33. Perputaran Takdir

6.5K 635 35
                                    

Katanya, selain dinding rumah sakit, dinding bandara juga menjadi saksi bisu betapa tulusnya doa-doa yang terucap. Dua tempat itu menjadi saksi dalam menyambut kedatangan atau melepas kepergian. Keduanya sama-sama mengandung air mata dan harapan yang tulus.

Siang ini, dalam satu bandara yang begitu luas terdapat tiga tujuan yang berbeda-beda namun sama-sama mengandung doa dan air mata karena sebenarnya ketiga tujuan itu memiliki keterkaitan tersendiri.

Dipta, dengan tujuannya ke Bali diiringi doa yang tulus dari orang-orang tercintanya. Sumpah mengabdi kepada negara yang secara kesadaran penuh ia ucapkan membuatnya harus rela tidak satu tujuan dengan keluarganya.

"Ya ampun kenapa dramastis sekali keluarga kita, berpisah di bandara." ucap Anik menyikapi kejadian hari ini. Dia, suami, menantu serta anak gadisnya akan pulang ke Jogja. Sementara itu anak keduanya—Dipta harus berbeda tujuan ke Bali.

"Ibu, nanti nggak perlu sering-sering ke Bali. Takut kalau pasiennya pada nyariin." ucap Dipta.

Anik langsung memasang wajah tak terima karena di dalam pikirannya sudah tersusun rapi kapan saja ia akan meluangkan waktu ke Bali untuk menjenguk Dipta.

"Kamu nggak tahu aja, Dip. Seandainya Lebanon itu deket, udah pasti ibu ke sana tiap minggu." sela Yoshi.

Dipta hanya bisa menghela napas lesu. Bukan tidak suka diperhatikan oleh ibu sendiri, hanya saja terkadang ibunya suka lupa kalau Dipta sudah dewasa dan sudah menjadi TNI pula. Mungkin di mata Sang Ibu, dirinya masih selalu menjadi Dipta kecil yang hobi makan lolipop.

Tuhan cukup adil dalam menyempurnakan keluarga mereka. Kekurangan Sang Ayah yang kaku dan minim ekspresi, ditutup oleh Sang Ibu yang soal mengekspresikan perhatian pada semua anaknya, selalu luber.

"Fyi, kurang dari tiga bulan lagi Ibu udah pensiun." ucap Anik bangga tapi justru membuat wajah Dipta bertambah lesu.

Sementara itu Adis yang sejak tadi juga berada di sana hanya bisa senyum saja melihat kehangatan keluarganya.

Sama halnya dengan ibu, dia juga turut mendoakan dalam hati agar langkah Sang Kakak selalu lancar dan selamat. Meski beberapa waktu lalu mereka sempat bersitegang, namun hari ini semua sudah baik-baik saja. Kembali seperti sebelumnya walau ada yang belum baik di satu bagian dalam hati Adis.

"Aku ada tujuh hari dua puluh empat jam kalau kamu butuh apa-apa." ucap Dipta tulus ketika memeluk Adis.

Lalu gadis itu tersenyum tulus untuk sang kakak. Ia mengangguk dan membalas pelukan hangat itu karena pesawat yang akan mengantarkan Dipta ke Bali akan segera berangkat.

"Mas Dipta hati-hati,"

Dipta mengangguk lalu mencium kepala Adis. Selanjutnya ia pamitan pada kakak ipar, ibunya lalu terakhir pada sang ayah.

Prama memeluk anaknya lalu menghadiahi satu pukulan di bahu Dipta. "Jangan celelekan di manapun berada!"

Dipta memberi sikap hormat namun ekspresi wajahnya membuat Sang ayah menghela napas dan kembali  memberikan tepukan di pipinya yang membuat Dipta tertawa lebar.

Pria bertubuh kekar itu berjalan menjauhi executive lounge setelah berpamitan pada semuanya. Baru beberapa langkah, ia berpapasan pada rombongan lain yang tak asing. Adis pun melihatnya dan pilih sedikit menyingkir.

Dipta menyapa Aris dan keluarganya sejenak lalu meneruskan langkah, khawatir tertinggal pesawatnya.

"Mbak, aku mau ke toilet." pamit Adis pada Yoshi.

"Perlu ditemani?"

Gadis itu menggeleng lalu tanpa menunda lagi segera membawa dirinya ke toilet.

Sebenarnya Adis tak ada keperluan darurat yang mengharuskannya pergi ke toilet. Satu-satunya alasan adalah karena ia enggan bertemu dengan Saga.

Resusitasi Jantung Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang