Chapter 30

18 3 0
                                    

Setelah aku dan bayi Angkara bermain, tampaknya belum ada tanda-tanda bayi-bayi lain akan bangun. Aku mulai bertanya-tanya apakah semua bayi di sini tidur lama seperti ini. Apakah mereka tidak merasa lelah tidur terus-menerus? Pikiran itu melintas dalam benakku, namun segera ku lupakan dan kembali fokus bermain dengan Angkara.

Tiba-tiba, aku merasakan tepukan ringan di bahuku. Saat aku menoleh, kulihat Anggara dengan wajah basah oleh keringat.

“Ih, Gar, kenapa kamu di sini?” tanyaku, terkejut.

“Ya, cari kamu, lah,” jawab Anggara sambil mengelap keringat di dahinya.

“Sudah siap main futsal sama anak-anak yang lain?” tanyaku penasaran.

“Belum, mereka masih lanjut main,” jawabnya.

“Lalu, kamu kemari buat apa?” tanyaku lagi.

“Kan sudah dibilangin buat cariin kamu,” balas Anggara dengan nada kesal, sambil merebahkan diri di pangkuanku.

“Ih, Gar, kamu keringatan banget,” kataku, melihat keringat yang membasahi wajahnya.

“Iya, tapi keringatnya nggak kena kamu, Dian. Aku cuma tiduran di pangkuanmu kok,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ya udah, Gar. Capek kalau harus berdebat sama kamu,” ucapku dengan nada sedikit kesal. Di tengah perdebatan kami, tawa ceria bayi Angkara terdengar, seolah ikut senang melihat kami.

“Bayi siapa ini lucu banget?” tanya Anggara, mencoba menggendong Angkara. Aku langsung menepis tangannya dengan lembut.

“Jangan ganggu dia!” tegasku, meski dengan senyum, sambil melanjutkan bermain dengan bayi itu.

“Sakit, Dian, napa sih?” keluh Anggara, sambil memegangi tangannya.

“Kamu mau gendong bayi dengan tangan kotor dan wajah penuh keringat? Nanti bayinya bisa sakit,” jelasku dengan lembut namun tegas.

“Ya gimana dong? Aku cuma mau gendong bayi ini,” jawab Anggara, sedikit frustrasi.

“Coba cuci tangan dan muka di kamar mandi dulu,” saranku sambil menunjuk ke arah kamar mandi. Anggara segera menuju ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian kembali dengan tampang yang lebih segar.

“Dah, Dian. Tangan ku sudah bersih,” katanya dengan lega.

“Jadi, mau gendong bayi nya, kan?” tanyaku sambil tersenyum.

“jadi, tapi aku nggak tahu cara gendong bayi. Takutnya jatuh,” jawabnya dengan cemas.

“Kalau begitu, aku ajarin,” tawarku dengan nada lembut.

“Gak usah, Dian. Kamu aja yang gendong,” tolak Anggara dengan nada malas.

“Eh, tahu nggak, Gar? Nama bayi ini mirip sama nama kamu,” ucapku dengan nada penasaran.

“Serius? Nggak mungkin,” jawab Anggara, tidak percaya.

“Serius. Nama bayi ini Angkara Bayu Darmata,” kataku dengan tegas.

“Wah, nama kita hampir sama ya bayi, cuma beda huruf G dan K-nya,” kata Anggara dengan nada gemas, sambil mengelus pipi bayi itu.

“Baru percaya sekarang?” tanyaku, sedikit jengkel namun tetap tersenyum.

“Hehe, maaf, Dian. Gimana kalau kita foto bareng bayi ini?” tawar Anggara sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

“Yaudah, yuk,” jawabku setuju.

“Dekatan sedikit, Dian,” kata Anggara sambil menarikku ke sampingnya dan merangkulku dengan tangan satunya, sementara bayi Angkara ada di dalam gendonganku.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang