Dua hari berlalu, dan akhirnya Anggara serta Hendra kembali ke sekolah. Mereka baru pulang dari Kota Y setelah meraih kemenangan dalam pertandingan mereka. Melihat wajah bahagia Anggara dan timnya, aku bisa merasakan betapa meriahnya kemenangan mereka.
“dian, yuk, kita masuk kelas,” ajak Iastin dengan nada ceria. Aku membalas dengan anggukan, mengikuti langkahnya.
“Ngomong-ngomong, siapa yang ulang tahun besok, ya?” goda Cyvara, tatapannya penuh godaan saat melihatku.
Aku hanya bisa tersenyum malu, merasa pipiku memanas.
“Udah, Va, lihat deh muka Dian. Udah merah kayak tomat,” sahut Evelly, tertawa ringan.
“Udah, ih, kalian!” ucapku, mencoba menutupi rasa maluku.
“Eh, kita bakal ngapain ya pas ulang tahunnya Dian? Enaknya ngapain?” tanya Jovancha, memecah kebisingan dengan pertanyaan yang mengalihkan perhatian.
“Gak tahu, nanti aja kita bahas,” jawab Iastin, dengan tatapan yang sepertinya memberi kode pada keempat temanku yang lain.
“Yaudah, nanti aja kalau gitu,” tambah Alya, setuju dengan keputusan itu.
Cyvara tiba-tiba memulai gosip dengan nada penuh rahasia. “Eh, kalian tahu nggak sih tentang Kristina?”
“Nah, mulai lagi deh. Tapi nggak apa-apa, dosa tanggung jawab masing-masing ya,” Iastin mengingatkan sambil tersenyum.
“Lah, mana bisa gitu? Biarkan aja Cyvara, yang tanggung dosa kan dia yang ngajak duluan,” kata Alya dengan nada bercanda.
“Iya, bener juga. Lu yang tanggung, Va,” tambah Jovancha, sambil tertawa.
“Dah lah, kalian semua!” gerutu Cyvara, namun tawanya tak bisa dibendung.
Suasana pun menjadi penuh canda dan kekompakan, sementara kami melanjutkan aktivitas di sekolah dengan semangat baru.
Pagi itu, cahaya mentari menyapa dengan hangat saat aku bangun untuk merayakan ulang tahunku. Keluargaku begitu luar biasa; mereka membuatku terharu dengan kejutan yang mereka persiapkan. Ucapan selamat pagi dan pelukan hangat dari orangtua dan saudara-saudaraku membuat hatiku penuh bahagia.
Setelah momen indah itu, aku mempersiapkan diri dengan penuh semangat untuk sekolah. Aku turun ke bawah dan bergabung dengan mereka di meja makan, senyumku tak bisa kuat menahan kebahagiaan. "Pagi semua," sapaku penuh keceriaan.
Mereka tersenyum balik. Aku meminta bekal pada mama, dan dengan ramah dia memberikannya padaku. Aku menikmati sarapan hangat bersama keluargaku, menghabiskan susu yang diberikan mama dengan lahap.
"Terima kasih, Ma. Aku berangkat ya," ucapku sambil berdiri.
"Pergilah dengan hati-hati," pesan Papa seraya memberikan senyum dan dorongan padaku.
Aku mengangguk dan meninggalkan meja makan dengan perasaan hangat dan cinta dari mereka. Di dalam mobil, ibu mengantarkan dengan penuh kasih sayang. Tiba di sekolah, aku melangkah menuju kelas dengan semangat tinggi, tetapi kebahagiaanku sedikit terganggu saat bertemu dengan Anggara di koridor.
"Selamat pagi, Anggara," sapaku ramah.
Namun, dia melewati dengan dingin tanpa sepatah kata pun. Aku terdiam, terkejut dan sedikit kecewa. Pikiranku melayang-layang mencoba memahami sikapnya yang tiba-tiba berubah. Dalam hati, aku berusaha untuk tidak terlalu dipengaruhi, tetapi tatapannya yang dingin masih terpatri dalam pikiranku saat aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan perasaan campuran antara bahagia dan penasaran.
