Hari ini adalah hari yang penuh ketegangan sekaligus harapan. Aku dan teman-teman sekelas sedang menghadapi ujian akhir semester, yang menentukan langkah kami menuju kelas 11. Ujian ini berlangsung secara daring dari rumah masing-masing, membuat suasana yang biasanya riuh rendah di sekolah kini terasa sunyi. Tak ada suara derap langkah di koridor atau bisikan kecil penuh ketegangan di antara teman-teman. Hanya ada keheningan dan ketukan jari di atas keyboard, sebuah irama yang asing tapi mulai akrab di telinga.
Meski kondisi ini tidak biasa, ada satu hal yang membuat hari ini terasa istimewa—aku bisa melihatnya lagi. Anggara. Selama semester pertama di kelas 10, aku hanya bisa merindukannya dari kejauhan, hanya bisa membayangkan senyumnya yang selalu membuat jantungku berdebar. Namun kini, saat pandemi mulai mereda dan kehidupan perlahan kembali normal, kesempatan untuk melihatnya lagi, meski hanya sekilas, adalah kebahagiaan yang sulit kuungkapkan.
Sayangnya, setelah seminggu penuh tenggelam dalam ujian dan tekanan yang mengiringinya, kami kembali terpisah. Tak ada kesempatan untuk bertemu, tak ada momen singkat untuk menatap wajahnya. Namun, setelah ujian selesai, hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba—hari pembagian rapor. Meskipun hanya sebentar di sekolah, harapan untuk melihat Anggara lagi membuat pagi itu terasa penuh antisipasi.
Ketika aku tiba di kelas untuk mengambil rapor, mataku segera mencari-cari sosoknya. Dan di sana dia, berdiri tak jauh dariku. Jantungku kembali berdebar, sebuah perasaan yang sudah begitu akrab namun selalu mengejutkan. Tapi seperti mimpi yang terlalu cepat berakhir, Anggara segera pergi setelah menerima rapornya. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasa kecewa karena momen itu berakhir terlalu cepat.
Sebelum aku sempat merenungi lebih jauh, suara Jovancha menarikku kembali ke dunia nyata. "Dian, setelah ini kamu punya acara nggak?" tanyanya dengan nada ringan.
"Tidak sih, ada apa?" jawabku, mencoba terdengar biasa saja meski pikiranku masih tertuju pada Anggara.
"Fina mengajak kita berkumpul, kamu mau ikut?" tanyanya dengan antusias.
Aku menimbang sejenak, tapi bayangan Anggara yang pergi begitu cepat masih memenuhi pikiranku. "Mungkin lain kali saja, Cha. Aku lagi nggak mood buat kumpul-kumpul," jawabku akhirnya.
Jovancha menatapku dengan serius, "Kalau kamu nggak ikut, aku juga nggak akan ikut. Yuk, pulang saja. Nanti aku bilang ke Fina kalau kita berdua nggak bisa bergabung."
Aku terkejut dengan keputusannya. "Loh, kenapa begitu, Cha? Kalau kamu mau ikut, pergilah sendiri," kataku, sedikit bingung.
"Enggak ah, nggak seru kalau aku sendirian. Yuk, pulang aja," ucap Jovancha sambil menarik tanganku, seolah keputusan sudah bulat.
Dalam perjalanan pulang, Jovancha tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku tertegun, "Dian, kamu sudah tahu belum kalau Anggara itu ketua kelas kita?"
Aku berhenti sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Anggara? Dia ketua kelas kita? Aku baru tahu, Cha. Kenapa kamu nggak bilang dari awal?" tanyaku, sedikit terkejut.
Jovancha hanya tertawa kecil, "Kamu nggak pernah tanya, sih. Lagipula, kenapa kamu kaget banget?"
Aku berusaha menyembunyikan perasaanku dengan menjawab santai, "Nggak apa-apa sih, Cha." Tapi, dalam hati, pikiranku terus berputar, mencoba menghubungkan informasi baru ini dengan semua hal yang selama ini kurasakan.
Setelah sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku. Seperti biasa, langkah pertama adalah mengganti pakaian lalu duduk di meja belajar. Di depanku tergeletak buku harian yang sudah menjadi tempatku mencurahkan segala perasaan dan pikiran. Dengan hati-hati, aku membuka halamannya, dan kali ini, bukannya mencatat tentang hari-hariku atau keluhan kecil yang biasa, aku menemukan diriku menulis tentang Anggara. Entah sejak kapan, hampir setiap halaman di buku harianku dipenuhi dengan cerita tentang dia.
Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa kujelaskan—sebuah daya tarik yang selalu berhasil mencuri perhatianku. Setiap kali aku melihatnya, ada getaran halus di dalam hatiku, seolah-olah dia memiliki sesuatu yang tak bisa kulawan. Mungkin ini adalah perasaan suka, atau mungkin hanya ketertarikan yang sederhana. Tapi yang jelas, sejak pertama kali bertemu dengannya, aku tahu bahwa dia telah meninggalkan jejak yang dalam di hatiku, sebuah jejak yang membuatku terus memikirkannya, bahkan ketika aku berusaha untuk tidak melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...