatiannya.

Aku menggelengkan kepala pelan, mengukir senyum kecil di bibirku. "Aku baik-baik saja, Vel. Hanya sedikit pusing saja, hehe," jawabku dengan tawa kecil yang terasa dipaksakan, berusaha meredakan kekhawatiran mereka yang semakin kentara.

Percakapan kami pun kembali mengalir, meski ada perasaan tidak nyaman yang terus mengganjal di dalam hatiku. Pikiranku melayang-layang, mengembara pada hal-hal yang tak pernah benar-benar kusadari sebelumnya. Di saat seperti ini, suara riuh di belakang kelas menarik perhatianku. Anggara dan teman-temannya sedang asyik bermain game di tengah keheningan kelas yang ditinggalkan guru karena absen. Suara mereka menggema, bercampur dengan tawa dan sorak-sorai yang seolah membelah suasana yang awalnya tenang.

Di tengah obrolan kami yang mulai mengalir kembali, tiba-tiba Anggara dan teman-temannya memutuskan untuk mendekati meja kami, membawa serta keriuhan mereka. Evelly, yang sedari tadi berbicara dengan nada simpatik, kini berubah menjadi heran. "Eh, kalian ngapain kok malah ke sini?" tanyanya sambil mengangkat alis, menatap teman-teman Anggara yang kini berdiri di hadapan kami.

Alvaro, dengan senyum santainya yang selalu membuat suasana terasa lebih ringan, menjawab, "Tahu bosan main game terus, jadi kita datang ke sini buat nemenin kalian bertiga."

Evelly terlihat sedikit bingung, tapi sebelum ia sempat menjawab, Jovancha sudah menyahut dengan nada skeptis. "Oh, begitu ya? Jadi kalian bosan," ucapnya, seolah masih meragukan alasan mereka.

Nicholas, dengan gaya cueknya yang khas, mengangkat bahu dan menambahkan, "Iya dong, makanya kita mampir ke sini, Cha."

Aku yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya memutuskan untuk angkat bicara, mencoba mengatasi perasaan canggung yang tiba-tiba muncul di antara kami. "Sudahlah, jadi kalian mau ngapain biar nggak bosan lagi?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan yang tak terduga ini. Sorot mata mereka semua kini tertuju padaku, menunggu jawaban yang entah mengapa terasa begitu penting di saat itu.

Suasana di sekeliling kami mulai mencair, dan keriuhan dari belakang kelas kini berpindah ke meja kami. Dalam sekejap, semua perbedaan di antara kami terasa tidak lagi penting. Hanya ada kebersamaan, meski dibalut oleh perasaan dan rahasia yang mungkin tak pernah benar-benar terungkap.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Teman-teman, gimana kalau kita main truth or dare sambil nunggu lonceng pulang?" ajak Evelly dengan senyum nakal yang menyinari wajahnya, membuat suasana kelas yang tadinya lesu seketika berubah hangat.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang