Pagi itu, suasana riuh rendah di sekitar saat aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Hari Senin, hari yang selalu ditandai dengan upacara bendera di sekolah ku. Aku keluar dari rumah dengan cepat, tanpa sempat untuk sarapan.
Di sekolah, suasana riuh dengan siswa-siswa yang berdatangan. Aku mengucapkan perpisahan pada ayah dan berlari menuju kelas. Di dalam ruang kelas, teman-temanku sudah menanti dengan penuh semangat, siap untuk menuju lapangan.
"Lu kenapa, Dian, kok buru-buru?" ucap Iastin sambil menatapku heran.
"Iya, Ias, takut terlambat," sahutku dengan napas tersengal setelah berlari.
"Ya ampun, Dian, masih ada 7 menit lagi, lho," tambah Adithia sambil menggelengkan kepala.
"Aku kan takut telat, Dit," jawabku singkat pada Adithia.
"Yaudah, yuk kita jalan ke lapangan, nanti ketua kelas kalian ngomel-ngomel lagi," ucap Nicholas sambil mengajak kami bergerak.
Kami pun berjalan menuju lapangan. Pandanganku langsung tertuju pada Anggara yang sedang memimpin barisan murid-murid dari kelas kami. Ia memberikan kode untuk kami berjalan lebih cepat. Aku berusaha mengejar ketertinggalan, namun Anggara meminta aku maju ke depan dan berdiri di sampingnya.
"Lah, Gar, aku lebih nyaman di baris belakang daripada di depan," ucapku pada Anggara dengan sedikit kebingungan.
"Gak usah, di belakang dekat aku aja. Di situ banyak guru yang bisa mengawasi," jawabnya dengan santai .
"Serah deh," ucapku dengan nada malas, merasa sedikit frustrasi karena tidak didengar.
Selama upacara berlangsung, kepala ku mulai terasa pusing. Awalnya aku mencoba menahannya, namun rasa pusingku semakin memburuk. Perlahan-lahan, aku memegang tangan Anggara untuk menjaga keseimbangan. Aku merasa dia juga memegang tanganku dengan erat, dan berkata.
"Ehe, Dian, kamu nggak apa-apa?" ucap Anggara dengan nada panik.
"Kepalaku pusing banget, Gar," ucapku pada Anggara, merasakan dia segera menggendongku keluar dari barisan kelas kami.
"Gar, panggil PMR aja, nggak perlu gendong aku," ucapku dengan suara lemas.
"Nggak usah, nanti kita langsung ke UKS. Coba kamu pejamkan mata biar nggak terlalu pusing," jawabnya, mencoba menenangkanku.
Namun, aku tak mampu lagi merespons. Kepala ku terasa seperti akan meledak, pandangan ku juga mulai kabur, dan aku pun mulai kehilangan kesadaran ku.
POV Anggara:
Saat itu, aku merasa gelisah karena Diandra tidak memberi respons ketika aku memanggilnya, dan keadaannya membuatku semakin panik. Aku bergegas menuju UKS dengan langkah cepat, di mana aku disambut oleh petugas dalam
uks itu yang langsung mengarahkanku masuk untuk menempatkan Diandra. Awal aku disuruh untuk kembali ke barisan namun aku menolak keras untuk kembali dan memilih untuk tetap menunggu di luar UKS itu.Beberapa menit berlalu, akhirnya petugas itu memanggilku masuk untuk melihat Diandra. Wajahnya terlihat sangat pucat. Ternyata, dia sudah pingsan saat aku menggendongnya ke UKS. Aku duduk di sampingnya, mengelus tangan Diandra dengan lembut, berharap dia segera sadar.
Sambil terus mengelus tangannya dengan penuh perasaan, petugas yang bertugas di UKS itu tiba-tiba menyapaku.
"Kemungkinan Dia belum sarapan, dan menurut saya, Dia sepertinya memiliki riwayat asam lampung. Itulah yang mungkin membuatnya pusing dan pingsan," ucap ibu itu padaku dengan nada khawatir.
"Begitu ya, Bu. Kira-kira Dia akan sadar kapan?" tanyaku cemas pada petugas.
"Mungkin sekitar satu jam ke depan. Tapi jika Dia belum juga sadar, saya akan segera menghubungi orang tuanya," jawab ibu itu dengan penuh perhatian.
"Bu, saya titip Diandra ya. Saya akan pergi ke kantin dulu untuk membelikan makanan supaya saat Dia bangun bisa langsung makan," ucapku dengan tekad.
"Baiklah, kalau begitu. Dari kelas mana kalian berdua dan siapa namamu?" tanya ibu itu dengan ramah.
"Kami berdua dari kelas 11 IPS 5, Bu. Saya Anggara Alexsander, dan teman saya bernama Diandra Cristin," jawabku dengan hormat.
"Baiklah, Anggara. Kamu bisa pergi, saya akan menjaga Diandra di sini," ucap ibu itu sambil mengangguk. Aku pun melangkah pergi dari UKS dengan hati yang cemas namun berusaha tenang.
Sesampai di kantin, aku segera memesan bubur ayam yang kupilih dengan harapan bisa disukai Diandra. Setelah memesan dan membayar, aku mendengar lonceng yang menandakan berakhirnya upacara, diikuti dengan kerumunan murid yang kembali ke kelas masing-masing. Aku segera berlari kembali ke UKS dengan hati yang gelisah, membawa harapan bahwa makanan ini dapat membantu Diandra saat ia sadar nanti.
"Bu, ini bubur untuk Diandra. Aku harus masuk ke kelas karena kami ada tugas yang harus dikumpulkan nanti," ucapku pada petugas di UKS dengan nada tegas namun sopan.
"Baiklah, yang rajin ya kamu belajar nya," ucap petugas itu sambil tersenyum saat aku bergerak menuju kelas. Sesampai di kelas, Bu Karin sudah memulai pembelajaran. Aku mengetuk pintu dengan lembut agar Bu Karin mendengar.
"Anggara, kamu dari mana saja?" tanya Bu Karin begitu mendengar ketukan pintu.
"Aku dari UKS, Bu. Mengantar Diandra yang tiba-tiba sakit tadi," jawabku dengan jujur.
"Oh, baiklah. Kamu bisa masuk," ucap Bu Karin dengan penuh pengertian. Aku melangkah masuk ke dalam kelas, tetapi sebelum duduk, aku melihat raut wajah teman-temanku yang penuh pertanyaan tentang kondisi Diandra. Meskipun ingin memberi tahu mereka, aku tidak bisa berbicara saat Bu Karin sedang mengajar. Aku hanya mengirimkan senyuman untuk menenangkan mereka.
Kemudian, aku duduk di tempatku dan fokus pada pembelajaran yang disampaikan Bu Karin kepada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Roman pour AdolescentsKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...