Chapter 19

18 5 0
                                    

Seperti biasa, kami memulai pagi dengan sarapan bersama. Sekitar jam 10 pagi, kami memutuskan untuk melakukan wawancara dengan beberapa orang di desa ini. Setelah selesai, kami berkumpul untuk makan siang bersama di warung Bu Titi.

"Kalian mau pesan apa?" tanya Anggara kepada kami semua.

"Hm, aku hanya ingin mie goreng," kata Hendra pada Anggara.

"Ya udah, kami berlima pesan yang sama saja," ucap Adithia mewakili teman teman nya.

"Aku cukup dengan nasi goreng," jawabku. "Samaan saja, jadi 6 nasi goreng. Untuk minumannya, kita pesan es teh manis." ucap ku lagi pada anggara untuk mewakili teman teman nya.

"Baiklah, aku pesan dulu ya," ucap Anggara, lalu pergi untuk memesan makanan tadi.

Setelah menunggu beberapa saat, pesanan kami pun datang. Kami langsung menyantap makanan yang terhidang di meja.

"Enak gak, Dian?" tanya Anggara.

"Enak kok, Gar. Mau coba nasi gorengnya? Nih, kalau mau coba," ajakku sambil menggeser piringku ke depannya.

"Boleh juga," jawabnya.

"ni, makan aja kalo kamu mau," kataku ramah padanya, sambil hendak menyendok nasi goreng. Tapi tanpa menunggu, Anggara sudah mengambil sendok ku dan menikmati hidangan dengan lahap.

"Hm, memang enak," ucap Anggara santai.

"Eh, Gar, kenapa harus ambil dari sendokku sih?" tanyaku, dengan nada yang sedikit kesal

"Ya, gak apa-apa, namanya dah terlanjur," balasnya tanpa rasa bersalah.

" Ya serah lah gar " balas ku pada nya dengan diri ku kembali melanjutkan makan ku dengan diam.

Setelah selasai makan kami memutuskan untuk meninggal kan warung bu titi untuk bersiap pulang ke rumah masing masing namun sebelum itu kami harus pergi kerumah nenek anggara untuk bersiap siap untuk pulang .

Tidak ada yang tertinggalkan, mari kita berangkat," ucap Hendra mantap kepada kami semua.

"Semuanya aman, tidak perlu khawatir," tambah Adithia dengan keyakinan.

"Bagaimana dengan para cewek? Apakah semuanya baik-baik saja?"
Nicholas menambahkan.

"Semuanya dalam kondisi aman, Nic."ucap Evelly yang berada di belakang Nicholas

Dengan Anggara yang memimpin jalan kami sambil memegang tanganku erat. "Peluk aku erat, jangan sampai terjatuh. Aku ingin mengebut ucapnya dengan penuh semangat. Aku hanya bisa mengangguk pasrah di dalam genggamannya.

Selama perjalanan, aku memilih untuk tetap diam karena tubuhku telah terlalu lelah hari ini. di sisi lain, anggara hanya fokus pada jalanan yang kami lalui. Namun, kebisingan di antara kami yang berkelompok tidak pernah reda, terutama Alvero dan Johancha yang selalu terlibat pertengkaran. Anehnya, mereka berdua sepertinya tidak pernah bisa akur.

"Dian, kamu terlihat sangat lelah," ucap Anggara sambil mengelus tanganku yang memeluk dirinya. Aku hanya bisa mengangguk lemah.

"Mau berhenti sejenak atau bagaimana?" tanya Anggara dengan nada khawatir.

"Tidak, Gar, lanjut saja, biar cepat sampai," jawabku dengan suara lemah dan kelelahan.

"Tapi wajahmu terlihat begitu pucat. Sebaiknya kita berhenti sebentar," desak Anggara lagi, ekspresinya mulai cemas.

"Aku baik-baik saja, Gar, tidak perlu khawatir," jawabku mencoba menenangkan Anggara.

Namun, ada sesuatu yang tidak biasa yang kurasakan. Ketika awalnya kuduga itu hanya tetesan air dari langit yang mendung dan udara yang begitu dingin membuatku merasa flu. Tapi, tanpa disangka, darah mengalir dari hidungku, membuat Anggara panik seketika.

"Astaga, Diandra, ada apa denganmu?" ucap Anggara dengan panik, dengan diri nya menghentikan motor miliknya.

"Aku tidak tahu, Gar. Ini datang tiba-tiba," jawabku dengan napas tersengal, darah terus mengalir deras dari hidung ku.

"Turunlah, pelan-pelan," pintanya dengan suara gemetar. "Ayo, berbaringlah di kursi panjang ini."

"Tapi, Gar, aku malu kalau dilihat orang," protesku.

"Kamu pikir ini soal malu, Diandra? Cepat," ucapnya dengan nada sedikit kesal. Aku menuruti perintahnya, menurunkan tubuhku dengan hati-hati di pangkuannya, berusaha menahan rasa sakit tanpa membuat kehebohan.

"Kenapa kamu bisa mimisan lagi? Sudah berapa kali aku katakan jangan sampai kecapean, Diandra," tegurnya dengan tangan nya yang telaten membersihkan darah dari hidungku.

"Maaf, Gar, aku hanya ingin membantu," ucapku dengan nada sedikit bersalah.

"Iya, tapi lihat dulu kondisimu sebelum membantu, Diandra," ucapnya lagi sambil mengambil ponselnya.

"Aku akan menelepon Alvero dulu agar mereka tidak khawatir tentang kita," ujar Anggara kepadaku, yang kubalas dengan mengangguk. Selama Anggara dan Alvero berbicara melalui telepon, aku hanya diam mendengarkan. Dari suara di ponsel Anggara, terdengar bahwa mereka semua khawatir terhadap kami berdua, namun semuanya dapat diatasi oleh Anggara dengan kata-katanya. Setelah Anggara dan Alvero selesai berbicara, Anggara kembali menatapku.

"Apakah sudah membaik, atau masih ada yang terasa sakit?" tanya Anggara.

"Tidak, Gar, hanya pusing sedikit," jawabku.

"Biarkan aku membersihkan lagi," ucap Anggara sambil menggunakan sapu tangan nya untuk membersihkan darah di hidungku.

"Sudah berhenti, Gar," kataku sambil bangkit dari tiduran di pangkuannya tadi.

"Sandarkan dirimu di bahu ku dulu, masih pusing kan?" kata Anggara.

"Iya, Gar, tapi..." kataku, tapi Anggara menatapku tajam.

"Tidak ada yang akan melihat, Diandra. Kita di jalanan sepi begini, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat," ucapnya sambil menuntunku bersandar di pundaknya.

"baik lah gar," ucapku pasrah.

"Istirahatlah sebentar, nanti kita bisa melanjutkan perjalanan. Kita sudah tertinggal dari yang lain," ucap Anggara sambil mengelilingiku dengan jaketnya.

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kupejamkan mata ku sejenak, merasakan Anggara duduk di sampingku, sibuk dengan ponselnya. Tangan satu memegang bahuku yang hangat, sementara tangan lainnya sibuk dengan ponsel. Meskipun begitu, momen ini begitu berarti bagiku. Hari ini, aku merasa begitu bahagia bersamanya. Namun, sering kali, kehadirannya membuatku bingung. Mengapa dia begitu perhatian padaku, membuatku sering salah paham padanya.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang