Chapter 47

11 3 0
                                    

Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar dan mengganti pakaian. Setelah itu, aku duduk dengan penuh antusias di meja untuk membuka kado-kado yang telah diberikan oleh keluarga dan teman-temanku. Saat semua kado telah terbuka, perhatian ku tertuju pada satu kado terakhir yang tampaknya berasal dari adik kelas. Dengan rasa penasaran, aku membuka kado tersebut dan menemukan sebuah lukisan wajahku di dalamnya, lengkap dengan tanggal yang tertulis di pojok.

Sambil meneliti lukisan itu, aku menemukan sebuah buket bunga yang terletak di sampingnya. Di dalam buket tersebut terdapat selembar kertas kecil yang bertuliskan, “Selamat ulang tahun, bayi besar.” Pesan itu membuatku segera mengidentifikasi siapa pengirimnya—Anggara. Aku mulai bertanya-tanya mengapa Anggara memilih untuk tidak memberikannya langsung. Apa yang membuatnya memutuskan untuk mengirimkan kado ini dengan cara yang tidak biasa?.

Dengan hari-hari berlalu dengan cepat, dan kami telah menyelesaikan ujian akhir kelas 12. Kini, perhatian ku beralih sepenuhnya pada persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi. Meskipun aku memahami sikap Anggara yang kini memilih untuk menjauh, aku tetap harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan kami telah berubah. Meskipun jarak dan perbedaan sikap memisahkan kami, aku bertekad untuk terus maju, fokus pada tujuan masa depanku dan menerima kenyataan dengan kepala tegak.

“Jangan terus-menerus belajar, Dian,” kata Lionel dengan nada cemas saat aku masih tenggelam dalam buku-buku pelajaran.

“Kenapa, Nel? Bukankah belajar itu bagus?” jawabku, merasa bingung dengan perhatiannya.

“Memang bagus, tapi kamu harus memberi dirimu istirahat juga. Lagi pula, kita sudah tidak ada materi baru. Materi yang perlu dipelajari sudah habis,” jelas Lionel dengan penuh pengertian.

“Iya, Dian. Kita hanya tinggal menunggu ujian kelulusan,” tambah Nicholas, berusaha menenangkan.

“Kalo gitu, yuk nonton pertandingan futsal. Pertandingannya bakal mulai sebentar lagi,” ajak Iastin dengan semangat, mencoba mengalihkan perhatian.

“Ya, kalian pergi dulu. Aku akan nyusul nanti,” ucapku, sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas.

“Tapi jangan lupa, besok kita ada tugas akhir dari Bu Hernita,” ingat Evelly, memperingatkan dengan nada serius.

“Eh, iya. Bukannya materi pembelajaran sudah selesai?” tanya Hendra, tampak bingung.

“Benar, tapi Bu Hernita kasih tugas akhir untuk memperbaiki nilai geografi kita. Cuma untuk besok,” jelas Jovancha.

“Oh, gitu ya. Yaudah deh,” kata Hendra, akhirnya mengerti.

“Tapi itu tugas berkelompok, kan?” tanya Adithia, memastikan.

“Ya, kelompoknya sudah dibagi kok,” jawab Alya, menegaskan.

“Kalau gitu, ayo kita ke lapangan futsal. Nanti kelas kita yang tanding,” ajak Hendra dengan penuh semangat.

“Yaudah, kalian duluan saja. Aku nyusul,” ucapku, sambil menyelesaikan persiapan dan memasukkan buku ke dalam tas.

“Enggak, kita tunggu di sini saja,” kata Iastin dengan tegas.

“Enggak usah, Ias. Aku nanti nyusul ke sana,” jawabku, tetap pada pendirianku.

“Yaudah, kami tunggu di sana,” ucap Adithia, ku balas dengan anggukan kepala.

Setelah mereka pergi menuju lapangan futsal, aku menyelesaikan semua persiapan dan bergegas untuk menyusul. Meskipun hari-hari ini sibuk dengan persiapan ujian kelulusan, aku tetap berusaha menemukan waktu untuk bersantai dan menikmati kebersamaan dengan teman-temanku.

