Setelah pulang dari tempat les, mataku langsung tertuju pada bingkisan yang tergantung di gerbang rumahku. Dengan hati penuh penasaran, aku segera mengambilnya dan membawanya masuk ke dalam. Langkahku cepat menuju kamarku, namun sebelum membukanya, aku merasa perlu untuk segar terlebih dahulu di kamar mandi.
Setelah mandi dan mengenakan piyama tidur, aku duduk di pinggir tempat tidur dengan bingkisan itu di pangkuanku. Dalam keheningan malam, saat aku hendak membukanya, ponselku berdering. Layar ponsel menunjukkan panggilan dari Devan. Aku menghela nafas, ragu untuk menjawab. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengabaikannya, ingin fokus pada apa yang ada di hadapanku.
Aku membuka bingkisan dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat selembar catatan dengan tulisan tangan Anggara yang begitu kusuka, "Aku sudah membelikan minuman dan roti kesukaanmu. Di makan ya." Hatiku tersentuh dan aku mengambil roti yang dibelikan Anggara. Ketika menggigit roti itu, rasanya seperti kembali pada saat kami bersama-sama memilih roti ini, meskipun kali ini aku harus melakukannya sendirian.
Saat aku tengah menikmati roti tersebut, ponselku kembali berbunyi. Ini kali kedua panggilan dari Devan. Aku hanya menatap layar ponsel tanpa memberikan respons. Aku ingin menenangkan diri di balkon kamarku, menatap gemerlap bintang di langit malam. Di sana, aku merenung tentang kompleksitas perasaanku terhadap Devan dan Anggara, serta segala yang terjadi di antara kami.
Dalam keheningan malam yang mendalam, aku sadar bahwa meskipun Devan mungkin mengawasiku dengan diam-diam, aku tidak terpengaruh lagi oleh kehadirannya. Aku telah memilih untuk mengejar kebahagiaanku sendiri, meski terkadang harus menghadapi perasaan campur aduk dan pertanyaan yang belum terjawab.
Pagi itu, cahaya mentari menyapa kedatangan hari perpisahan kami di kelas 12. Hatiku terasa berat, dipenuhi rasa sedih karena kami akan segera berpisah dengan teman-temanku yang telah menjadi bagian hidupku selama ini. Dengan langkah gugup, aku memasuki sekolah dan melihat teman-temanku telah berkumpul di dalam kelas. Aku menyambut mereka dengan senyum meskipun hatiku masih terasa pilu.
"Evelly, ini jaketmu," ucapku sambil memberikan jaket yang kudapatkan dari Evelly.
"Oh, jaketnya sudah sampai," katanya sambil menerimanya dengan senyuman hangat.
"Diandra, simpan jaketnya dulu. Kita harus menuju ke aula untuk doa pemberangkatan," ingat Alvero padaku dengan lembut.
"Aku hampir lupa, terima kasih sudah mengingatkanku," ucapku dengan rasa terima kasih.
Kami berjalan bersama menuju aula dengan perasaan campur aduk. Begitu masuk ke aula, aku terkesima melihat banyak siswa kelas dua belas yang telah berkumpul. Kami mencari tempat duduk dan merasakan keheningan yang mengisi ruangan saat doa pemberangkatan dimulai. Suasana itu begitu khidmat, dan aku merasa erat terhubung dengan teman-temanku dalam doa bersama yang penuh harapan dan keberkahan.
Setelah selesai dari aula, kami kembali ke kelas untuk menunggu acara perpisahan bersama yang akan segera dimulai. Di dalam kelas yang penuh kenangan, kami berbagi momen terakhir bersama dengan sentuhan haru dan kebersamaan yang tak terlupakan. Pada saat itulah aku menyadari betapa berharga dan spesialnya pengalaman bersama mereka, dan meskipun perpisahan itu tak terelakkan, kenangan dan ikatan persahabatan ini akan terus hidup dalam hati kami.
Tiba saatnya bagi kami untuk menghadiri acara terakhir di sekolah, di mana kami harus berbaris di lapangan bersama para guru. Ekspresi sedih tergambar jelas di wajah para siswa saat kami menerima ucapan perpisahan dari para pengajar yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan pendidikan kami. Setelah mereka selesai berbicara, kami membentuk lingkaran di tengah lapangan, bergandengan tangan dengan rasa kebersamaan yang mendalam namun juga diselimuti oleh kesedihan akan berpisah.
Acara berlanjut dengan semprotan air dari mobil pemadam kebakaran, yang memunculkan tawa dan kegembiraan dari sebagian besar siswa. Namun, hatiku terasa berat dan hampa di tengah riuhnya kegembiraan itu.
"Dian, ayo ikut bergabung," desak Evelly sambil menarik tanganku, mengajakku untuk bersatu kembali dengan teman-teman yang lain. Melihat Anggara dan teman-temannya begitu bahagia, aku merasa terpisah meskipun hadir di antara mereka. Meskipun begitu, aku memutuskan untuk mengikuti mereka, mencoba menikmati momen yang tersisa meskipun aku merasa jauh dari kebahagiaan yang mereka rasakan.
Perpisahan ini meninggalkan kesan yang mendalam dalam hati kami semua. Di tengah lapangan yang telah menjadi saksi perjalanan kami, kami merasakan perpaduan antara kegembiraan atas prestasi dan kesedihan akan kehilangan.
Tepat pukul 4 sore, acara perpisahan sekolah berakhir, dan kami berkumpul di rumah Evelly untuk merayakan momen terakhir bersama.
"Seru banget ya tadi," ucap Alya, senyumnya merefleksikan kegembiraan setelah acara.
"Iya, tapi aku juga sempat terharu," tambah Evelly, matanya masih sedikit berkaca-kaca.
"Itu wajar kok, Evelly. Kita semua pasti punya perasaan yang campur aduk hari ini," kata Jovancha, mencoba menenangkan suasana.
"Aku harap kita tetap bisa menjaga hubungan ini meskipun nanti kita berpisah," ucapku sambil menatap mereka dengan penuh harapan.
"Iya, Dian. Kita harus tetap saling mendukung dan mengingat momen-momen indah kita bersama," sahut Cyvara dengan tulus.
"Terima kasih, teman-teman. Kalian selalu ada untukku dan aku benar-benar berharap kita bisa terus menjadi sahabat selamanya," ucapku dengan suara yang tulus.
"Gak perlu berterima kasih, Dian. Itu yang sahabat lakukan," ujar Iastin dengan senyuman hangat.
"Betul sekali. Persahabatan itu tentang saling mendukung dan menghargai," tambah Jovancha dengan penuh keyakinan.
"Iya, aku juga merasa bersyukur punya kalian semua," kataku lagi, tersenyum lembut pada mereka.
"Boleh aku minta pelukan dari kalian?" tanya Iastin, wajahnya terlihat sedikit malu namun penuh kehangatan.
"Ayo, Ias. Gak perlu malu-malu," kata Cyvara sambil mengulurkan tangannya untuk merangkul Iastin.
Kami berlima pun saling merangkul dalam kehangatan, membiarkan momen itu mengalir sebagai penutup yang manis untuk perpisahan kami. Di dalam pelukan itu, terasa kebersamaan yang tak tergantikan dan rasa syukur atas hubungan persahabatan yang telah kami bangun selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...