34. Hari Pernikahan

2.7K 373 135
                                    

KELUAR!!!"

Satu orang yang dibentak namun berhasil membuat seluruh manusia yang ada di ruangan dingin itu membisu. Meskipun wajah sang pembentak tertutup masker dan pelindung kepala, namun terlihat jelas kemarahannya lewat sorot mata yang tajam.

Adis, tersangka yang menjadi sasaran amukan hanya bisa menunduk diam. Menjadi sasaran kemarahan, emosi dan segala hal kurang menyenangkan tentu sudah menjadi makanan sehari-hari selama kurang lebih dua tahun terakhir. Lelah fisik dan hati tak lantas membuatnya mengeluh karena sadar dia bukan hanya satu-satunya orang yang mengalami itu. Rasanya mendapat hal-hal buruk itu merupakan satu langkah yang harus dilalui untuk mendapatkan gelar yang diinginkan. Sialnya saja dia mendapat seorang konsulen yang emosinya sering naik turun.

Kendati begitu, baru kali ini dia mendapat bentakan yang sungguh keras di hadapan orang-orang. Malu sudah pasti, namun jauh dari itu dia lebih takut jika kejadian di pagi buta ini bisa mengancam jalannya.

"Maaf, Dok, saya akan tetap di sini sampai operasi selesai. Saya janji tidak akan membuat kesalahan lagi." ucapnya penuh keyakinan meski harus sekuat tenaga menahan agar tangisnya tidak pecah saat ini juga.

"Tetaplah di sini jika kamu mau saya coret namanya." ucap dokter itu, sudah kembali tenang tanpa melirik Adis lagi.

Mendengar ancaman yang sangat menakutkan tentu membuat nyali Adis menciut. Ditambah lagi melihat teman-teman lain yang meliriknya dengan tatapan memohon karena tak berani bersuara.

Akhirnya Adis keluar dari ruang operasi dengan pikiran yang kusut. Sungguh, nasib orang tidak ada yang pernah tahu. Selama menjadi junior ppds di rumah sakit ini—meski sering mendapat omelan dari dokter pembimbing, Adis termasuk mahasiswa yang di-notice oleh beberapa dokter pembimbing dan petugas lain karena otaknya yang encer dan cekatan. Jika boleh jujur, bentakan yang baru saja dia dapatkan adalah hal terburuk yang terjadi sepanjang sejarah pendidikannya. Padahal operasi itu adalah operasi yang sudah disiapkan selama sepekan.

Dua jam berlalu, Adis masih duduk memangku dagu menyesali kesalahannya pagi tadi. Jika diingat kembali, pantas memang dokter bedah bernama Nova itu marah. Sebab, bukan hanya sekali, melainkan dua kali Adis membuat kesalahan akibat pikirannya yang sedang tidak fokus. Bonus beberapa detik dia melamun sehingga semakin membuat Novan murka.

"Dokter?" 

Seorang pria yang tadi juga ikut di dalam ruang operasi bergegas mencarinya setelah selesai.

Dengan memaksakan senyumnya Adis menjawab, "I'm okay,"

Mereka saling berpandangan, melihat mata Adis yang sembap sudah cukup menjadi bukti bahwa gadis itu benar-benar sedang bersedih.

"Tenang lah, sepertinya tidak mungkin kalau dokter Nova sampai hati membuat dokter Adis kesulitan," ucapnya.

"Yoi, kamu nggak sadar betapa mendambanya dokter Nova sama kamu? Aku yakin, yang tadi emang hanya sebatas profesionalitas aja. Aman lah." Lana, rekan seperjuangan yang baru ia kenal setelah sama-sama lulus seleksi tiba-tiba ikut berkomentar.

Harus Adis akui, kedatangan dua rekannya ini cukup membuat hatinya tenang. Meski ada satu hal yang tidak dia setujui, tentang Nova yang memang selama ini digosipkan menyukai dirinya. Apalagi teman-temannya gemar sekali mengerjainya perihal Nova.

Memang, pria yang berhasil menjadi dokter spesialis bedah di usia muda itu terlihat tertarik dengannya, Adis merasakan meksi tetap terus denial.

"Dokter Nova emang terkenal profesional. Aku akan bertanggung jawab jika memang masalah tadi akan diperpanjang."

Lana menepuk pundaknya. "Santai aja lah! Aku mah yakin kalau nggak bakal gimana-gimana. Paling mentok kamu dapat tambahan tugas, sekalian doi modus." ucapnya diakhiri tawa lalu ber-high five bersama Raka—orang yang pertama datang, kompak meledek Adis sekaligus agar sedikit rileks dan melupakan kejadian pagi tadi. "Mending ke kantin aja, yuk! Sarapan." ajaknya.

Resusitasi Jantung Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang