Setelah satu minggu penuh menghadapi ujian kelulusan di sekolah Briwijaya, akhirnya momen itu tiba. Kami, para siswa, merasa lega dan penuh haru atas perjalanan yang panjang menuju hari terakhir di sekolah ini. Di air pancuran sekolah kami, kami berkumpul untuk mengambil foto terakhir bersama sebagai kenang-kenangan yang tak terlupakan. Suasana penuh kebersamaan dan haru terasa begitu kuat, karena kami menyadari bahwa ini adalah akhir dari babak baru dalam hidup kami yang akan segera berpisah.
Setelah selesai, kami berjalan keluar dari gerbang sekolah dengan hati penuh kenangan yang menghangatkan. Namun, di saat kami akan meninggalkan sekolah, keheningan itu tiba-tiba terputus oleh suara Anggara yang memanggil Evelly dengan sorotan mata yang penuh makna.
"Heh Vel, nanti jam 6 sore datang ya ke rumah aku, kalian juga datang ya," ucap Anggara tiba-tiba, memecah keheningan di antara kami.
"Apa ada acara spesial?" tanya Alya, mencoba mencari tahu lebih lanjut.
"Kita akan ngumpul di rumahku untuk makan bersama," jawab Anggara dengan singkat.
"Ya udah, kami akan datang," kata Iastin dengan antusias.
"Jangan sampai tidak datang ya," tambah Anggara dengan nada serius, sebelum pergi dengan cepat.
Setelah undangan dari Anggara untuk berkumpul di rumahnya, suasana di antara kami agak tegang. Meskipun ada perubahan dalam kepribadian Anggara, kami memilih untuk tetap mendukung satu sama lain, meskipun ada ketegangan yang terasa di antara kami.
"Apa kamu akan ikut, Dian?" tanya Evelly, mencoba memberi dukungan.
"Aku akan datang," jawabku singkat, meskipun merasa sedikit khawatir di dalam hatiku.
"Udah, jangan terlalu dipikirkan perubahan sikap Anggara terhadapmu," kata Iastin mencoba menenangkan.
"Semua akan baik-baik saja, Dian," ujar Evelly dengan senyuman hangatnya.
"Iya Vel, mari kita pergi," kataku pada mereka berdua. Namun, sebelum kami meninggalkan tempat, aku menyadari bahwa jedai rambutku tertinggal di kelas di mana kami mengikuti ujian.
"Heh, jedai rambutku tertinggal di kelas," ujarku pada mereka.
"Bukannya kamu pakai tadi?" tanya Jovancha.
"Iya, tapi tadi aku lepas lagi dan lupa membawanya," jelasku.
"Ya udah, kita balik lagi ke dalam," usul Cyvara.
"Gak usah, aku akan masuk sendiri saja. Kalian tunggu saja di warung itu," ucapku sambil menunjuk warung kecil di dekat situ.
"Yakin tidak mau kami temani?" tanya Evelly sekali lagi.
"Yakin Vel, aku akan masuk sendiri ya. Kalian tunggu saja di sana," ucapku sambil melangkah pergi dari mereka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Aku berlari cepat melewati gerbang sekolah, menuju ruang ujian tempatku baru saja meninggalkan jedai rambutku. Saat aku tiba, Anggara sudah berdiri di depan meja tempatku duduk sebelumnya, memegang jedai rambutku dengan tatapan kosong yang sulit kubaca. Hatiku berdebar keras saat aku mendekatinya dan dengan lembut menyentuh pundaknya. Perlahan, Anggara menoleh ke arahku, tatapannya tetap hampa, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.
Perasaan campur aduk memenuhi hatiku, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apa yang sedang terjadi dengan Anggara? Kenapa dia di sini? Apa yang sedang dipikirkannya? Aku merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya ingin mengambil jedai rambutku dan pergi, tetapi suasana tegang ini membuatku terdiam.
Aku memandang Anggara dengan hati yang penuh kekhawatiran, mencoba mencari jawaban dari tatapannya yang kosong. "Sedang apa di sini?" tanyaku dengan nada lembut, berusaha memecah keheningan yang berat di antara kami.
"Ikut aku sebentar, Dian," jawabnya dengan suara rendah, matanya menatap jauh ke depan, seolah mencari sesuatu di kejauhan.
Aku mengikuti Anggara memasuki ruang ujian yang sunyi, tempat di mana jedai rambutku tergeletak di tangan Anggara. Dia tampak ragu-ragu, dan aku mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut, mencoba mencari keberanian untuk bertanya lebih jauh.
