Ketika kami tiba di parkiran kafe, aku mengira Iastin akan memintaku naik Gojek tadi, tapi ternyata tidak. Tanpa diduga, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan kami, dan pikiranku langsung melayang seberapa kaya kekasih Iastin ini.
"Yuk, masuk sayang," ucap Askien sambil membuka pintu mobil untuk Iastin.
"Ayo, masuk, Dian. Mau di luar terus?" Iastin menatapku dengan senyum lembut.
Setelah aku masuk, Askien melaju dengan mobilnya. Suasana di dalam mobil tidak begitu sunyi karena Iastin dan Askien asyik berbincang-bincang. Aku hanya melihat keluar jendela mobil, didampingi oleh musik yang mengalun lembut di telingaku melalui headset. Baru aku sadar bahwa kami tidak menuju ke arah rumahku. Aku ingin segera bertanya pada Iastin, yang segera mengenali kekhawatiranku.
"Jangan khawatir, Dian. Ikut saja aku sebentar ya," ucap Iastin, dengan cepat mengantisipasi ketidak pastian di wajahku. Aku hanya tersenyum padanya, mengerti apa yang dia maksudkan.
Akhirnya, kami tiba di sebuah panti asuhan di daerah yang tak kukenal. Aku bingung mengapa kami ke sini. Apakah Iastin ingin mengadopsi seorang anak? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku, sampai akhirnya Iastin memberikan penjelasan.
"Yok turun, Dian," pinta Iastin padaku dengan suara hangat.
"Kami datang ke sini untuk membagikan makanan ke panti ini," jelas Iastin, matanya melihat seakan bisa membaca pikiranku. Aku memperhatikan ekspresinya saat dia mengamati Askien, yang sedang akrab bermain dengan anak-anak panti di sekitar.
"Ayo, sayang, kita temui Bu Panti dulu," ajak Askien pada Iastin dengan senyum ramahnya.
"Baiklah, kita langsung ke sana," jawab Iastin santai. Bersama-sama, kami melangkah menuju ketempat Bu Panti yang berada tidak jauh dari kami.
"Aku akan berbicara terlebih dahulu dengan Bu Panti. Kamu ingin ikut, tidak?" tanya Askien pada Iastin, suaranya penuh perhatian dan kebaikan hati.
Ga usah, aku bakal nemenin Diandra di sini. Sampaikan salam buat ibu panti dari aku ya," ucap Iastin dengan tulus.
"Baiklah, kalian bisa jalan-jalan sekitar panti ini, tapi jangan terlalu jauh," tambah Askien kepada kami berdua sebelum melangkah pergi menemui Bu Panti.
"Ehe, Ias, sejak kapan kamu berpacaran dengan Askien?" tanya aku, rasa penasaran terpancar dari wajahku.
"Oh, itu sudah sejak aku kelas 10 SMA," jawab Iastin dengan senyum kenangan.
"Jadi kamu dan Kien beda satu tahun?" lanjutku lagi.
"tidak kami Seumuran, tapi saat dia naik ke kelas 9 SMP, dia harus pindah ke China karena keluarganya memiliki bisnis di sana. Jadi kami harus menjalani hubungan jarak jauh," jelas Iastin, tatapan matanya menerawang ke masa lalu yang manis.
"Jadi kamu tidak takut kalau dia mencari cewek di China?" tanyaku padanya dengan rasa ingin tahu.
"Tidak, aku tidak khawatir jika dia menemukan wanita lain di sana, Dian," jawab Iastin dengan sikap santai.
"Mengapa tidak?" tanyaku semakin penasaran.
Karena aku mengenal sifat kekasihku dengan baik; lagi pula, hubungan kami sudah berlangsung lebih dari satu atau dua bulan."
Aku terdiam, terkesiap oleh kepercayaan diri Iastin. Tanpa kami sadari, Askien telah bergabung di antara kami.
"Sayang, Bu Panti memanggilmu di sana," sapa Askien pada Iastin.
"Oh, baiklah, tunggu sebentar. Aku titip Dian padamu ya," ucap Iastin kepada Askien sebelum pergi. Setelah Iastin pergi, Askien memulai percakapan denganku.
"Kamu menanyakan tentang kesetiaanku pada Iastin?" tanya Askien padaku.
"Iya, tadi aku hanya sekadar menanyakan kepada Iastin," jawabku dengan santai, namun tetap menjaga jarak dengan dia.
"Beginikah. Apakah kamu ingin tahu jawabanku?" lanjutnya, sambil aku mengangguk sebagai jawaban.
