Chapter 9

19 7 0
                                    

Pagi itu mendung. Awan kelabu menggantung rendah, seakan menambah beban pada langkahku yang sudah terasa berat sejak bangun tidur. Suara halus ibuku memecah kesunyian di luar kamar, seperti cahaya kecil yang menembus kepadatan awan gelap.

“Dian, sayang, ayo keluar dulu. Sarapan, baru berangkat sekolah,” serunya dengan lembut, terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk dapur yang mulai ramai.

“Iya, Ma, aku segera keluar,” jawabku, meski suaraku tersendat, seperti berusaha keras menahan kebisingan perasaan yang tak kunjung reda sejak pagi.

Tak lama kemudian, adikku yang masih kecil berteriak dari ujung lorong, menambah gaduh pagi ini. “Kenapa lama banget sih keluar dari kamar, Kak Dian?” Ejekannya terdengar jelas, suaranya memecah kepenatan yang menggantung di kepalaku.

Sambil menarik napas panjang, aku akhirnya menyeret langkahku keluar dari kamar, menuju meja makan yang sudah ramai oleh anggota keluarga. Kehangatan khas pagi di rumah kami memang selalu terasa, meskipun pagi ini aku lebih ingin menghindarinya.

“Oh, baiklah, aku pergi dulu ya, Ma, Pa. Ada kerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” kata kakakku buru-buru sambil menyambar tasnya dan melangkah keluar pintu.

“Hati-hati di jalan, Nak,” sahut Papa sambil melirik ke arahku. “Dian, kamu nanti berangkat sama Papa, ya?” tambahnya dengan suara penuh kehangatan.

“Iya, Pa,” jawabku cepat, berusaha tak menunjukkan keraguan yang sempat menyelinap.

Aku menyelesaikan sarapanku dengan cepat, lalu bersiap untuk berangkat. “Aku pergi dulu, Ma,” ucapku kepada Mama yang berdiri di ambang pintu dapur, memberikan senyuman yang selalu menenangkanku.

Saat aku dan Papa keluar rumah, langkah kami terasa dipenuhi dengan harapan yang menggantung di udara. Mama mengantar kami sampai ke depan pintu, dengan peringatan khasnya. “Jaga dirimu baik-baik di sekolah, ya, Dian. Papa, hati-hati mengemudi,” katanya lembut.

Perjalanan menuju sekolah terasa seperti rutinitas yang tak berujung, namun pikiranku sibuk berlarian ke segala arah. Sesampainya di sekolah, suasana sudah ramai. Siswa-siswa berlarian di lorong, tertawa dan bercanda, seolah tak ada beban di dunia. Aku turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Papa sebelum melangkah masuk.

Lonceng sekolah berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran. Di dalam kelas, suasana masih riuh, meski perlahan mulai mereda ketika Bu Karin masuk dengan langkah tegas.

“Baiklah, anak-anak,” ucapnya dengan nada serius yang langsung membuat seluruh kelas terdiam. “Kali ini kita akan membentuk kelompok untuk tugas. Setiap kelompok terdiri dari dua belas orang, dan tugas akan saya bagikan melalui grup kelas. Harap perhatikan.”

Aku mendengarkan dengan seksama, meski pikiranku melayang-layang. “Untuk kelompok terakhir, anggotanya adalah Anggara, Diandra, Nicholas, Evelly, Jovancha, Alvero, Lionel, Adithia, Hendra, Iastin, Alya, dan Cyrava,” lanjut Bu Karin, tatapannya menyapu kami satu per satu.

Aku bertukar pandang dengan teman-temanku, menyadari bahwa kami berada di kelompok yang sama. Tiba-tiba, suara ceria Cyvara mengagetkanku dari samping.

“Dian, bagaimana dengan kelompok kita?” tanyanya dengan senyum lebar, penuh antusias.

Aku tersenyum kecil, meski masih merasa sedikit terkejut. “Astaga, Vara, kamu bikin kaget aja. Kita bisa bahas nanti setelah pulang sekolah, ya.”

“Baiklah!” jawabnya dengan semangat. “Eh, Alya, mau ke mana?” teriaknya lagi, suaranya penuh canda, mengejar Alya yang sudah melangkah keluar kelas.

Alya menoleh sambil tersenyum tipis. “Ke kamar mandi. Mau ikut?”

“Yuk!” Vara melompat kecil, berlari mengikuti Alya, meninggalkan kelas yang mulai sunyi seiring pelajaran berjalan.

Di sela keramaian, Anggara tiba-tiba mendekat. “Hei, Dian, bagaimana kalau kita cek lokasi untuk tugas kelompok nanti?”

“Iya, bisa saja,” jawabku sambil berpikir. “Tapi mungkin nanti saja setelah pulang sekolah.”

“Enggak usah tunggu pulang. Gimana kalau pas pelajaran Sosiologi aja? Bu Siti kan nggak masuk hari ini,” usul Iastin dari belakang kami, nadanya tenang namun pasti.

Aku menoleh dengan kening berkerut. “Kok bisa tahu, Ias?”

Dia mengangkat bahu ringan. “Tadi pagi Ibu itu bilang ke aku. Tugasnya juga udah dibagi, tapi kita harus serahkan Sabtu nanti.”

“Baiklah, kalau begitu. Kita bisa bahas sekarang,” gumamku, meski pikiranku masih sedikit berkabut.

Percakapan di kelas terus mengalir, suara teman-temanku menjadi latar belakang yang samar di telingaku. Kami mulai membagi peran dalam kelompok, mendiskusikan detail tugas, sambil bercanda ringan untuk mengusir rasa bosan. Vara, seperti biasa, mengusulkan dengan penuh semangat. “Bagaimana kalau Anggara jadi ketua, dan Diandra jadi sekretaris?”

Aku terdiam sejenak. Mata teman-teman yang menoleh ke arahku membuatku merasa sedikit canggung, namun aku hanya mengangguk, menerima peran itu dengan senyuman tipis.

“Boleh juga,” Lionel menyahut dengan nada mendukung, menambah riuh suasana kelas.

Semangat kelompok kami perlahan tumbuh. Meski tugas di depan mata tampak menantang, kehangatan interaksi di antara kami membuatnya terasa lebih mudah. Di balik dinamika kelas yang terus bergulir, ada perasaan bahwa kami semua, dalam perjalanan ini, sedang menuju sesuatu yang lebih besar—bukan hanya sekadar tugas sekolah, tapi juga ikatan yang semakin erat di antara kami.

 ANGGARA ALEXSANDER ( End ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang