POV ANGGARA
Aku menatap Diandra dengan kekhawatiran yang mendalam. Raut wajahnya tegang, dan kepalan tangannya yang mengencang menunjukkan betapa marahnya dia. Ini adalah sisi dari Diandra yang belum pernah kulihat; biasanya dia adalah sosok yang sabar dan bersahabat. Melihatnya seperti ini membuatku ragu untuk menambah beban emosinya di depan kami semua.
"Memang mereka berenam ini seram ya, kalau sudah marah," ujar Hendra, pecah keheningan dengan nada waspada. Suaranya bergetar, menandakan ketidaknyamanan yang dirasakannya.
"Iya, terutama Jovancha dan Diandra, bikin merinding aja," sambung Alvero dengan nada yang gemetar, menunjukkan betapa tertekan dirinya.
"Sudahlah, jangan dibahas lagi. Nanti malah jadi lebih rumit masalahnya," ucapku, mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti kami. Aku berusaha keras untuk menjaga suasana tetap tenang.
Akhirnya, lonceng pulang sekolah berbunyi, dan kami yang berjumlah dua belas orang langsung berkumpul untuk merencanakan perjalanan ke Desa X.
"Eh, nanti kita ngumpulnya di mana, ya?" tanya Hendra, suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Iya, kita ngumpul di mana?" Adithia ikut bertanya, menunggu jawaban dengan penuh perhatian.
"Ayo, ngumpul di rumahmu saja, Diandra. Dari situ lebih mudah berangkat," usulku, berusaha membuat rencana menjadi lebih praktis.
"Oke, nggak masalah. Biar lebih dekat juga," jawab Diandra dengan nada santai, meskipun ekspresinya masih menunjukkan bekas amarah.
"Baiklah, jam tiga kita harus sudah siap di rumah Diandra. Jangan sampai ada yang terlambat," tegas ku, memastikan semua orang sepakat dengan jadwal.
"Siap, Gar," jawab mereka serentak, menandakan komitmen mereka terhadap rencana.
"Baiklah, aku pulang dulu ya. Papa sudah menunggu di depan. Sampai jumpa nanti, semoga kita semua bisa berangkat tepat waktu," ucap Diandra sambil melambaikan tangan dengan ekspresi yang masih tampak sedikit tertekan.
Aku memandang Diandra saat dia pergi, merasakan betapa dalamnya emosi yang dia rasakan hari ini. Setelah dia meninggalkan kami, kami semua beranjak pulang ke rumah masing-masing, mempersiapkan diri untuk perjalanan yang telah direncanakan. Meskipun suasana masih sedikit tegang, harapan kami untuk menjalani perjalanan dengan lancar memberikan semangat tersendiri bagi kami semua.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Jam tiga sore sudah lewat, dan rasa cemas mulai menggelayuti pikiranku. Aku memutuskan untuk menelepon Anggara. Teleponnya segera diangkat, suaranya yang terburu-buru terdengar di ujung telepon.
“Halo, Gar, kalian sudah di mana?” tanyaku, suara ku penuh kegelisahan.
“Dian, kami sudah ada di depan rumahmu. Kamu di mana?” jawab Anggara dengan nada penuh kejelasan. Aku melirik dari balkon kamar, melihat mereka berdiri di teras rumahku.
“Sebentar, aku turun sekarang,” jawabku cepat, lalu bergegas menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Ketika aku melangkah keluar, kulihat mereka semua menunggu di halaman rumahku dengan sabar.
“Ayo, kita segera berangkat, Diandra. Jangan sampai kita kehujanan lagi,” ucap Anggara dengan nada yang penuh dorongan, menunjukkan betapa pentingnya waktu bagi kami.
“Baiklah, kita berangkat sekarang,” sahutku, lalu memanggil ke dalam rumah, “Ma, aku pergi dulu ya!”
“Iya, sayang. Hati-hati di perjalanan,” jawab Mama sambil melangkah keluar dari dalam rumah, matanya penuh perhatian. “Ingat, kalian juga harus berhati-hati saat mengendarai motor. Para cowok, jangan terlalu ngebut,” tambahnya dengan penuh kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Roman pour AdolescentsKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...