40. Menghindari CCTV

7.4K 689 69
                                    

"Adis?"

"Aku sedang membicarakan kesempatan yang terus Mas Saga minta. Aku hanya sedang menganalogikannya seperti saat Mas Saga sudah tidak kuat makan tapi aku terus memaksa memberinya. Jadi, stop membicarakan atau menanyakan tentang kesempatan. Dan tentang peduli, rasanya itu wajar dimiliki sesama manusia terlepas ada perasaan atau tidak di antara mereka."

Saga terdiam sempurna. Jangan ditanya lagi bagaimana kondisi perasaannya. Jelas kembali patah yang kesekian kali. Sungguh Adis sangat pintar membuatnya terombang-ambing harapan dan akhirnya tenggelam.

"Berhenti membahas tentang kesempatan untuk kita jika Mas Saga sendiri tak bisa mempertanggungjawabkan nya!"

Pandangan Saga kembali kepada Adis karena yang ia kira semuanya sudah final, namun Adis masih melanjutkan.

"Kamu perlu pembuktian seperti apa?"

"Sudah ada buktinya. Mas Saga nggak bisa menjaga keselamatan diri sendiri sampai terluka dan hampir meregang nyawa. Lalu dengan seenaknya masih menanyakan tentang kesempatan. Kesempatan yang bagaimana yang Mas Saga inginkan? Lalu ketika sudah aku berikan, apa Mas Saga bisa janji untuk tidak terluka lagi?"

"Adis?"

Saga terkejut ketika gadis di depannya ini tiba-tiba menangis setelah berbicara panjang lebar. Dengan sedikit kesulitan ia berusaha bangun duduk namun tiba-tiba Adis memperingatinya.

"Mas Saga mau apa?" tanya gadis itu dengan galak.

"Duduk."

"Siapa yang bilang boleh duduk? Tidur lagi!"

Entahlah, Saga bingung harus memutuskan sesuatu dalam waktu sepersekian detik. Untuk itu, ia nurut saja dan kembali berbaring. Sementara Adis masih menangis sesenggukan.

"Mas Saga ngapain berkeliaran di Bosche malam itu? Sudah tengah malam bukannya istirahat malah berkeliaran di sana. Apa Mas Saga tidak bisa baca berita kalau akhir-akhir ini Jogja sedang darurat klitih?  Sebelum Mas Saga, ada korban lain yang sampai meninggal di rumah sakit ini. Gimana kalau Mas Saga juga mati konyol kemarin?"

Sambil sesenggukan, mulut Adis terus mengoceh. Jika bisa jujur, sebenarnya suaranya begitu memenuhi ruangan. Namun aneh justru menimbulkan rasa senang di hati Saga.

"Kalau aku mati kan udah nggak bisa kasih testimoni, Dis. Seharusnya aku yang tanya, kalau kemarin aku mati, kamu gimana?"

"Mas Sagaaaa!!"

Saga langsung mengunci mulutnya karena Adis semakin tantrum. Untuk saja tidak sampai menjerit karena bisa saja didatangi banyak orang.

Lalu detik berikutnya Saga nampak terhenyak ketika tahu-tahu Adis menunduk untuk memeluknya.

"Mas Saga sadar tidak kalau semua orang sedih karena takut kamu nggak selamat? Kapan sih Mas Saga bisa lebih care dengan keselamatan diri sendiri?"

"Termasuk kamu?"

Adis malah semakin menangis. Pergerakan gadis itu terlalu emosional sehingga tanpa sadar membuat kepala bagian belakang Saga sedikit terasa nyeri karena goncangan.

Kendati begitu, Saga tidak akan mengeluhkan apapun. Dibanding kehilangan pelukan Adis, ia lebih memilih menahan rasa nyeri di bekas jahitan.

"Aku pikir nggak akan lihat Mas Saga lagi." ucap Adis, masih sambil sesenggukan. Akhirnya ia bisa mengungkapkan rasa takutnya setelah beberapa hari menahannya.

"Bukankah menguntungkan bagimu kalau aku mati? Kan tidak ada yang ngejar-ngejar kamu lagi."

Reflek Saga memejamkan mata ketika Adis mencubit perutnya dengan keras. Baru ini ada dokter yang terang-terangan menyiksa pasiennya.

Resusitasi Jantung Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang