Perlahan-lahan aku membuka mataku, merasakan kepala ku yang seolah-olah ingin pecah karena pusing yang melanda, ditambah dengan perut yang terasa pedih di dalamnya. Namun, di tengah kesakitanku, pandanganku memperhatikan Anggara dan yang lainnya yang menatapku dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
"Dian, kamu gak apa-apa, kan? Ada yang sakit?" tanya Evelly dengan nada yang penuh perhatian.
"Aku baik-baik saja, Vel. Hanya kepala dan perut yang sedikit pusing dan perih," ucapku dengan suara yang lemah.
"Kalau gitu, kita langsung bawa kamu ke rumah sakit. Ini tidak boleh diabaikan," ucap Jovancha dengan tekad.
"Tapi sebelum itu, kamu makan dulu bentar. Biar aku yang buka makanannya," ucap Anggara sambil membantu aku bersandar di tempat tidur.
"Sini, Gar. Biar aku yang menyuapi Diandra. Kamu saja yang telpon orang tuanya," usul Evelly kepada Anggara.
"Diandra,ponsel kamu ada di mana? Biar aku yang telpon orang tuamu untuk menjemputmu di sini," ucap Anggara dengan perhatian yang mendalam.
"Itu, Gar, di meja sana," jawabku sambil menunjuk ke arah meja di dalam UKS.
"Baiklah, aku keluar sebentar ya untuk menelepon orang tuamu. Kamu makan dulu," ucap Anggara sambil mengambil teleponku.
Aku membiarkan mereka mengatur semuanya sementara aku fokus untuk memulihkan diri dan memakan makanan yang sudah dibuka oleh Anggara untukku.
Anggara keluar dengan membawa ponselku untuk menelpon orangtuaku. Setelah beberapa menit, dia kembali masuk dengan ponselku di genggamannya.
"Diandra, kedua orangtuamu akan pulang langsung dari luar kota. Kakakmu juga akan datang, tapi butuh waktu untuk sampai ke sini. Mereka minta tolong pada kita untuk membawamu ke rumah sakit," jelas Anggara padaku, sambil menatapku dengan penuh perhatian. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.
"Ya udah, kamu sudah siap makan, kan, Dian?" tanya Iastin.
"Sudah, Ias," jawabku dengan lemah.
"Yaudah, kita tinggal sebentar untuk mengambil mobil ke rumah. Kalau naik motor mungkin Diandra tidak akan sanggup," saran Alvero dengan nada prihatin.
"Oke, kalau begitu, sebagian dari kita akan naik motor. Diandra, Anggara, Alvero, dan aku akan naik mobil Alvero saja. Bagaimana menurut kalian?" tambah Jovancha kepada kami, yang kami jawab dengan anggukan.
"Ayo, sayang, kita ambil mobil dulu ke rumah ya," ucap Alvero pada Jovancha sambil mengusap pundaknya dengan penuh perhatian. Mereka berdua keluar dari UKS untuk mengambil mobil di rumah Alvero. Setelah beberapa menit, nada dering hp Anggara berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Anggara menjawabnya dengan berjalan sedikit menjauh dari kami untuk menjaga privasi. Setelah selesai, dia kembali ke tempat kami dengan ekspresi serius.
“Yuk, kita berangkat. Alvero dan Jovancha sudah menunggu di depan,” kata mereka kepada kami semua.
“Kalau gitu, kita langsung berangkat saja. Dian, kamu bisa jalan? Kalau tidak, biar Anggara gendong lagi,” tanya Hendra padaku.
“Sepertinya aku bisa tahan, Hen,” jawabku sambil memberikan senyuman meyakinkan.
“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk jalan. Biar aku gendong saja lagi,” kata Anggara sambil mengangkatku dari tempat tidur di Uks. Kami segera meninggalkan Uks dan menuju gerbang sekolah, di mana Alvero dan Jovancha sudah menunggu.
“Al, buka pintunya,” perintah Anggara, dan Alvero segera membukakan pintu mobil.
“Terima kasih sudah membantu,” ucapku tulus kepada mereka, yang dibalas dengan anggukan kepala penuh pengertian.
“Yuk, kita berangkat. Yang lain sudah siap?” tanya Alvero. Kami melanjutkan perjalanan, diiringi suara motor teman-teman yang mengantar kami dari belakang.
“Kalau masih pusing, sandaran aja di bahuku,” ujar Anggara sambil menuntun kepalaku agar bersandar di bahunya. Beberapa menit kemudian, kami tiba di Rumah Sakit Adihtamah.
Anggara kembali menggendongku, meskipun aku sudah menolak beberapa kali, dia tetap bersikeras. Aku dibawa ke dalam rumah sakit sementara Anggara dan teman-teman menungguku di luar. Aku menutup mata, berusaha meredakan pusing yang tiba-tiba menyerang.
POV Anggara
Aku tidak bisa menghilangkan rasa khawatir yang terus menghantui pikiranku tentang Diandra. Rasanya seperti ada dorongan yang kuat untuk selalu bersamanya dan menjaga dirinya. Namun, di benakku, muncul pertanyaan yang tak henti-hentinya: Apakah perasaanku ini lebih dari sekadar kekhawatiran teman? Padahal, cintaku pada Kirana masih sangat dalam. Mungkin ini hanya bentuk kepedulian sebagai teman dekat, bukan sesuatu yang lebih.
“Gar, lu kenapa? Ngelamun terus,” tanya Lionel sambil menepuk bahuku, membuyarkan lamunan.
“Gak apa-apa, Nel. Aku cuma kepikiran Diandra,” jawabku dengan nada lembut.
“Gak usah khawatir. Diandra pasti baik-baik saja. Kita tunggu di sini aja,” kata Lionel menenangkan.
“Eh, Gar, itu bukannya kakaknya Diandra?” tanya Evelly sambil menunjuk ke arah seseorang.
“Kurang tahu, Vel. Aku belum pernah lihat kakak Diandra sebelumnya,” jawabku sambil melihat wanita yang dimaksud Evelly mendekat.
“Kalian teman-temannya Diandra, kan?” tanya wanita itu dengan nada khawatir.
“Iya, Kak. Kami teman-temannya Diandra,” jawab Johancha, mewakili kami semua.
“Bagaimana keadaannya? Diandra baik-baik saja, kan?” tanya kakak Diandra dengan jelas terlihat cemas.
“Kami belum tahu pasti, Kak. Tapi kami yakin Diandra baik-baik saja. Mari kita tunggu di sini dulu,” jawab Evelly berusaha menenangkan.
“Sini, Kak, duduk dulu,” ajak Alya, menawarkan bangku yang disediakan untuk kakak Diandra.
Kakak Diandra pun duduk di bangku itu, dan kami semua kembali menunggu dengan penuh harapan, berharap kabar baik segera datang.
Setelah menunggu dengan penuh ketegangan selama setengah jam, akhirnya dokter yang menangani Diandra keluar dari ruangannya. Kami segera menghampirinya, berharap mendengar kabar baik.
“Pasian Diandra hanya mengalami kelelahan dan mungkin melewatkan makan, yang menyebabkan kambuhnya asam lambung,” kata dokter dengan suara tenang. “Namun, kami telah menangani kondisinya dengan baik. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat inap untuk pemantauan lebih lanjut.” Setelah penjelasan
singkatnya, dokter melanjutkan langkahnya, dan seorang suster mendekati kami dengan ekspresi penuh pengertian.“Maaf, boleh saya tahu siapa wali dari saudari Diandra?”
“Saya yang bertanggung jawab.”
Kakak Diandra segera menjawab,“Baik, kalau begitu silakan ikut saya untuk mengurus biaya administrasi nya,” ujar suster dengan sopan.
“Jika begitu, kalian tunggu di sini dulu. Kakak akan mengurus biaya administrasi. Sementara itu, kalian bisa menjenguk Diandra di ruangannya,” kata kakak Diandra sebelum melangkah mengikuti suster. Kami pun mengikuti suster yang lain nya untuk memandu kami menuju ruang rawat inap Diandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...