Chapter 10

20 7 0
                                    

Setelah diskusi mengenai tugas kelompok yang diberikan oleh Bu Karin berakhir, kami bersiap untuk menuju lokasi yang sudah disarankan oleh Hendra dan Anggara sebelumnya. Suasana kelas masih terasa ramai, namun kini lebih tertata, dengan langkah-langkah cepat yang menunjukkan semangat untuk segera berangkat. Anggara, yang tampaknya selalu penuh inisiatif, segera mengambil alih kendali.

“Baiklah, untuk semua ceweknya, nggak usah bawa kendaraan sendiri. Lebih baik dibonceng sama teman cowoknya aja, biar lebih aman,” ucapnya tegas namun penuh perhatian, suaranya terdengar jelas di antara obrolan kami yang mulai redup.

“Ih, bagus banget tuh saran,” sahut Iastin dengan santai, melangkah mendekati Hendra tanpa ragu. “Aku sama Hendra aja ya,” lanjutnya, matanya menatap Hendra yang tersenyum dan memberikan anggukan kecil, seakan tak ada masalah dengan itu.

Sementara itu, Alya yang tampak kebingungan mulai bertanya dengan nada penasaran, “Aku sama siapa nih?”

Evelly yang duduk di dekatnya segera memberi saran dengan ramah, “Kayaknya kamu mending sama Adithia aja, Alya.”

“Oh, nggak masalah kok, kalau aku sama Adithia,” sahut Alya, meski senyumnya terlihat sedikit gugup namun tetap bersahabat.

Adithia yang sudah bersiap dengan motor di dekatnya menanggapi santai, “Yuk, ayo kita barengan. Nggak usah nunggu lama-lama biar cepat sampai.”

Aku tersenyum tipis melihat interaksi mereka, dan saat Nicholas mendekat, Anggara yang sudah terbiasa memimpin situasi dengan bijak segera memberi usulan, “Nic, gimana kalau kamu sama Evelly aja?”

Nicholas langsung merespons dengan candaan khasnya, “Yaudah, Vel, jangan cuma diem di situ. Mau jadi patung terus?” godanya sambil menatap Evelly yang sejak tadi diam memperhatikan.

Evelly mendelik, meski tidak sepenuhnya marah. “Eh, Nic, bisa nggak sih sehari aja lu nggak ngeselin,” gerutunya dengan wajah cemberut, meskipun ada kilauan tawa di matanya.

Sementara itu, Lionel yang sudah siap dengan motornya mendekati Cyvara yang tampak ragu. “Ayo, Var. Kamu juga, jangan cuma berdiri di situ aja. Capek, nggak?” Lionel tertawa kecil sambil menggandeng tangan Cyvara, membawanya ke motornya dengan gerakan ringan dan akrab.

Tawaku terhenti ketika Anggara menatapku dengan senyum semangatnya, “Dian, kenapa diam aja gitu? Yuk, kita berangkat biar cepat sampai.”

Aku menelan ludah, sedikit ragu sebelum menjawab, “Iya, Gar.” Dengan langkah pelan, aku naik ke motornya, mencoba mengatur perasaanku yang sedikit gugup.

Di sisi lain, Alvero dengan gaya bercandanya menyentuh rambut Jovancha yang tengah melamun, membuatnya berantakan. “Lu kenapa diem aja sih? Jangan terlalu lama ngelamun. Nanti setan masuk ke pikiran lu,” godanya, seolah berniat membangunkan Jovancha dari lamunannya.

Jovancha langsung merengut, “Ya ampun, rambut gue jadi berantakan gini,” gerutunya dengan nada setengah marah namun tak sepenuhnya serius.

Alvero terkekeh sambil mengelus pelan kepala Jovancha, “Makanya jangan ngelamun terus. Ayo cepat, marahnya nanti aja. Naik ke motor gue sekarang, nanti gue tinggalin.”

Meskipun masih merasa kesal, Jovancha menyerah dan mengangguk, segera melangkah menuju motor Alvero. Nicholas yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua tiba-tiba angkat bicara, “Kenapa kalian berdua selalu ribut? Nanti tugasnya nggak kelar, terus ujung-ujungnya jodoh lagi. Baru tau rasa, deh.”

“Tega banget! Pastinya nggak mau!” sahut Jovancha dan Alvero hampir serempak, membuat seluruh kelompok kami tertawa.

Tawa kami mereda saat akhirnya motor-motor mulai dinyalakan. Perjalanan pun dimulai. Aku duduk di belakang Anggara, mencoba mengalihkan rasa canggung dengan mengamati pemandangan jalan yang berganti dengan cepat. Pepohonan, bangunan, dan orang-orang yang berlalu lalang tampak seperti lukisan bergerak di mataku.

Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya deru mesin motor yang mengisi udara. Namun, tiba-tiba Anggara memecah keheningan. “Dian, perjalanan kita lumayan panjang nih. Gimana kalau kita istirahat sebentar buat makan? Lagipula, udah lewat jam makan siang.”

Aku terkejut dengan perhatiannya, namun segera menjawab, “Baiklah, sepertinya teman-teman kita juga udah lapar. Kamu tahu tempat makan yang enak di sekitar sini?”

“Tentu saja,” jawab Anggara penuh keyakinan. Dengan cekatan, dia mengarahkan motornya ke sebuah rumah makan sederhana yang tampaknya sudah ia kenal.

Sesampainya di sana, kami segera memesan makanan tanpa banyak bicara. Lapar yang mendera sepertinya membuat kami semua fokus pada makanan di depan kami, meskipun sesekali ada tawa kecil atau candaan ringan yang muncul. Setelah selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Jalan yang kami lalui semakin sepi, dengan hanya sedikit kendaraan yang melintas. Langit mulai berubah warna, menunjukkan tanda-tanda sore menjelang. Anggara tampak mempercepat laju motornya, begitu juga yang lain.

Aku yang duduk di belakangnya hanya bisa mengangguk saat dia berkata dengan sedikit khawatir, “Kita harus cepat sampai. Aku nggak mau terjadi sesuatu yang nggak diinginkan.”

Meski rasa was-was sempat melintas di benakku, aku percaya pada insting Anggara. Perjalanan ini memang terasa seperti ujian kecil, tapi dengan kebersamaan kami, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang