Hari-hari berlalu begitu cepat, dan kini kami sedang menghadapi ujian akhir untuk naik ke kelas 12. Hari ini adalah hari terakhir kami ujian. Setelah absen karena sakit, aku banyak ketinggalan pelajaran. Untungnya, teman-temanku sangat membantu menjelaskan materi yang tidak kupahami.
“Eh, kalian gak ada gitu rencana liburan apa ?” tanya Cyvara.
“ Ada sih, tapi kalian mau nya kemana, kalo aku sih mau aja, kalau yang lain juga mau,” jawab Adithia.
“yaudah kalo kalian mau liburan. Sekarang tentukan tempatnya supaya kita bisa siap-siap,” kata Anggara.
“Gimana kalau kita pergi ke pantai?” usul Alvero.
“Bagus itu. Kalian setuju gak?” tanya Hendra.
“kalo kami para cewek-cewek sih mau aja, tapi masa kita ke pantai cuma sehari? Gak seru,” keluh Alya.
“Kalau cuma sehari, baru juga sampai, sudah harus pulang lagi,” timpal Nicholas.
“Jadi, bagaimana?” tanya Alya lagi.
“Gini aja, di pantai yang akan kita tuju kan ada vila keluarga gue. Jadi, kita bisa nginap di sana,” tawar Alvero.
“Serius? Nanti nggak dimarahi, kan?” tanya Iastin.
“Serius, Ias. Kamu mau Kalau cuma lihat matahari terbenam dan langsung pulang gitu aja, itu kurang seru,” jawab Alvero.
“Jadi, kita sudah sepakat ke pantai, kan?” tanya Anggara.
“Sekarang, bagaimana dengan transportasinya?” tanyaku.
“Kita punya enam motor, tapi aku tidak merekomendasikan naik motor juga,” kata lionell.
“Gar, Al, kalian berdua punya mobil, kan? Kita bisa naik mobil saja. Aku juga akan bawa mobil, jadi kita tidak perlu sempit-sempitan,” usul Hendra.
“Oke, Hen. Kalau transportasi sudah beres, berarti semua sudah siap, kan?” kata Adithia.
“Ya, semua sudah siap,” jawab Anggara.
“Kalau begitu, ayo kita makan siang dulu. Aku lapar,” ajak Lionel.
“Iya, aku juga lapar banget. Pusing mikirin ujian ini,” kata Nicholas kesal.
“Iya, Nic. Ayo kita ke parkiran,” ajak Anggara.
Kami pun memutuskan untuk meninggalkan pekarangan sekolah dan menuju parkiran. Setelah tiba di sana, kami langsung berangkat mencari tempat makan siang. Di warung favorit kami, kami memesan makanan yang segera diantar oleh pelayan. Makan siang kami pun berlangsung dengan tenang, tanpa ada keributan.
Usai makan, kami duduk sejenak untuk berbincang.
"Dian, nanti temani aku ke panti asuhan lagi, ya?" tanya Iastin.
"Kenapa, Ias? Ada masalah di sana?" balasku.
"Enggak, Dian. Aku cuma ingin main-main saja dengan anak-anak di sana," jawab Iastin santai.
"Oh, baiklah," kataku sambil tersenyum.
"Tapi kita perlu membeli makanan untuk adik-adik itu," tambah Iastin.
"Setuju," jawabku.
"Kalian berdua mau ke panti asuhan ?" tanya Anggara.
"Iya, Gar. Mau ikut?" tanya Iastin.
"Jangan tanya lagi, pasti mau. Yang lain gimana?" tanya Anggara.
"Yuk, gue juga pengen main-main sama anak-anak di sana," kata Hendra.
"Kalau begitu, sebelum kita pergi, kita beli jajanan dulu ya buat anak-anak di sana," ucap Iastin kepada kami semua.
"Oke, Iastin, kita beli yang banyak nanti," ucap Alya dengan semangat yang menular.
"Setuju. Ayo berangkat sekarang, supaya kita tidak terlalu lama sampai di sana," balas Alvero.
Kami pun sepakat untuk menuju panti asuhan, tetapi sebelum itu, kami mampir ke sebuah Toko makanan ringan untuk membeli jajanan bagi anak-anak di panti. Setelah berbelanja, kami melanjutkan perjalanan kami dengan penuh antusiasme. Sesampainya di panti, kami disambut oleh pemandangan anak-anak berusia 8 hingga 12 tahun yang bermain ceria di halaman luas. Suasana hangat dan ramah langsung terasa.
Kami mulai dengan membagikan jajanan yang kami bawa. Senyum dan tawa anak-anak mencerminkan kebahagiaan mereka, dan aku bisa merasakan betapa berartinya kedatangan kami bagi mereka. Meskipun panti ini tampak terawat dan kebutuhan anak-anaknya tampak tercukupi, aku membayangkan bahwa perhatian dan dukungan kekasih Iastin mungkin turut berperan besar.
Setelah selesai membagikan jajanan, kami membagi diri untuk bermain dengan anak-anak. Anggara dan teman-teman lain memilih bermain bola di lapangan, sementara teman-temanku yang lain bermain dengan anak perempuan. Aku memilih untuk mengunjungi ruang bayi dan menghabiskan waktu dengan anak-anak kecil di sana.
Aku melangkah ke dalam ruangan bayi dan melihat sebagian besar dari mereka tidur nyenyak. Namun, ada satu bayi yang terjaga. Aku mendekatinya dengan lembut dan memperhatikan bayi yang tampaknya baru berusia tujuh bulan. Di samping box bayi, terlihat selembar kertas yang terpasang menandakan identitas sibayi dalam kertas itu. Dengan hati-hati, aku menggendong bayi itu. Saat aku menggendongnya, pengurus panti masuk ke ruangan.
“Oh, ternyata kamu. Kirain siapa tadi,” ucap Bu Panti dengan senyum ramah.
“Iya, Bu. Saya teman Iastin dan Askien,” jawabku.
“Ah, begitu. Sini, biar Ibu yang pegang. Nanti kamu bisa capek, lho,” kata Bu Panti sambil berusaha mengambil bayi itu dari tanganku.
“Tidak usah, Bu. Aku ingin menggendongnya. Boleh tahu, mengapa dia ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Kedua orang tua bayi ini meninggal dalam kecelakaan, dek. Sayangnya, tidak ada yang mau mengurusnya,” jelas Bu Panti dengan nada sedih.
“Begitu, ya. Kasihan sekali,” ucapku sambil lembut mengelus punggung bayi itu.
" kalo boleh tahu, siapa nama bayi ini bu " tanya ku pada bu panti
" Nama nya Angkara Bayu Darmata " jawab bu panti pada ku.
" bagus ya, nama nya,cocok buat bayi yang imut ini " ucap ku pada bu panti
“Iya, dek. Kalau begitu, Ibu permisi dulu ya. Ada urusan yang harus Ibu selesaikan,” pamit Bu Panti.
Aku menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. Setelah Bu Panti keluar, aku punterus bermain dengan bayi tersebut, menunggu bayi yang lain bangun dan berharap bisa memberikan sedikit kebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...