"Bisakah aku mengambil jedai itu darimu?" ucapku, mencoba menjaga ketenangan di tengah hati yang berdebar.
Anggara memandang jedai itu sejenak, lalu menatapku dengan ekspresi campur aduk antara keraguan dan keinginan yang terpendam. "Apakah ini jedai favoritmu?" tanyanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
"Iya, ini memang jedai favoritku. Aku baru saja memakainya beberapa hari terakhir," jawabku dengan lembut, berharap penjelasanku bisa meringankan suasana.
"Aku juga melihatmu memakainya," ucapnya perlahan, matanya tak pernah lepas dari jedai itu, seolah benda itu memiliki makna yang lebih dalam.
"Lalu, mengapa kamu tidak mengizinkanku mengambilnya darimu?" tanyaku dengan rasa penasaran yang semakin membesar, keinginan untuk memahami situasi ini semakin mendalam.
Anggara menghela napas panjang, lalu akhirnya menjawab dengan hati-hati, "Apakah jedai ini bisa menjadi milikku?"
Aku terdiam sejenak, mencoba memahami maksud di balik permintaannya yang mengejutkan. "Apa alasannya kamu ingin memiliki jedai milikku? Jika kamu ingin memberikannya pada seseorang, aku bisa membantu membelikannya untukmu," tawarku dengan hati-hati.
Anggara tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa canggung di antara kami. "Tidak, Dian. Jika aku tidak bisa memilikimu, setidaknya aku ingin memiliki sesuatu yang berhubungan denganmu. Bolehkah aku memiliki ini?" ucapnya sambil menatapku dalam-dalam, wajahnya menampilkan campuran antara harapan dan kesedihan.
"Aku... ya, kamu bisa memiliki itu," ucapku dengan rasa sesak di dada, mengingat betapa beratnya perasaan ini.
Anggara mengangguk dengan lembut, lalu meraih tanganku dengan hati-hati. "Terima kasih, Dian. Tolong, jangan sedih lagi," pintanya dengan penuh perhatian, suaranya dipenuhi kehangatan dan kepedulian.
Aku merasa dadaku semakin sesak. "Kenapa ini harus terjadi, Anggara? Apa yang salah dengan kita?" ucapku, suara gemetar karena rasa sakit yang mendalam dan keputusasaan.
Anggara menarikku dalam pelukannya, berusaha menenangkan perasaan yang terlalu berat untuk diungkapkan. "Kita memang tidak bisa bersama, Dian. Kita hanya ditakdirkan untuk menjadi teman," ucapnya dengan suara rendah, penuh kehangatan dan kelembutan. "Jangan katakan itu, Dian. Ayo, kita pergi dari sini."
Aku mengangguk perlahan, membiarkan diriku dipeluk oleh Anggara dalam keheningan yang dipenuhi perasaan rumit. Bersama-sama, kami meninggalkan ruang ujian dengan langkah yang berat, namun dalam hati, aku merasakan ada harapan baru yang tumbuh di antara kami.
Anggara membawa aku kembali ke warung di mana teman-temanku menunggu dengan ekspresi lelah dan penuh rasa ingin tahu. "Kenapa lama sekali, Dian? Dan kamu, Anggara, kenapa kamu di sini?" tanya Jovancha dengan sedikit keheranan.
"Ada urusan sebentar tadi," jawab Anggara singkat, tidak memberikan detail lebih lanjut.
"Apa yang terjadi denganmu, Dian? Kamu terlihat seperti baru saja menangis," tanya Alya dengan cemas, tatapannya penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja, Alya," jawabku sambil duduk di atas motor Anggara, berusaha menenangkan diri.
"Baiklah, aku sudah mengatur untuk menjemput kalian berlima. Sudah hampir jam enam, kalian bisa pulang dulu ke rumah untuk berganti baju. Terutama untuk Diandra, biar aku yang antar," jelas Anggara, memberikan penjelasan praktis di tengah situasi emosional ini.
"Baiklah, kita berangkat duluan ya," kata Iastin dengan nada yang lebih ringan.
"Oke, hati-hati kalian berdua," ucap Iastin sambil memandang kami dengan perhatian. Kami hanya menjawab dengan anggukan, dan Anggara langsung memacu motornya menuju rumahku, masih tetap menggenggam tanganku erat seolah tak ingin melepaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...