Sampai di kelas, aku duduk tenang di bangkuku, melihat teman-teman sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Saat lonceng berbunyi, pintu kelas terbuka dan Anggara masuk. Namun, dia hanya melewati aku dengan dingin. Aku mencoba mengabaikannya, mencari alasan bahwa mungkin dia lelah setelah latihan akhir-akhir ini. Namun, di dalam hatiku, aku berharap agar dia tidak lagi cuek padaku.
Waktu berlalu dengan cepat dan saat lonceng pulang berbunyi, aku merasa ingin segera pulang. Tapi sebelumnya, aku duduk sebentar di kelas. Saat aku keluar, tiba-tiba saja teman-temanku memberikan kejutan yang tak terduga bagiku. Aku sangat terharu hingga air mata mengalir di pipiku.
"Heppy birthday, besti!" ucap Evelly sambil menunjukkan kue di tangannya.
"Iya, Vel. Terima kasih banyak," jawabku dengan senyuman.
"Ayo, tiup lilinnya!" seru Alya dengan antusias.
Kami semua meniup lilinnya bersama-sama, diikuti dengan tepukan hangat dari teman-temanku. Kemudian, mereka mengajakku untuk memotong kue.
"Sekarang, potong kuenya, Diandra!" ajak Jovancha dengan semangat.
"Iya, Cha. Siapa yang mau disuapi duluan?" tanyaku sambil tersenyum.
"Kamu aja, Va," jawab Iastin sambil menyerahkan sendoknya.
"Ayo, Diandra. Selamat ulang tahun!" ucap Cyvara sambil menyodorkan sendoknya.
"Makasih banyak, kalian semua," ucapku penuh rasa syukur.
"Sama-sama, Diandra. Semoga persahabatan kita tetap kuat seperti ini," kata mereka serempak.
"Pasti, harus tetap solid. Kita kan G-SIX!" seru Cyvara sambil tersenyum.
Kami tertawa bahagia, merasa terikat erat dalam persahabatan yang tulus. Saat itulah, aku merasa beruntung memiliki mereka sebagai sahabat-sahabat sejati dalam hidupku.
Setelah kami merayakan ulang tahun ku aku dan teman teman ku pun memilih untuk meninggalkan kelas kami dan memutuskan pulang saat semua teman ku telah dijemput, aku memilih menunggu di bawah pohon yang memberikan teduh di lapangan sekolah. Beberapa adik kelas masih sibuk berlatih di lapangan. Saat mobil jemputan telah tiba dan aku hendak masuk, suara dari belakang memanggil namaku.
"Ya kenapa ya dek, ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ramah pada adik kelas yang mendekat.
"Enggak Kak, Aku cuma mau kasih ini, ada bingkisan dan bunga untuk Kakak," ucapnya sambil memberikan paket kepadaku.
"Dari siapa ini?" tanyaku dengan rasa penasaran yang mulai menguat.
"Maaf, Kak. Abang yang memberi ini tidak menyebutkan namanya," jawabnya.
"Oh begitu ya. Kalau kamu bertemu lagi dengannya, tolong sampaikan terima kasihku ya," pinta ku pada adik kelas itu.
"Tentu, Kak. Akan kusampaikan," jawabnya dengan senyum. " Dan selamat ulang tahun buat kakak " ucap nya lagi
"Terima kasih banyak ya, dan makasih atas bingkisan nya" ucap ku seraya melambaikan tangan kepada nya.
Aku masuk ke dalam mobil dengan misteri tentang siapa yang memberikan hadiah ini masih memikirkan pikiranku. Pasti bukan Devan; dia pasti akan memberi langsung tanpa rahasia seperti ini. Dan Anggara, dengan sikapnya yang jarang berbicara padaku belakangan ini, lebih tidak mungkin lagi. Misteri ini terus menghantuiku sepanjang perjalanan pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGGARA ALEXSANDER ( End )
Novela JuvenilKu dengar cinta adalah obat untuk hati yang terluka, namun mengapa rasanya seperti aku tenggelam dalam penderitaan? Meskipun cintanya palsu, rasa ini terus membekas dalam diriku. Aku tak bisa memiliki dirinya, namun aku memilih untuk terus menantiny...