"Aku tidak akan pernah main-main di belakang kekasihku. Aku tahu betul perjuangan yang dilaluinya untuk mendapatkan hatiku. Sebelum aku dan Iastin memutuskan untuk bersama, aku selalu menolaknya. Bahkan, aku pernah membencinya karena sering mengganggu hari-hariku. Kami satu sekolah, bahkan satu kelas saat SMP. Kamu tahu mengapa akhirnya aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengannya," ucap Askien padaku dengan serius, tatapan matanya mencerminkan keputusannya yang kuat.
"Karena dia berhasil menaklukkan hatiku dengan kesabarannya, menunggu dengan penuh kesabaran sampai akhirnya aku jatuh cinta padanya. Bahkan saat aku memperkenalkannya kepada orang tua, mereka awalnya menolak. Namun, dia tidak menyerah. Dia berjuang untuk mendapatkan perhatian dan penerimaan dari keluargaku dengan kebaikan dan kesabaran yang dimilikinya. Akhirnya, dia berhasil meluluhkan hati keluargaku, bahkan menjalin hubungan yang sangat dekat dengan ibuku. Jadi, bagiku tidak ada alasan untuk bermain di belakangnya. Aku benar-benar bersyukur telah mendapatkan wanita seperti dia," ucap Askien padaku dengan tulus.
"Kalian berdua memang luar biasa," puji aku pada Askien.
"Hahaha, begitulah. Tapi, kamu tahu, Diandra, cinta kadang-kadang bisa sangat rumit," ucap Askien sambil tersenyum.
"Menurutku, cinta itu sebenarnya tidak rumit. Yang rumit adalah orang yang kita sukai," kataku dengan santai.
"Berjuanglah sebisamu, Diandra. Jangan pernah menyerah hanya karena cinta yang tak berbalas," ucap Azkian sambil aku hanya menganggukkan kepala.
"Apa yang sedang kalian bicarakan dengan serius?" tanya Iastin pada kami berdua.
"Tidak apa-apa, sayang. Sudah selesai pembicaraannya dengan Bu Panti," jawab Azkian lembut pada Iastin.
"Baiklah, mari kita bermain dengan anak-anak di panti," ajak Iastin pada Azkian dan aku.
"Baiklah, tapi sebelum itu, aku akan meminta Pak Ando untuk mengantar keperluan panti terlebih dahulu. Kalian duluan saja, aku akan menyusul," ucap Azkian pada kami berdua.
Kami pun akhirnya pergi bermain dengan anak-anak di panti. Aku melihat banyak bayi yang baru lahir dan ditempatkan di sana. Melihat mereka, ada rasa sedih yang menghampiriku.
Kenapa, Dian?" tanya Iastin sambil menepuk pundakku dengan lembut.
"Aku baik-baik saja. Hanya saja, melihat bayi-bayi ini membuatku terpesona. Mereka begitu lucu dan rapuh," jawabku sambil mataku tetap terpaku pada mereka.
"Iya, mereka masih begitu kecil namun harus berjuang dari awal dalam kehidupan ini. Itulah yang membuatku begitu terkesan dengan anak-anak di panti asuhan ini," ucap Iastin dengan nada yang penuh empati.
"Ayo kita pulang. Sudah merasa puas bermain dengan anak-anak di sini?" ucap Azkian pada kami berdua, suaranya hangat dan penuh perhatian.
"sudah, kami sangat menikmati waktu di sini. Bagaimana dengan kebutuhan di panti ini?" ucap Iastin pada Azkian.
"Sudah terpenuhi, mari kita pulang. Sudah hampir jam 6 sore," ucap Azkian pada kami berdua.
"Baiklah, ayo kita pulang. Sambil kita pamitan dengan anak-anak di sini," ucapku pada mereka berdua, senyum mereka membalas ucapan ku.
"Baiklah, mari kita berangkat," ucap Azkian kembali
Kami meninggalkan panti asuhan itu setelah berpamitan dengan anak-anak di sana.
"Akhirnya sampai juga. Terima kasih, kalian berdua," ucapku sambil turun dari mobil Azkian.
"Sama-sama, Dian. Kalau begitu, kami pulang dulu ya," ucap Iastin.
"Iya, Ias," ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya. Aku langsung masuk ke dalam rumah, namun terasa sepi tanpa kehadiran mereka di sana. Aku langsung menuju kamar untuk mandi dan menyegarkan tubuh, kemudian mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...