Chapter 39

15 3 0
                                    

Aku tidak tahu rumah siapa ini, tetapi melihat Anggara yang berhenti di depan pintu, aku menduga ini adalah rumahnya. Anggara memintaku untuk masuk, dan ketika kami melangkah ke dalam, aku melihat adik  dan ibunya anggara duduk di ruang tamu yang hangat dan nyaman.

“Dah pulang, nak? Kenapa lama sekali?” tanya ibu Anggara dengan nada lembut.

“Barusan ada beberapa urusan di sekolah, Bu,” jawab Anggara sambil tersenyum, tampak santai.

“Begitu, ya? Dan siapa ini teman kamu ya?” tanya ibu Anggara sambil melirikku dengan penuh rasa ingin tahu.

“Halo, Bu. Saya Daindra, teman Anggara,” kataku dengan sopan sambil memperkenalkan diri.

“Ah, jadi ini Daindra. Senang sekali bisa bertemu denganmu. Ayo masuk, sebentar ya Ibu mau ambilkan handuk kecil untuk kalian,” kata ibu Anggara dengan ramah sebelum menuju ke kamar untuk mengambil handuk.

Dengan suasana yang hangat dan sambutan yang ramah, aku mulai merasa lebih nyaman di rumah Anggara.

Saat ibu Anggara memberikan handuk kepada kami, Anggara langsung saja mengajakku untuk masuk ke kamarnya. Dengan satu tangan mengusap rambutnya yang basah dan tangan lainnya menggenggam tanganku, dia memimpin ku masuk.

Begitu kami berada di dalam kamar, aku melihat sebuah bingkai foto yang menampilkan Anggara bersama seorang gadis yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku menatap foto itu lebih lama sebelum beralih ke foto lainnya. Ada foto kami yang diambil saat berlibur di pantai, dan di dekat meja tempat tidur, aku menemukan sebuah foto Anggara yang sedang menggendongku. Melihat semua foto ini, hatiku dipenuhi rasa bahagia. Namun, ketika aku sedang asyik melihat-lihat, Anggara tiba-tiba muncul dengan rambut basah, seolah baru saja selesai mandi.

“kamu lagi ngapain di sini, Dian?” tanya Anggara tiba-tiba.

“Kenapa sih kamu suka datang diam-diam?” balasku sambil memukul lembut tangannya.

“Kamu sendiri yang terlalu fokus melihat foto-foto ini,” jawab Anggara dengan nada berseloroh.

“Ini baju untukmu,” kata Anggara, menyerahkan sebuah pakaian.

“Ini terlalu besar, Anggara. Badanku jauh berbeda dengan tubuhmu,” protesku, mencoba menyesuaikan baju yang diserahkan.

“Ya, tapi bagaimana kalau kamu tetap basah dengan baju yang sekarang?” Anggara mengingatkan.

“Ya sudah, minggir. Aku mau ganti baju. Kamu keluar dulu,” ujarku dengan tegas.

“Oh, dan ini celana pendek milik kakakku. Kayaknya cocok untukmu,” tambah Anggara sambil mengambil celana dari lemari.

“Iya, iya. Sekarang kamu keluar dari kamar,” kataku sambil mendorong Anggara keluar.

Dengan Anggara yang akhirnya meninggalkan kamar, aku mulai mengganti baju sambil tersenyum kecil, merasa hangat dengan perhatian dan kebaikan yang ditunjukkannya.

Aku mengenakan pakaian yang diberikan Anggara. Hoodie yang diberikan menutupi setengah dari celana pendek yang kupakai, membuatku merasa sedikit canggung. Setelah selesai mengganti pakaian, aku membuka pintu kamar Anggara dengan hati-hati dan melihat dia masih menunggu di luar, tampak sabar.

“Sudah siap, Dian?” tanya Anggara dengan senyum.

“Sudah, Gar. Tapi hoodie yang kamu berikan ini terlalu besar,” jawabku sambil mengernyitkan dahi.

“Lebih baik begitu, daripada kamu masuk angin dan jatuh sakit,” kata Anggara dengan nada khawatir.