Setelah teman-temanku beranjak menuju lapangan futsal, aku memutuskan untuk meninggalkan kelas dan melangkah ke kantin. Aku membeli sepotong roti dan sebuah minuman, lalu melanjutkan perjalanan menuju lapangan futsal. Ketika tiba di sana, aku melihat teman-temanku bersorak gembira, memberikan dukungan penuh untuk tim kelas kami. Dari kejauhan, aku mengamati Anggara yang tampak berusaha keras untuk memasukkan bola ke gawang lawan.

Setelah beberapa menit, aku merasa perlu untuk menjauh sejenak dari keramaian. Aku meninggalkan lapangan dan menuju ke belakang sekolah, melewati tembok pembatas yang mengarah ke taman kecil yang sering aku kunjungi bersama Anggara. Di tengah rerumbutan hijau yang lembut, aku duduk dengan tatapan kosong ke depan, dikelilingi oleh ketenangan yang sejenak mengalihkan pikiranku dari segala kesibukan.

Saat jarum jam menunjukkan pukul dua siang, aku memutuskan untuk kembali ke kelas mengambil tas. Sebelum masuk, aku memeriksa ponselku dan melihat sejumlah notifikasi yang masuk—telepon dari teman-temanku dan pesan dari Devan. Aku menjawab panggilan dari beberapa teman dan membalas pesan Evelly yang menanyakan keberadaanku, sementara suasana tenang di taman masih menyisakan rasa damai dalam diriku.

Sesampainya di kelas, aku disambut oleh tatapan penasaran teman-temanku.

“Dian, dari mana aja?” tanya Iastin, suaranya penuh rasa ingin tahu.

“Ya, kami udah nungguin dari tadi,” sambung Jovancha dengan nada cemas.

“Aku tadi di ruang guru,” jawabku, berusaha terdengar meyakinkan meski ada sedikit kebohongan di dalamnya.

“Ngapain di ruang guru?” tanya Lionel, menatapku tajam.

“Mau ngomongin tugas untuk besok sama Bu Hernita,” ucapku, memberikan alasan yang tampaknya logis.

“Oh, gitu. Yaudah, yuk kita kumpul di rumah Lionel,” kata Alvero, langsung mengarahkan perhatian ke rencana berikutnya.

“Ya udah, ayo,” sahut Lionel dengan semangat.

“Kalian duluan aja ya. Aku mau pergi les,” ucapku sambil mengambil tas dari kursi.

“Lah, kenapa harus gitu?” tanya Adithia, heran dengan keputusan mendadak itu.

“Aku ada jadwal les, Dit. Nanti kalau pulang les, aku usahakan mampir ke rumah Lionel, tapi aku nggak bisa janji,” jelasku, berusaha memberi penjelasan yang masuk akal.

“Yaudah lah, kalau gitu. Nanti kalau udah pulang dari les, langsung aja ke rumah gue,” kata Lionel, menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.

“Yaudah, aku pergi dulu ya,” ucapku sambil melambaikan tangan ke arah mereka, lalu melangkah keluar dari kelas dengan langkah cepat.

Setibanya di gerbang sekolah, aku memutuskan untuk menunggu jemputan. Lima menit kemudian, mobil yang menjemputku akhirnya muncul. Saat itu, Anggara juga keluar dari gerbang, mengendarai motornya. Kami saling bertatap sejenak, namun Anggara segera mengalihkan pandangannya dan melaju pergi tanpa sepatah kata pun.

Tatapan terakhirnya yang dingin dan sikapnya yang menjauh membuatku merasa terluka. Aku menghela napas berat dan melangkah masuk ke dalam mobil, merasakan kesedihan yang mendalam. Sambil mobil bergerak menjauh, pikiranku terus terbenam dalam kebingungan dan perasaan campur aduk tentang Anggara, yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau.



 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang