Pagi itu, pelajaran dilaksanakan di luar kelas. Aku dan kelompokku duduk tidak jauh dari bangku Bu Hernita, dengan Anggara berada di kelompok yang sama. Devan, yang duduk beberapa meter dari kami, tampak gelisah, sering melirik ke arah kami. Meski kami duduk bersebelahan, Anggara dan aku tidak saling berbicara, menciptakan jarak yang aneh di antara kami.
Selama pengerjaan tugas Bu Hernita, kami terdiam tanpa kata. Anggara terlihat kesulitan melihat contoh gambar di ponselnya. Tiba-tiba, Iastin menyuruhku untuk pindah duduk, memindahkanku ke samping Anggara. Dengan canggung, aku duduk di sebelahnya. Aku melihat Anggara berjuang dengan ponselnya, lalu tanpa berpikir panjang, aku menawarkan bantuan untuk memegang ponselnya. Aku sempat ragu, namun Anggara malah meminta aku untuk mendekatkan ponsel ke hadapannya. Kami berdua tetap diam, terperangkap dalam kesunyian yang tak nyaman, hingga bel pulang sekolah berbunyi.
Saat aku berniat untuk kembali ke kelas dan membereskan barang-barang, aku melihat dari luar bahwa Anggara dan Devan tengah terlibat percakapan serius. Aku ingin mendekat untuk bergabung, tetapi tatapan Anggara yang penuh arti membuatku ragu. Ia melirikku dengan tatapan yang jelas meminta agar aku menjaga jarak. Merasakan ketegangan di udara, aku memilih untuk mundur, meninggalkan mereka dengan rasa campur aduk yang menyelimuti hati.
Saat Anggara dan Devan tengah berbicara, Devan tiba-tiba menarik tanganku dengan kasar keluar dari kelas. Tarikan itu membuatku meringis, dan aku bisa merasakan ketidaknyamanan dari kekuatan yang digunakan. Melihat ke arah Anggara, aku mendapati ekspresi marah di wajahnya. Namun, saat pandangan kami bertemu, ia hanya memberikan senyuman lembut dan mengucapkan pelan, "Semua akan baik-baik saja." Meskipun aku sudah jauh melangkah dari tempat itu, kata-katanya masih menggema dalam pikiranku.
Sejak peristiwa itu, hubungan kami semakin memburuk. Kami tidak pernah lagi berbicara, bahkan untuk sekadar bertukar pandangan. Rindu pada Anggara menggerogoti hatiku, terutama saat hari ini, kami mengadakan OSIS CUP terakhir di Sekolah Briwijaya. Aku yang dulu selalu berada di sisinya kini hanya bisa mengamatinya dari kejauhan. Anggara tampak lebih tampan dan bersemangat dari biasanya, terutama saat kelas kami meraih kemenangan melawan kelas lain. Melihatnya dari jauh, aku merasakan rasa kehilangan yang mendalam, menyesali jarak yang kini memisahkan kami.
POV ANGGARA
Di tengah riuhnya lapangan futsal, Diandra berdiri sendiri, memandang pertandingan dengan tatapan yang terasa berat dan penuh kesedihan yang tak terucapkan.aku, dari kejauhan, memperhatikan dengan hati yang terasa berdesir. Sebagai teman yang telah lama mengenal Diandra, ia merasa kehilangan akan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.
"Dia sedang memperhatikan pertandingan dari kejauhan," gumam ku, mencoba memahami perasaan yang tengah menghantui Diandra. Belakangan ini, hubungan ku agak merenggang. Diandra terlihat menjauh, terutama setelah keterlibatannya dengan Devan. Aku merasa jarang melihat lagi senyum manis yang selalu menghiasi wajah Diandra.
Dalam hati, Aku menyadari bahwa waktunya untuk berpisah semakin dekat. Aku akan segera berpisah dengan nya karena acara perpisahan di sekolah semakin dekat. Meskipun ingin mengejar Diandra yang sedang berjalan pergi dari lapangan, aku terhalang oleh teman-temannya yang menariknya untuk berfoto bersama.
Namun, aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk Diandra. Meskipun perasaannya rumit, aku yakin bahwa Devan akan menjaga dan melindungi Diandra dengan baik. "Semoga kau baik-baik saja, Diandra," ucap ku dalam hati, sambil merenungkan perasaan yang saling berbenturan di dalam diriku, mengenai kehilangan dan penerimaan bahwa perpisahan adalah bagian dari perjalanan hidup.
Setelah percakapan yang memilukan itu, hati kami terombang-ambing oleh gelombang emosi yang rumit. Diandra telah menghilang selama seminggu ini, dan kehadirannya begitu dirindukan oleh kami semua. Kami memikirkan kepergiannya dengan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam.
"aku merindukan Diandra" ucap evelly
"Iya, Sudah seminggu ini aku tidak melihatnya," ucap Alya dengan suara penuh kekhawatiran.
"Benar, aku juga heran. Dia tiba-tiba menghilang begitu saja," kata Alvero, mencoba mencari jawaban dari kami semua.
"Sepertinya dia tidak ingin bertemu atau bicara dengan kita," tambah Cyvara dengan nada sedih di suaranya.
" apakah diandra dan devan masih berpacaran " ucap hendra
Pertanyaan Hendra tentang hubungan antara Devan dan Diandra menambah tegangnya suasana. Aku merasa terombang-ambing, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku tidak tahu, Hendra," ucapku dengan lesu, mencoba menahan perasaan campur aduk di dalam diriku.
Perasaan rindu dan kekhawatiran melanda kami semua. Evelly dengan lesu mengungkapkan kerinduannya terhadap masa lalu yang ceria. Jovancha mengekspresikan kekecewaannya atas perubahan yang terjadi sejak Diandra dan Devan bersama.
"Sttt, jangan bicara seperti itu, Jov," kata Alvero dengan lembut, mencoba menenangkan suasana.
"Tapi memang benar, Al. Segalanya terasa berantakan sejak mereka berdua pacaran," sahut Iastin dengan nada penuh emosi.
Adithia mencoba menenangkan kami semua, meminta agar kami tidak larut dalam emosi. Namun, Jovancha tetap keras kepala, mengekspresikan ketidaksukaannya pada Devan sebelum pergi meninggalkan kami.
Setelah obrolan yang menguras emosi, aku memutuskan untuk pergi dari sekolah. Namun, aku memilih untuk melewati jalan di depan rumah Diandra. Hatiku berdebar ketika aku melihat Devan berdiri di sana, seolah sedang mengawasinya dari kejauhan. Aku memarkirkan motorku agak jauh dari pandangannya, diam-diam mengamati. Setelah beberapa saat, Devan akhirnya pergi.
Aku merasa campur aduk, terharu dan sedih. Dengan hati-hati, aku menggantungkan minuman dan makanan kesukaan Diandra di gerbang rumahnya, serta menulis pesan singkat untuknya. Aku berharap dia menemukan bingkisan itu dan tahu bahwa ada seseorang yang selalu memikirkannya. Setelah selesai, aku melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, meninggalkan rumah Diandra dengan perasaan campur aduk yang sulit disampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...