Sejak aku dan Devan menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Anggara tampaknya menjauh dariku. Rasa kesepian yang kurasakan semakin mendalam tanpa kehadiran Anggara di sampingku, terutama kini, di semester kedua kelas 12. Anggara terus menghindar dan enggan berbicara denganku, meninggalkan luka yang kian menganga di hatiku.
"Baiklah, anak-anak. Untuk tugas seni budaya kali ini, kalian akan melukis gambar apa pun yang kalian inginkan di atas kanvas. Setelah selesai, kumpulkan hasilnya pada minggu depan saat pelajaran ibu. Kelompok akan ibu bagi di grup kelas. Sekian untuk hari ini, kalian boleh pulang," ucap Bu Hernita setelah lonceng berbunyi tanda akhir pelajaran.
Aku segera membereskan barang-barang yang kubawa selama pelajaran. Ketika aku selesai, kulihat Anggara tengah tertawa riang bersama teman-temannya, termasuk Kristina. Saat aku terfokus memandang Anggara, tiba-tiba Devan memanggil namaku.
"Sayang, ayo pulang," ujar Devan sambil menarik tanganku keluar dari kelas.
"Kok kamu diam saja?" tanya Devan, tampak heran.
"Enggak apa-apa, Dev. Ayo pulang," jawabku lembut.
"Yaudah, ayo naik," sahut Devan sambil membantuku naik ke atas motornya. Namun, saat Devan mulai mengendarai motor, tiba-tiba Iastin memanggil namaku. Devan segera mematikan mesin motor untuk memberiku kesempatan berbicara dengan Iastin.
"Dian, kita kan satu kelompok untuk tugas seni budaya. Besok kita akan kumpul di sebuah kafe. Nanti gue share lokasi-nya sama lu ya," kata Iastin.
"Oke, Ias. Makasih untuk informasinya," balasku.
"He, kalian bertiga ngapain ngumpul di sini?" tanya Anggara yang tiba-tiba datang.
"Baru mau ngasih info soal kelompok kita ke Dian," jawab Iastin santai, disertai anggukan kepala dari Anggara.
"Yaudah, kalau gitu kami berdua pulang duluan, ya Gar, Ias," kata Devan sambil melirik Anggara dan Iastin.
"Iya, hati-hati kalian berdua," jawab Anggara kepada Devan, tatapannya seolah tertuju padaku.
Saat aku dan Devan meninggalkan parkiran sekolah, aku sempat melihat Anggara dan Iastin berbicara serius. Namun, semakin jauh kami melaju, semakin samar aku melihat mereka berdua.
POV ANGGARA
“Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Anggara?” Iastin bertanya dengan nada datar, tatapannya tajam.
“Apa maksudmu, Ias? Aku tidak mengerti,” jawabku dengan kebingungan.
“Kenapa kau mendorong Daindra untuk menerima Devan, padahal kau tahu betul bahwa Daindra tidak menyukainya?” Iastin bertanya serius.
“Karena aku percaya Devan bisa membuat Daindra bahagia. Aku yakin, seiring waktu, Daindra akan membuka hatinya untuk Devan,” jawabku.
“Kau benar-benar tidak mengerti,” kata Iastin dengan frustrasi. “Aku tidak tahu bagaimana lagi menjelaskannya padamu.”
“Jadi, apa sebenarnya yang ingin kau katakan, Ias?” tanyaku, merasa semakin bingung.
“Jadi selama ini, Daindra hanya kau jadikan pelampiasan setelah putus dengan Kirana?” Iastin bertanya dengan nada semakin dingin.
“Tidak, Ias. Aku tulus memperhatikan Daindra sebagai seorang teman,” jawabku dengan tegas.
“Kau benar-benar membuatku emosi, Anggara. Bisakah kau membedakan antara perhatian seorang teman dan perhatian seorang kekasih? Perhatianmu kepada Daindra sudah melewati batasan seorang teman. Apa kau tidak mengerti?” Iastin menjelaskan dengan nada penuh amarah.
“Tapi, Ias, aku tidak berniat seperti itu,” bantahku dengan penuh keyakinan.
“Jadi, apakah kau tidak menyadari bahwa perhatianmu bisa membuat Daindra mulai menyukaimu?” tanya Iastin dengan nada tajam.
“Tidak, Ias. Aku rasa Daindra tidak akan menyukaiku,” jawabku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
“Ya, karena kau hanya mencintai Kirana, dan Daindra tahu betul bahwa cintamu hanya untuk Kirana. Aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak ingin membahas ini lagi,” kata Iastin dengan nada putus asa, meninggalkanku dalam kebingungan yang mendalam.
“Ada apa sebenarnya dengan semua ini? Apakah aku telah membuat keputusan yang salah? Kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini? Apa maksud sebenarnya dari kata-kata Iastin? Jawaban apa yang ia cari? Apa yang mereka sembunyikan dariku?” pikiranku berkecamuk setelah percakapan dengan Iastin. Setiap kata yang diucapkannya semakin membuatku bingung. Memang, Iastin benar bahwa aku masih mencintai Kirana, tetapi bagaimana Daindra terlibat dalam semua ini?
Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah, meninggalkan parkiran sekolah dengan ketenangan yang hanya sebatas permukaan. Pikiranku tetap terombang-ambing oleh kata-kata Iastin, namun aku memaksa diri untuk tetap fokus saat mengendarai motorku.
Di tengah perjalanan, aku secara tidak sengaja melihat Daindra duduk di sebuah kafe dekat rumahku, sibuk membaca novel. Devan tidak tampak di sampingnya. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk memarkirkan motorku dan mendekati Daindra. Saat aku mendekat, dia menoleh dan menatapku dengan ekspresi yang penuh rasa ingin tahu.
“Sedang apa kamu di sini, Gar?” tanya Daindra, matanya menatapku dengan penuh rasa ingin tahu.
“Aku hanya lewat, tapi melihatmu sendirian di sini,” jawabku dengan senyum kecil.
“Oh, begitu ya. Kamu sudah makan belum? Kalau belum, pesanlah sesuatu dulu,” saran Daindra.
“Tidak perlu, Dian. Devan ke mana? Kenapa dia tidak bersamamu?” tanyaku dengan nada penasaran.
“Dia tidak bersamaku. Aku datang ke sini sendiri,” jawab Daindra santai.
“Kamu tidak mau pulang? Cuacanya mendung,” kataku pada diandra, melihat awan gelap yang menggantung rendah.
“Kalau begitu, ayo kita pulang,” kata Daindra sambil membayar minumannya di kafe.
Aku pun mengantar Daindra pulang dari kafe, namun saat di tengah perjalanan, hujan turun deras. Aku segera mengarahkan motor menuju rumah, meminta Daindra untuk memelukku erat agar kami tetap kering. Dengan motor melaju di tengah hujan, kami merasakan ketegangan dan kehangatan yang mengisi ruang di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...