Pukul 4 pagi, aku terbangun dari tidurku dan segera bersiap-siap untuk mempersiapkan sarapan bagi kami dan adik-adik Evelly. Aku memilih menu sederhana untuk memulai hari ini. Setelah semuanya siap, aku mandi terlebih dahulu. Setelah mandi, aku membangunkan Iastin dan Evelly, dan keduanya langsung bersiap-siap. Kami berkumpul untuk sarapan bersama sebelum berangkat dari rumah Evelly menggunakan mobil yang tersedia, dengan Evelly sebagai pengemudi.
Kami tiba di salon yang sudah dipilih oleh Evelly, di mana kami disambut dan di-make up oleh para profesional di sana. Pukul 6 pagi, kami selesai dengan persiapan di salon dan membayar para pekerja sebelum meninggalkannya. Sesampainya di rumah, kami segera mengganti pakaian kami dengan kostum yang telah kami siapkan untuk pentas seni.
Kami akhirnya memutuskan untuk menjemput teman-teman kami yang lain setelah semuanya siap. Setelah mengambil mereka, kami meluncur ke sebuah gedung besar tempat acara pentas seni diadakan. Saat kami tiba, sudah banyak siswa yang berdatangan. Meskipun beberapa mata memperhatikan kedatangan kami, kami memilih untuk tidak memperdulikannya dan dengan percaya diri melangkah ke dalam gedung tersebut. Di pintu masuk, kami disambut oleh Anggara dan teman-temannya.
"Kalian semua kok bisa secantik ini," puji Nicholas dengan penuh kagum pada kami berenam.
"Iya, gak nyangka kalian bisa seistimewa ini," tambah Adithia, matanya bersinar dalam kekaguman yang tulus.
"Ini, yang biasanya cuma pake bedak My Baby di sekolah, dipoles dikit pake makeup langsung beda banget mukanya," ucap Hendra sambil tersenyum lebar.
"Nih, primadona kelas kita yang sesungguhnya," tambah Nicholas dengan nada yang penuh penghargaan.
"Udah, udah, kalian berlebihan banget," sela Iastin dengan senyuman ceria.
"Ayo, masuk, acaranya akan segera dimulai," ajakku pada mereka semua dengan semangat.
"Oke, kita masuk. Soal nya kita akan jadi penutup parade ini," kata Anggara pada kami semua dengan semangat yang membara.
"Dian, kamu sama Anggara aja," usul Iastin, dan aku hanya mengangguk setuju.
Akhirnya, kelas kami maju ke depan untuk melaksanakan parade, disambut oleh sorak sorai dari para guru dan siswa yang hadir. Aku melihat Anggara dengan sikap yang mengesankan, memberikan sepatah dua kata pada guru dan adik-adik kelas kami. Setelah Anggara selesai berbicara, kami turun dari panggung dengan rasa bangga yang memenuhi hati.
Setelah turun dari panggung, kami melanjutkan dengan mengambil foto bersama satu kelas di dekat wali kelas kami yang berdiri di tengah-tengah. Setelah selesai berfoto, kami memutuskan untuk kembali ke dalam gedung.
Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk makan siang di dalam gedung yang disediakan oleh panitia acara pentas seni. Setelah selesai makan siang, kami berduabelas memutuskan untuk naik ke lantai dua gedung tersebut dan mengambil beberapa foto di ruangan khusus yang disediakan untuk pengambilan foto bersama.
Setelah kami selesai, tiba giliran ku dan Anggara untuk berfoto bersama. Namun, tiba-tiba Devan muncul secara tiba-tiba dan menarikku keluar dari ruangan tempat pengambilan foto. Sebelum aku bisa bereaksi, Anggara menarikku dengan kuat sehingga aku terjatuh dan akhirnya berada dalam pelukannya.
"Ada apa denganmu, Devan?" tanya Anggara dengan ekspresi serius.
"Seharusnya aku yang nanya kayak gitu, Anggara," balas Devan tanpa ragu.
"Kamu tidak seharusnya kasar pada Diandra. Sudah beberapa kali aku menyampaikannya padamu," ujar Anggara dengan nada yang menunjukkan kekecewaannya.
"Aku ingat itu. Tapi sebenarnya, di sini siapa yang sebenarnya menjadi kekasih Diandra, aku atau kamu?" tantang Devan dengan tegas.
"Ya, memang kamu adalah kekasih Diandra. Tapi jangan lupa, tanpa bantuanku, kamu tidak bisa mendapatkan Diandra. Apakah kamu lupa akan hal itu?" ucap Anggara dengan suara yang sedikit meninggi.
"Gar, sudahlah, jangan marah lagi. Aku akan pergi sebentar keluar bersama Devan. Kamu jangan marah,devan kamu juga jangan marah ya, jangan ribut di sini " kataku pada Anggara dan devan, dengan diri ku berusaha melepaskan diri dari pelukan anggara.
"Tidak, kamu tetap di sini bersama yang lain. Dan kamu," tegas Anggara, menunjuk Devan, "ikut denganku."
Namun sebelum Anggara keluar dari ruangan, ia tiba-tiba berpaling ke Hendra, "Hendra, aku titip Dian kepadamu sebentar. Jaga dia. Aku butuh bicara sebentar dengan orang ini," ucap Anggara dengan nada yang tegas, sambil menarik Devan keluar dari ruangan.
"Kita ke ruang tunggu saja," ajak Hendra, mencoba meredakan ketegangan di antara kami. Kami mengangguk sebagai jawaban, menunggu dengan tegang di ruang tunggu.
Kami menunggu Anggara dengan cemas, hingga akhirnya dia tiba dengan penampilan yang agak berantakan. Dia langsung membenamkan dirinya di sofa kosong di sebelahku. Setelah beberapa saat terdiam, dia tiba-tiba berkata padaku.
"Coba lihat tangan mu yang tadi dipegang Devan," ucapnya, sambil memeriksa tangan yang kusodorkan padanya.
"Syukurlah tidak sebegitu merah seperti tadi," sahut Anggara sambil mengangguk.
"Jadi, Gar, bagaimana masalah antara kamu dan Devan?" tanya Alvero, mencoba meredakan ketegangan.
"Tidak usah dibahas sekarang, kita akan bicarakan nanti," jawab Anggara dengan nada serius.
"Eh hujan dah turun, kita gimana mau pulang nya ini," ucap Evelly.
"Ya, bagaimana kita pulang? Sudah jam 7 malam lagi ," tambahnya.
"Tapi tadi kelas kita menang menari dan bernyanyi, kan?" seru Cyvara, mencoba mengalihkan perhatian.
"Siapa ya, yang jadi penyanyi tadi? Alya kan?" goda Iastin pada Alya.
"Heh, Alya, berapa yang kamu dapat tadi?" tanya Jovancha penasaran.
"Belum dihitung, Cha. Nanti saja," jawab Alya santai.
"Baiklah, ayo pulang. Evelly, tolong kirim foto tadi ke grup kita," minta Cyvara pada Evelly.
"Oke, tapi sebelumnya, mungkin kita bisa makan malam dulu di restoran favoritku. Tempatnya enak," saran Alvero.
"Yuk, turun ke bawah dan langsung berangkat," ajak Iastin.
Kami akhirnya keluar dari gedung itu menuju parkiran. Saat kami tiba di sana, aku melihat beberapa adik kelas yang diam-diam memotret kami berdua belas , sementara yang lain dengan terang-terangan mengabadikan momen tersebut. Meskipun demikian, kami berdua belas hanya melanjutkan langkah ke mobil, menyalakan mesinnya, dan melaju meninggalkan gedung dalam hujan malam yang semakin deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...