“Ya sudah, terserah,” jawabku, sedikit mengalah.

Tiba-tiba, Anggara mendekat dan menggendongku. “Aduh, jangan gendong aku, Gar,” kataku sambil memukul lembut bahunya.

“Makanya jangan ngambek,” Anggara membalas dengan nada ringan, masih dengan senyum di wajahnya.

“Ya sudah, iya. Tapi turunin aku,” pintaku dengan lembut.

“Baiklah, baiklah. Aku turunkan sekarang,” ucap Anggara sambil perlahan menurunkanku dari gendongannya.

“Sudah makan belum?” tanya Anggara, matanya penuh perhatian.

“Sudah, Gar. Kalau kamu?” balasku.

“Sudah, tadi bersama Mama,” jawab Anggara.

“Sekarang mau ngapain sambil menunggu hujan reda?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian.

“Bagaimana kalau kita nonton film?” Anggara mengusulkan dengan penuh semangat.

“Nonton apa?” tanyaku penasaran.

“Nonton film Disney. Kamu mau?” Anggara menawarkan dengan percaya diri, seolah tahu film apa yang kusukai.

“Mau, tapi aku ingin nonton Mulan,” jawabku dengan antusias.

“Baiklah, bayi besar ku,” Anggara menjawab sambil menuju ke laci untuk mengambil laptop.

“Ih, aku bukan bayi, Anggara,” protesku dengan wajah cemberut.

“Iya, kamu mungkin tidak merasa seperti bayi, tapi di mataku, kamu tetap bayi. Sekarang, ayo naik ke tempat tidur,” kata Anggara sambil tersenyum lembut.

Aku melangkah ke atas kasur Anggara, menyesuaikan diriku di atas tempat tidur. Anggara kemudian membuka laptop dan memutar film yang kuinginkan. Setelah itu, dia beranjak dari tempat tidur, membuka pintu kamar lebar-lebar, dan kembali duduk di sampingku. Sambil memeriksa ponselnya, Anggara merebahkan diri di pangkuanku, seperti kebiasaannya.

Aku merasakan tatapan Anggara yang penuh perhatian. Ketika aku menoleh, dia sedang menatapku dengan serius. Aku merasa perlu bertanya.

“Ada apa, Gar?” tanyaku lembut.

“Tidak ada, Dian. Aku hanya merindukan momen seperti ini bersamamu,” jawab Anggara dengan nada penuh kehangatan. Aku membalas dengan lembut mengelus rambutnya.

“Sejak kamu dengan Devan berpacaran, aku merasa sulit untuk mendekatimu. Devan seolah menunjukkan kebencian dengan tatapannya, jadi aku memilih untuk menjauh,” kata Anggara dengan nada sedih dan lesu.

“Jadi, mengapa kamu menyuruhku untuk menerima Devan?” tanyaku, masih bingung.

“Aku sudah berjanji pada nya untuk membantunya untuk mendekatimu. Lagipula, aku yakin Devan bisa membahagiakanmu. Aku juga ingin menjaga hubungan persahabatan kita,” jelas Anggara dengan tulus.

“Kenapa kamu begitu yakin Devan bisa membahagiakanku?” tanyaku.

“Karena aku melihat ketulusan dalam dirinya,” jawab Anggara. Aku tidak langsung menanggapi, tapi Anggara melanjutkan setelah beberapa detik.

“Dian, jika Devan atau siapa pun melukaimu, aku berjanji akan membalasnya untukmu. Aku akan tetap melindungimu seperti saat-saat kita bersama. Aku akan selalu ada di sampingmu, walaupun hanya sebagai teman. Aku akan menjadi perisai untukmu,” kata Anggara dengan penuh kesungguhan.

Aku hanya bisa mengangguk dalam hati, berharap Anggara akan selalu ingat janjinya. Dengan perasaan hangat dan penuh harapan, kami kembali tenggelam dalam kegiatan masing-masing, menikmati kebersamaan yang ada.


 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang