Liburan panjang yang akhirnya berakhir membawaku kembali ke sekolah dengan perasaan yang campur aduk—antara semangat, cemas, dan sedikit nostalgia. Hari ini, langkahku terasa lebih ringan ketika aku menyusuri jalan setapak menuju gerbang sekolah. Kelas 11, sebuah fase baru dalam hidup yang siap kusambut dengan segala dinamika dan tantangannya. Udara pagi menyapa lembut, seakan ikut merayakan kembalinya aku ke rutinitas yang selama ini sempat terhenti.
Ketika aku sampai di depan gerbang sekolah, mataku langsung menangkap sosok Jovancha yang berdiri di bawah naungan pohon flamboyan, bersama Evelly di sisinya. Mereka tampak akrab, bercanda ringan sambil sesekali tertawa kecil. Aku segera menghampiri mereka dengan senyum yang sudah kusiapkan sejak tadi.
"Pagi, Cha. Selamat pagi, Evelly. Kalian berdua berangkat bareng, ya?" sapaku dengan nada ceria, berharap bisa menangkap semangat pagi mereka.
"Pagi juga, Dian!" Jovancha dan Evelly serentak menjawab, senyum mereka secerah matahari yang mulai naik di langit.
"Tapi sebenarnya kami nggak berangkat bareng, Dian. Kita cuma ketemu di jalan tadi," Evelly menjelaskan dengan nada ringan, seolah hal itu bukan sesuatu yang perlu diperjelas.
"Oh, gitu," jawabku sambil mengangguk paham. "Ya udah, yuk kita masuk ke kelas."
Dengan langkah ringan, mereka mengikuti aku menyusuri koridor sekolah yang masih terasa asing setelah sekian lama ditinggalkan. Bangunan sekolah yang dulu terasa begitu familiar kini seolah menyimpan aura baru, penuh dengan janji cerita yang siap untuk dituliskan.
Begitu tiba di kelas, aku mulai mencari bangku yang terasa nyaman dan cocok untuk menghabiskan tahun ajaran ini. Namun, seperti biasa, rasa ragu tiba-tiba menyelinap. Dengan siapa aku akan sebangku? Setelah mengedarkan pandangan dan menimbang beberapa pilihan, aku akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Jovancha, berharap mendapat jawaban yang bisa membantuku mengambil keputusan.
"Cha, kamu udah janjian sama siapa buat sebangku?" tanyaku, berusaha agar nada suaraku terdengar santai meski ada sedikit kecemasan yang tak bisa kututupi.
Jovancha tersenyum, sebuah senyum yang penuh permintaan maaf. "Aku udah janjian sama Fina, Dian. Maaf ya, aku lupa bilang."
"Oh, gitu ya," jawabku, mencoba menutupi sedikit rasa kecewa yang muncul tak terduga. "Kalau gitu, aku sebangku sama siapa, dong?"
Mendengar itu, Jovancha tak butuh waktu lama untuk memberikan solusi. "Evelly kan belum punya teman sebangku. Gimana kalau kamu duduk sama dia aja?"
Aku menoleh ke arah Evelly, yang tampak sedikit bingung mencari teman sebangku. Tanpa ragu, aku pun langsung menawarkan, "Vel, ayo kita sebangku aja, gimana?"
Evelly menatapku sejenak, seolah memastikan bahwa ajakan itu benar-benar tulus. Lalu senyumnya mengembang, tulus dan hangat. "Eh, yaudah deh, kita sebangku aja," jawabnya senang.
Senyum lega terlukis di wajahku saat aku duduk di samping Evelly, merasa puas karena akhirnya menemukan teman sebangku yang pas. Rasanya seolah sebuah beban yang sempat menggantung kini telah lenyap, digantikan oleh kenyamanan yang perlahan tumbuh.
Tak lama setelah kami duduk, lonceng sekolah berdentang, menggema di seluruh penjuru ruangan, menandakan bahwa jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Namun, matahari belum sepenuhnya muncul, begitu juga Anggara, yang biasanya selalu tiba tepat waktu. Kelas mulai hening ketika Bu Karin, guru wali kelas yang terkenal tegas namun penuh perhatian, masuk ke ruangan. Murid-murid segera diam, siap mendengarkan instruksi pertama dari wali kelas baru mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...