Chapter 24

16 4 0
                                    

Setelah kami tiba di dalam kelas, kami dengan lelah duduk di kursi masing-masing, merasakan kelelahan pada tubuh kami.

"eh kalian mulai makan dulu, nasi yang kita pesan tadi baru datang ni," ucap Iastin kepada kami semua.

"Iya, baiklah ias," jawab kami serempak.

Kami pun mulai makan siang dengan tenang. Namun, saat aku hendak mengambil porsi nasi yang dibagikan oleh Iastin, tiba-tiba Anggara menyela.

"Aku harus keluar sebentar, ada urusan yang perlu aku urus. Makananku sisa kan saja untuk ku, aku akan kembali dan makan nanti. Oh ya, lionel, tolong gantikan aku untuk voli, beritahu hendra juga. Aku pergi dulu," ucap Anggara sambil meninggalkan kelas.

"Kenapa Anggara tiba-tiba begitu?" tanya Alya heran.

"Biarkan dia, mungkin ada urusan mendesak. Tidak perlu terlalu dipikirkan," kata Adithia dengan santai.

"Iya, mungkin dia sebentar lagi kembali ke sini untuk makan. Mari kita lanjutkan makannya," ucap Nicholas kepada kami semua dengan semangat.

"Aku keluar sebentar ya, mau ke kamar mandi," ucapku pada mereka sambil bergerak menuju pintu keluar kelas.

Setelah meninggalkan kelas, aku mencari Anggara di setiap sudut sekolah. Rasanya tidak mungkin baginya pulang begitu cepat, tapi satu-satunya tempat yang belum kudatangi adalah belakang sekolah. Di sana ada lapangan basket yang sudah tidak terpakai lagi, tapi untuk mencapai tempat itu aku harus melewati tembok yang cukup tinggi. Sebelum melanjutkan perjalanan, aku singgah sebentar membeli beberapa roti, minuman, dan obat merah untuk mengobati luka di lutut Anggara.

Setelah sampai di belakang sekolah, aku memanjat tangga yang terselip di samping tembok itu dan turun perlahan ke bawah. Suasana di tempat ini sunyi dan hening. Aku mencari Anggara dan menemukannya tertidur pulas di kursi panjang yang agak usang. Sinar matahari yang terang mengganggunya, membuatku memutuskan untuk duduk di sebelahnya di bawah bayangan pohon.

Aku memperhatikan Anggara dengan seksama, matanya perlahan-lahan terbuka dari tidurnya. Segera setelah mata kami bertemu, aku memalingkan pandangan.

"Kenapa kamu ke sini, Dian? Kamu tahu kan harus melompati tembok tinggi itu untuk sampai ke sini," ucap Anggara, menunjuk ke tembok yang tadi kulewati.

"Aku tahu, Gar. Tapi kamu sendiri sedang apa di sini?" tanyaku padanya, duduk di sebelahnya.

"Gapapa, cuma mau sendiri aja. Yuk, kesana," ucap Anggara sambil menarik tanganku dan membawa ku ke sebuah taman yang berdekatan dengan lapangan basket.

"Kamu tahu dari mana tempat ini?" tanyaku pada Anggara, sambil kami berdua duduk di perumbutan yang tersusun rapi.

"Baru beberapa minggu kemarin aku tahu tempat ini. Kemarin aku iseng-iseng aja menyelusuri tempat ini dan menemukan taman ini," jawab Anggara dengan senyum ringan.

"Ayo, duduk di sampingku," ajak Anggara, mengatur posisi kami agar duduk bersebelahan.

"Baiklah, aku akan mengobati luka mu dulu. Dan ini roti untuk mengisi perutmu," ucapku sambil mengambil obat merah dan kain perban dari tas.

"Aku gak lapar, Dian. Tapi kalau mau mengobati luka, gak usah aja. Lagian, gak terlalu sakit kok," ujar Anggara dengan santainya, menunjukkan sikapnya yang tenang meskipun lukanya masih terasa.

Tapi kamu harus makan, Anggara. Kalau luka kamu tidak diobati, bisa jadi terinfeksi, tahu tidak? Lihatlah lututmu," kataku dengan serius pada Anggara.

"Iya, iya, Dian. Kamu cerewet banget," ucapnya sambil mengambil roti dan minuman yang kubawa.

"Ayo, dekat lagi biar aku bisa membersihkan luka kamu," ucapku, sambil membuka obat merah dan kapas untuk mengobati lukanya.

"Ouch, Dian, pelan-pelan, sakit banget," keluh Anggara.

"Maaf ya, Gar. Aku coba sepelan mungkin," ujarku sambil memperlakukan lukanya dengan hati-hati menggunakan kapas dan kain kasa.

"Ehe, gak apa-apa, Dian. Aku hanya bercanda tadi. Tidak perlu khawatir," kata Anggara sambil tersenyum.

"Ih, kamu ini," ujarku dengan sedikit kesal.

"Terima kasih, Dian," ucap Anggara tiba-tiba.

"Terima kasih untuk apa, Gar?" tanyaku balik.

"Untuk segalanya, pokoknya," ucap Anggara sambil merebahkan tubuhnya di atas rumput taman. "Kamu mau coba tiduran di sini? Enak lho," ajaknya.

"memang nyaman, ya," kataku sambil merebahkan diriku di samping Anggara.

"nyaman kok, tiduran di rumput itu nyaman meski tidak seempuk di kasur," ucap Anggara sambil pandangannya melayang ke langit.

"Aku bisa bayangkan," sahutku sambil memandangi langit yang sama. Namun, tiba-tiba Anggara membuka hatinya padaku.

"Dian, aku baru saja putus dengan Kirana. Aku begitu mencintainya, tapi aku tidak tahan lagi dengan sikapnya," ucap Anggara dengan suara yang penuh penyesalan. "Aku tidak mengerti mengapa dia memilih untuk bersama lelaki lain, padahal aku sudah memberikan segalanya."

"Sejak kapan kalian putus, Gar? Apa yang terjadi dengan hubungan kalian?" tanyaku, mencoba memahami perasaan Anggara.

"Baru dua hari ini, Dian. Aku merasa sangat kecewa padanya," ucap Anggara dengan tatapan kosong yang masih mengarah ke langit.

"Gar, aku tahu ini sulit bagimu. Namun, setiap hubungan memiliki masanya sendiri," ujarku dengan penuh empati. "Kau pasti bisa melewatinya. Aku di sini untukmu, sebagai teman yang selalu mendukungmu."

Anggara hanya mengangguk pelan, dan suasana di antara kami terasa penuh dengan keheningan dan pemahaman akan perasaan yang sedang dirasakan oleh Anggara.

"Kamu tahu, Dian, aku sebenarnya tidak ingin mengatakannya, tapi melihatmu selalu ada di sampingku membuatku berpikir untuk menjadikanmu kekasihku. Tapi, aku tahu bahwa aku tidak pantas untukmu. Aku, seorang lelaki seperti ini, tidak sepadan dengan perempuan baik sepertimu. Sering kali aku berpikir begitu,namun karena aku masih mencintai Kirana, aku membuang semua itu dari dalam pikiran ku" ucap Anggara dengan sedikit tawa.

"Aku mengerti, Gar. Aku selalu menunggumu untuk mencintaiku, tapi aku juga sadar bahwa aku hanyalah seseorang yang lewat dalam hidupmu. Aku hanya figuran dalam hidupmu, dan pada akhirnya, aku tahu bahwa aku diam-diam mengagumimu, dan dalam diam juga aku tahu bahwa kamu sedang mengagumi sosok favorit mu," ucapku dengan suara yang lembut namun penuh arti.

"Kamu ada mengatakan sesuatu, Dian?" tanya Anggara tiba-tiba.

"Tidak, Gar. Mungkin itu hanya perasaanmu," jawabku sambil tersenyum tipis.

"Lihatlah, Dian, awannya bagus, kan? Yang di sebelah sana, bentuknya seperti bunga," tunjuk Anggara padaku.

"Iya, dan yang di sana seperti berbentuk kelinci," kataku dengan antusiasme yang tersirat dalam suara.

Kami berdua menghabiskan waktu dengan duduk bersama di bawah langit siang yang cerah. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman, memberi kesempatan bagi kami untuk menikmati kebersamaan dengan canda dan tawa yang mengalir di antara percakapan kami. Kami memilih untuk menikmati momen ini hingga menjelang sore yang mulai turun.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang