Setelah selesai dari kantin,kami pun memutuskan untuk kembali ke kelas, kami berjalan bersama menuju kelas setelah selesai makan di kantin. Namun, saat aku keluar dari kantin, aku memutuskan untuk singgah sebentar di toilet sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah selesai, aku melanjutkan langkahku menuju kelas.
Namun, saat aku hampir sampai di kelas, aku melihat Anggara dan Devan sedang berbicara dengan serius. Aku bisa melihat wajah Anggara yang terlihat marah, namun dia tampak menahan amarahnya. Setelah mereka selesai berbicara, Devan langsung pergi meninggalkan Anggara. Aku pun bergegas mendekati Anggara, namun sayangnya dia sudah memilih untuk pergi terlebih dahulu.
Aku kembali melanjutkan langkahku menuju kelas, namun pikiranku masih terpaku pada pertemuan tadi antara Anggara dan Devan. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran dan ingin segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Namun, aku memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Anggara nanti setelah pelajaran selesai.
Evelly menatapku dengan rasa ingin tahu. “Dian, lu dari mana aja?”
“Tadi dari toilet,” jawabku sambil memeriksa tas yang sudah siap di tanganku.
Jovancha mendekat dan menyerahkan tas itu padaku. “Ini tasmu, ayo kita pergi.”
“Pergi kemana?” tanyaku, belum sepenuhnya mengerti.
“Ke rumahnya Iastin,” jawab Lionel sambil melirik Jovancha dengan penuh pengertian.
“Ya sudah, ayo berangkat,” kataku sambil mengangguk.
Selama perjalanan, pikiranku melayang pada pertemuan antara Anggara dan Devan. Aku penasaran dengan apa yang Devan katakan hingga membuat Anggara marah. Ketika akhirnya kami tiba di rumah Iastin, kami segera memarkir motor di halaman depan.
Nicholas menghela napas dengan lega. “Akhirnya sampai juga. Panas banget, sumpah.”
“Ngomong-ngomong, beli makanan sana kalian, biar ada yang bisa dimakan di sini,” Adithia menyarankan.
“Lu aja yang beli,” jawab Lionel sambil merebahkan diri di karpet rumah Iastin.
“Kalau mau numpang tidur, di rumah masing-masing aja,” balas Jovancha dengan nada sarkastis.
“Capek, Cha,” Nicholas merespons sambil mengeluh.
“Lemah banget lu bertiga,” ucap Alvero dengan sinis.
“Anggara sama Hendra kemana?” tanya Alya, penasaran.
“Mereka lagi sibuk mempersiapkan diri untuk tanding. Lagian, jam 4 nanti mereka akan berangkat ke Kota Y,” jelas Alvero.
“Lah, kenapa gak bilang sama kita? Yuk, kita ikut antar mereka!” Cyvara segera menyela dengan semangat.
“Lu mau ikut ngantar sampai ke Kota Y gitu? Lu aja yang pergi sendiri,” sindir Nicholas dengan nada lelah.
“Enggak, maksud gue cuma ngantar ke stasiun aja,” Cyvara mencoba menjelaskan.
“Ya udah, yuk. Mereka sudah mau berangkat, dibilang Hendra,” kata Alvero sambil berdiri dari tempat duduknya, siap untuk berangkat.
Akhirnya, kami memutuskan untuk berangkat dan mengantar Hendra serta Anggara menuju pertandingan mereka di Kota Y. Sesampainya di stasiun kereta api, suasana sudah mulai ramai. Kereta yang akan membawa mereka berangkat sudah siap di peron, dan kami langsung menuju tempat mereka berdiri bersama tim mereka.
Cyvara tidak bisa menahan antusiasmenya. Dia melambai-lambaikan tangan dan berteriak, “Anggara! Hendra!”
Lionel menatapnya dengan sedikit kesal. “Jangan teriak begitu, Va. Lu gak capek?”
“Enggak,” jawab Cyvara singkat, tetap dengan semangatnya yang tak pudar.
Evelly kemudian mendekat dan menyapa dengan tulus, “Semangat ya, Gar. Hendra, semangat juga untuk tim kalian!”
Anggara membalas dengan senyum lebar, “Yah, Vel, makasih banyak.”
“Jaga diri di jalan, ya,” tambah Alvero.
“Siap, Al. Makasih juga,” sahut Hendra sambil tersenyum.
Ketika Anggara dan Hendra mulai memasuki kereta, Anggara tiba-tiba berhenti dan melangkah kembali ke arahku. Dengan tatapan lembut, dia memelukku erat. “Tunggu aku ya,” katanya dengan nada penuh arti, sebelum melepaskan pelukan dan berlari kembali ke kereta.
Kami semua menyaksikan kereta mulai bergerak, perlahan menjauh dari stasiun. Setelah Anggara dan Hendra benar-benar masuk ke dalam kereta dan gerbong itu menghilang dari pandangan, kami menghela napas panjang.
Dengan rasa campur aduk antara bangga dan rindu, kami akhirnya meninggalkan stasiun dan pulang ke rumah masing-masing. Suasana hati kami terasa penuh, dengan harapan dan doa untuk perjalanan yang sukses bagi Anggara dan Hendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...