Beberapa bulan telah berlalu sejak percakapan kami yang mendalam, namun entah mengapa sikap Anggara mulai berubah padaku. Dia lebih sering berkumpul dengan Kristina, menjauh dari aku dan teman-teman lainnya. Rasa sedih mulai merayap di hatiku.
"Dian, jangan terlalu sering melamun, nanti Bu Rita marah," ucap Lionel yang kini duduk sebangku denganku.
"Iya, Nel," jawabku singkat, berusaha memfokuskan perhatian pada pelajaran meskipun pikiranku melayang ke perubahan sikap Anggara.
"Ehe, sudah siapkan semuanya, Dev?" bisik Anggara pada Devan, suara mereka terdengar samar di telingaku.
"Sudah siap, tinggal menunggu pulang sekolah saja," jawab Devan dengan tenang.
"Sabar ya, sebentar lagi kita pulang," ucap Anggara lagi pada Devan, dengan nada yang membuatku bertanya-tanya.
Lonceng pulang berbunyi, menandakan akhir jam pelajaran. Aku segera buru-buru membereskan barang-barangku ke dalam tas. Ketika hampir selesai, tiba-tiba mataku ditutupi oleh sehelai kain. Aku merasakan dari aroma tubuhnya bahwa orang yang menutup mataku adalah Anggara sendiri.
Perbaikan kalimat ini bertujuan untuk mempertahankan aliran naratif yang konsisten dengan keadaan Dian, menunjukkan perasaannya yang terganggu oleh perubahan sikap Anggara dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
"Gar, kamu ngapain sih?" tanyaku, sambil meraba tangan Anggara yang sibuk mengikat kain penutup mataku.
"Udah, tenang aja, percaya deh sama aku," jawabnya dengan suara lembut, mencoba menenangkanku.
"Gar, ini kita mau kemana?" tanyaku lagi, aku bisa merasakan Anggara menggiringku berjalan perlahan.
"Kamu bakal tahu kok, Dian. Yakin aja sama aku, aku gak akan biarin kamu jatuh," ucap Anggara, menuntunku dengan hati-hati.
Kami berjalan sekitar enam menit, lalu tiba-tiba Anggara menghentikan langkahnya. Aku segera bertanya padanya.
"Gar, ini udah sampai ya?" ucapku dengan sedikit kebingungan.
"Udah, Dian," jawabnya pelan, sambil melonggarkan ikatan penutup mataku.
"Tapi kok mataku masih ditutup sih?" tanyaku heran pada Anggara.
"Dian, dengar aku. Apapun yang terjadi hari ini, aku harap kau menerimanya," ucap Anggara padaku dengan serius, suaranya terdengar agak berat.
"Maksudnya, Gar?" seruku, berbalik ingin menatapnya, namun Anggara sudah tidak ada lagi di belakangku.
Namun tiba-tiba Devan muncul dari arah yang tidak terduga, langkahnya mantap menuju ke arahku dengan sebuah buket bunga mawar yang indah. Ketika dia berada tepat di depanku, Devan berjongkok dengan lembut dan mengarahkan buket itu ke arahku.
"Diandra, maukah kau menjadi kekasihku?" ucap Devan dengan suara yang penuh harapan, membuatku terkejut dan terdiam.
Pikiranku melayang pada Anggara. Aku merindukan kehadirannya, berharap dia datang dan membawaku pergi dari sini.
"Dian," panggil Evelly dari arah yang tidak terduga, menyadarkan ku dari lamunan ku.
"Kau pasti bisa melakukannya, Dian. Aku percaya padamu," bisik Iastin di sampingku, memberi dukungan.
"Jawablah, Dian. Kasihan Deven jongkok di depanmu," ucap Nicholas padaku. Melihat Anggara berdiri agak jauh, senyumnya memberiku keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Akhirnya, dengan tatapan mata yang terpaku pada Anggara, aku memberikan jawabanku pada Devan.
"Ya, aku mau," ucapku pada Devan dengan lembut, meskipun hatiku masih terhanyut pada perasaan untuk Anggara. Kami saling menatap, hingga akhirnya dia pergi dengan senyuman yang memberi harapan.
Setelah kepergian Anggara, Devan memberikan buket bunga itu padaku. Aku menerimanya dengan hati yang campur aduk, meskipun pelukan hangat dari Devan. Tatapanku masih terjebak pada kosongnya, memikirkan Anggara.
"Tuhkan, kayaknya mau hujan, yuk kita pulang," ucap Lionel, memecah keheningan di antara kami.
"Iya, ayo pulang," tambah Alvero, suara mereka menyiratkan kesepakatan untuk kembali. Devan menggenggam tanganku saat kami berjalan pulang, tapi gengamannya terasa berbeda dari gengaman Anggara. Hatiku gelisah, aku merindukan Anggara saat ini.
Ketika sampai di parkiran sekolah, aku melihat tidak ada lagi motor Anggara yang terparkir di sana. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia sudah pulang atau ada sesuatu yang terjadi?
"Yuk, aku antar pulang," ucap Devan padaku.
"Oh, nggak perlu, Dev. Aku pulang sama Iastin tadi, sudah janji," jawabku, mencoba menahan rasa cemas yang mulai muncul.
"Baiklah, besok pulang sama aku ya?" tawarnya dengan senyum hangat.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tetapi pikiranku masih melayang pada Anggara.
Devan menyalakan mesin motornya dan pergi dari parkiran sekolah. Aku berjalan keluar dari area parkir, dan mendapati Iastin dan Evelly mendekatiku dengan tatapan penuh simpati.
"Aku yakin kau bisa melewati ini," ucap Iastin dengan suara yang hangat sambil menepuk pelan bahu ku.
"Evelly benar, Dian. Kami berlima di sini untukmu," tambahnya dengan senyuman lembut, mencoba menguatkan hatiku.
Tak terasa, air mata mulai mengalir perlahan saat mereka berbicara, dan aku merasakan Evelly menarikku ke dalam pelukannya dengan lembut.
"Vel, aku tidak menyukai Devan. Bagiku, dia hanya seorang teman," ucapku dengan suara yang rendah, mencoba mengekspresikan perasaanku yang rumit.
"Aku mengerti, Diandra. Tapi ini adalah situasi yang sudah terjadi," ujar Iastin dengan penuh pengertian.
"Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi percayalah, kami akan selalu ada untukmu, Dian," kata Alya dengan lembut, memberiku dukungan yang begitu dibutuhkan saat ini.
"Aku hanya mencintai Anggara," ucapku dengan jujur pada mereka.
"Kami mengerti, Dian. Saat ini, cobalah untuk menjalani hubungan dengan Devan. Siapa tahu apa yang akan terjadi," ucap Jovancha dengan bijak, mencoba memberiku perspektif baru.
"Aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Aku tidak mencintai Devan, dan aku tidak ingin menyakiti perasaan Anggara," keluhku dengan rasa frustrasi yang mendalam.
"Tidak apa-apa jika kamu belum mencintainya. Yang penting, kamu bisa menjalani hubunganmu dengan Devan dengan ikhlas," ucap Cyvara sambil memelukku erat, diikuti oleh anggota tim lainnya. Mereka memberiku rasa nyaman dan dukungan yang sangat kuat, membuatku merasa dilindungi dalam kehangatan persahabatan kami.
"Evelly menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, 'Yaudah, ayo kita pulang. Jangan sedih lagi, Dian."
"Iya, Dian. Jangan sedih lagi. Nanti kami juga ikutan sedih," ujar Alya dengan senyuman manisnya.
Cyvara menyambung, 'Atau bagaimana kalau kita makan pentol saja? Sudah lama banget kita nggak makan pentol."
"Iya, yuk! Lagian, kita jarang banget ngumpul berenam," tambah Iastin dengan antusias.
"Ayo, kita pergi. Aku sudah lapar ini,' kata Alya sembari menarik motornya dari parkiran sekolah.
"Yaudah, ayok berangkat!"seru Cyvara semangat.
Kami akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan lingkungan sekolah dengan langkah pasti menuju warung pentol favorit kami. Sesampainya di sana, kami langsung memesan pentol yang kami inginkan, menghabiskan waktu dengan canda dan tawa yang mengalir deras, tanpa memikirkan kejadian hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Teen FictionKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...